Kabar baiknya adalah globalisme vaksin, jika saya bisa menggunakan istilah ini, tengah menjadi norma kebenaran politik yang juga kuat
Jakarta (ANTARA) - Diplomat senior Indonesia, Dino Patti Djalal, menyebut bahwa akan muncul pergulatan antara nasionalisme vaksin dengan globalisme vaksin, yaitu dua pendekatan negara dunia dalam memperoleh vaksin pada tahun 2021--tahun kedua pandemi COVID-19.

Dino, yang juga pendiri lembaga pemikir Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), mengatakan bahwa nasionalisme vaksin--suatu istilah untuk mengutamakan penyediaan vaksin bagi masyarakat satu negara--akan menjadi sinyalemen kuat yang muncul pada tahun depan, mengingat hal ini sebagai "perkara politis".

"Seperti halnya COVID-19 yang menjadi virus paling politis yang pernah ada, vaksinnya pun akan menjadi politis," kata Dino dalam webinar Pernyataan Akhir Tahun FPCI, Jumat.

"Dan bagi banyak pemerintahan, mengamankan vaksin untuk rakyatnya tak hanya sekadar tentang kesehatan publik, namun juga perkara kompetensi dan akuntabilitas politis mereka, beberapa bahkan soal legitimasi," ujar Dino.

Baca juga: Eijkman: Kapasitas global penuhi vaksin bagi setengah penduduk dunia
Baca juga: Pemerintah tuntaskan kerja sama global tentang kesehatan dan ekonomi


Di sisi lain, ada globalisme vaksin, yakni istilah yang diungkapkan Dino untuk merujuk pada upaya penyediaan vaksin COVID-19 sebagai barang milik publik serta jaminan agar semua negara di dunia mendapatkan akses yang adil dan setara terhadap vaksin tersebut.

"Kabar baiknya adalah globalisme vaksin, jika saya bisa menggunakan istilah ini, tengah menjadi norma kebenaran politik yang juga kuat," kata Dino.

Ia menyebut beberapa inisiatif vaksin global, namun yakin dengan inisiatif bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Aliansi Vaksin Gavi, dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI), yakni COVAX.

Fasilitas COVAX bertujuan untuk mendistribusikan sedikitnya dua miliar dosis vaksin hingga akhir tahun 2021, yang mencakup 20% masyarakat paling rentan di dunia.

Namun, Reuters melaporkan pada Rabu (16/12) bahwa skema penyediaan vaksin global ini mengalami risiko "sangat tinggi", sehingga berpotensi menunda penyebaran vaksin kepada negara yang membutuhkan hingga selambat-lambatnya 2024.

"Risiko kegagalan dalam menjalankan Fasilitas COVAX yang berhasil ini sangat tinggi," tulis Reuters, mengutip laporan internal untuk jajaran pejabat Gavi, aliansi pemerintah, perusahaan farmasi, lembaga amal, serta organisasi internasional yang terlibat dalam program tersebut.

Baca juga: Menlu: Solidaritas hadapi pandemi penting bagi pemulihan ekonomi dunia
Baca juga: Kebutuhan vaksin COVID-19 global diperkirakan sulit terpenuhi

Pewarta: Suwanti
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020