Investasi sejak dini untuk adaptasi perubahan iklim dengan nilai sekitar 0,2 persen dari PDB dapat menghindari Indonesia dari kerugian sebesar 1,9 persen per tahun pada 2100.
Jakarta (ANTARA) - Executive Director CCROM-SEAP Institut Pertanian Bogor Prof Rizaldi Boer mengatakan Indonesia bisa menanggung kerugian rata-rata hingga 6 persen per tahun dari Produk Domestik Bruto (PDB) di 2100 jika tidak melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sejak dini.

Dalam webinar Indonesia 2050 Vision on Climate Change yang dilaksanakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara daring yang diakses dari Jakarta, Selasa, Rizaldi menjelaskan terdapat dua implikasi ekonomi dari dampak perubahan iklim yang dapat terjadi di Indonesia jika tidak dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi yakni dampak terhadap pasar dan non-pasar.

Sektor pertanian dan zona pesisir dapat terkena dampak pasar sebagai implikasi perubahan iklim. Sedangkan untuk non-pasar, sektor seperti kesehatan dan ekosistem akan terganggu.

Kerugian diperkirakan rata-rata mencapai 1,8 persen dari PDB pada 2100 setiap tahun, jika hanya mempertimbangkan dari sisi berdampak pada pasar. Dan angka tersebut jauh di atas 0,6 persen rata-rata dunia.

Baca juga: Menristek sebut photovoltaic jadi upaya mitigasi perubahan iklim

Sedangkan jika memperhitungkan dampak non-pasar maka rata-rata kerugian meningkat menjadi 6 persen, bahkan menjadi 7 persen jika memasukkan bencana dalam pemodelan tersebut. Sehingga dengan demikian kerugian rata-rata dari PDB Indonesia jika tidak melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim jauh di atas dunia yang mencapai 2,2 persen dan 2,6 persen (jika memperhitungkan bencana).

Menurut Rizaldi, investasi sejak dini untuk adaptasi perubahan iklim dengan nilai sekitar 0,2 persen dari PDB Indonesia dapat menghindari kerugian sebesar 1,9 persen per tahun dari PDB pada 2100.

Ia mengatakan jika melihatnya dari sudut pandang jangka pendek tentu perubahan iklim tidak terlihat sebagai masalah yang mendesak dan prioritas tinggi untuk diatasi. Tetapi hal tersebut akan menempatkan Indonesia pada risiko kerugian yang sangat signifikan di kemudian hari dan dapat menyebabkan mal-adaptasi, mengancam ketahanan pangan dan upaya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Baca juga: Sekjen PBB minta dunia gunakan energi bersih dalam pemulihan ekonomi

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Emma Rachmawaty mengatakan sesuai mandat Paris Agreement, semua negara yang menyepakatinya harus memformulasi dan mengkomunikasikan strategi pembangunan rendah emisi gas rumah kaca jangka panjang (LTS) ke Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di kuartal ke-4 2020.

Pandemi COVID-19 yang terjadi secara global memberikan pengaruh terhadap upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di berbagai negara. Namun demikian, Indonesia tetap perlu mengantisipasi dampak perubahan iklim akibat kenaikan suhu global yang bersifat gradual, kumulatif dengan risiko meningkat seiring waktu dan berdampak ganda, kata Emma.

Proses pembangunan LTS saat ini, menurut dia, masih berlangsung. Bahan-bahan pendukung untuk pembuatan strategi tersebut sudah tersedia, saat ini proses komunikasi dan upaya membangun keterlibatan pemangku kepentingan sedang berlansung dengan mempertimbangkan kondisi krisis kesehatan karena COVID-19, mendasarkan basis filosofi kepentingan Indonesia dan komitmen global, pelibatan dan komunikasi atau kerja sama informasi dan lain-lain dengan negara lain yang juga sedang membangun LTS.

Baca juga: Pertanian tanpa bakar masuk Pembangunan Rendah Karbon Indonesia

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020