Mataram (ANTARA) - Kepolisian Nusa Tenggara Barat kini sedang menangani kasus pengiriman pekerja migran Indonesia ke negara Timur Tengah yang diduga tidak sesuai prosedur.

"Jadi kasus ini pelimpahan dari Bareskrim Polri. Kini kasusnya sudah masuk penyidikan dan sudah menetapkan tersangka," kata Kasubdit IV Bidang Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati di Mataram, Senin.

Ni Made mengatakan kasus pengiriman pekerja migran ini dilimpahkan ke Polda NTB, karena "locus delicti", yakni perekrutannya terjadi di wilayah Kabupaten Lombok Timur.

Tersangka berinisial RT alias Rani (38), asal Kabupaten Lombok Tengah yang berperan sebagai perekrut pekerja migran dengan korban yang diberangkatkan ke negara Timur Tengah pada 2018 berinisial FJ (24).

"Kegiatan perekrutannya itu di wilayah Pancor, itu pada 2018 lalu," ujarnya.

Baca juga: Polda NTB ungkap kasus pengiriman pekerja migran dibawah umur

Modus operandinya, RT menyanggupi permintaan FJ untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Singapura, karena usianya masih di bawah standar kerja di negara tetangga ini, yakni 22 tahun, maka RT memalsukan dokumen pribadi FJ.

"Standar usia pekerja migran bekerja di Singapura itu 23 tahun, saat itu FJ ini usianya masih 22 tahun. Dibuatkan dokumen pribadi oleh RT ini, mulai dari KTP sampai paspor, Dibuatkan itu paspor melancong," ucapnya.

Setelah seluruh data dirinya lengkap, lanjut, Pujawati, dokumen pribadi RT diajukan ke perusahaan tempatnya bernaung, yakni PT Pandu Abdi Pertiwi, yang saat itu berkantor di Kabupaten Lombok Timur.

"Setelah semuanya lengkap, korban diberangkatkan ke Jakarta dan ditampung di BLKLN (balai latihan kerja luar negeri)," ucapnya.

Selama mendapatkan pelatihan, jelasnya, tinggi badan FJ ternyata tidak memenuhi syarat bekerja di luar negeri. Hal tersebut membuat FJ tidak lulus dan tidak mendapatkan sertifikat dari BLKLN.

"Jadi karena tidak lulus, BLKLN mau mengeluarkan FJ, asal RT bayar uang pengganti. Untuk satu orang harganya itu Rp10 juta. Itu katanya untuk biaya pengganti selama pelatihan termasuk, makan, tempat tinggal, sama tiket keberangkatan dari Lombok ke Jakarta," katanya.

Baca juga: Polda NTB selidiki penyebab meninggalnya pekerja migran asal Dompu

Karena itu, RT kemudian menawarkan penebusan FJ di BLKLN ke agen perorangan di Bekasi, bukan ke perusahaannya yang kini dikabarkan telah bangkrut.

Setelah menyanggupi untuk membayar biaya tebus di BLKLN senilai Rp30 juta untuk tiga orang yang tidak lulus, FJ akhirnya ditampung kembali oleh agen perorangan tersebut.

"Di sana (agen perorangan) dia kemudian ditawarkan kerja di Turki. Awalnya FJ tidak mau, tapi karena diancam untuk bayar ganti rugi uang tebusan di BLKLN Rp30 juta, akhirnya FJ mau ke Turki," ujarnya.

Selanjutnya, katanya, selama sembilan bulan bekerja di Turki, FJ bekerja tidak sesuai ekspektasi, melainkan mendapat gaji dipotong dan kekerasan fisik. Bahkan dikatakan Pujawati, tangan kiri korban mengalami luka bakar hingga meninggalkan bekas sampai sekarang.

"Karena tidak betah, sang majikannya yang di Turki mengembalikannya ke agen, dari agen, kemudian mengirim kembali FJ ini ke Irak. Sama juga di Irak, dia dapat kekerasan fisik dari majikannya," ucapna.

Sampai akhirnya, FJ yang tidak betah dengan kondisi tersebut kabur dari majikannya di Irak dan meminta perlindungan ke KBRI. Sepulangnya dari Irak, kasus FJ kemudian ditangani Bareskrim Polri, terhitung sejak 5 Maret 2020.

Kini korban dikatakan masih dalam pemantauan, baik dalam hal kesehatan psikologis maupun fisik. Sedangkan RT, yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO), kini telah menjalani penahanan di Mapolda NTB.

"Jadi sekarang kasusnya masih dalam pemeriksaan saksi-saksi dan dokumen. Nanti setelah semuanya rampung, langsung kita limpahkan ke jaksa peneliti," katanya.

Baca juga: Polda NTB telusuri riwayat korban TPPO kapal ikan Cina asal Sumbawa

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020