Sydney (ANTARA) - Pria Australia yang mengaku bersalah membantai 51 anggota jamaah, dalam penembakan massal paling sadis di Selandia Baru pada 2019, memutuskan untuk menghadiri sidang vonis bulan depan tanpa pengacara, menurut pengadilan, Senin.

Pria tersebut, Brenton Tarrant, awal tahun ini mengaku bersalah atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 dakwaan upaya pembunuhan serta satu dakwaan melakukan aksi terorisme. Pengakuan bersalah yang diajukannya itu membuat persidangan selama enam pekan pada Juni  tidak lagi diperlukan.

Keputusan Tarrant untuk mewakili dirinya sendiri tak akan berpengaruh pada sidang vonis, yang dimulai pada 24 Agustus, kata Hakim Cameron Mander dalam berita acara sidang yang dikeluarkan pengadilan.

Hakim mengabulkan permintaan Tarrant dalam panggilan video prasidang setelah ia yakin bahwa Tarrant memahami haknya untuk memiliki perwakilan hukum dan bahwa Tarrant ingin melepaskan haknya tersebut.

Para pengacara Tarrant mengaku tidak "ada konflik atau pun perselisihan hubungan" antara mereka dan Tarrant, dan bahwa permintaan itu konsisten dengan hak pria tersebut. 

"Tarrant berpesan kepada pengacaranya bahwa ia ingin bertindak untuk dirinya sendiri di sidang vonis," kata pengacara, yang hadir untuk Tarrant sejak persidangan kedua pada 5 April tahun lalu, dalam pernyataan.

"Kami tak kecewa dengan keputusan Tarrant."

Tanggal sidang vonis secara resmi dikonfirmasi pada Senin di pengadilan tinggi Christchurch, yang dihadiri para penyintas insiden penembakan dan perwakilan keluarga, demikian dilansir the New Zealand Herald.

Tarrant berada dalam penahanan polisi sejak 15 Maret 2019, ketika ia ditangkap dan dituduh menggunakan senjata api semiotomatis untuk membunuh jamaah yang menunaikan shalat Jumat di dua masjid di Kota Christchurch.

Sumber: Reuters

Baca juga: Setahun setelah penembakan di masjid, Selandia Baru perangi kebencian

Baca juga: Selandia Baru larang video game terkait serangan masjid Christchurch

Baca juga: Warga Selandia Baru serahkan lebih dari 10.000 senjata api


 

Indonesia bisa belajar toleransi beragama dari New Zealand


 

Penerjemah: Asri Mayang Sari
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020