Jakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof Eddy Pratomo menghargai langkah-langkah cepat pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri yang telah memanggil kepala perwakilan Kedubes Jerman di Jakarta untuk memberikan klarifikasi tentang maksud kunjungan dari staf kedubes Jerman ke sebuah ormas di Petamburan Jakarta.

"Kunjungan staf ke Petamburan tersebut telah menimbulkan pertanyaan mendasar tentang pelaksanaan tugas dan fungsi sebuah kedubes asing di negara akreditasi, mengingat hubungan Jerman-RI pada kondisi yang sangat prima dan telah memiliki kesepakatan strategik partnership tahun 2012, sehingga kunjungan tersebut dapat disalahartikan oleh publik seolah-olah Jerman mendukung salah satu ormas di Indonesia," kata Prof Eddy dalam keterangannya, Selasa.

Baca juga: Hikmahanto sambut baik pemulangan staf Kedubes Jerman yang ke FPI

Ia mengatakan kunjungan staf kedubes Jerman tersebut juga dinilai tidak bijak, tidak sensitif dan tidak profesional sebagai staf kedubes. Staf tersebut harus memahami situasi politik dalam negeri yang sedang sensitif terkait dengan ormas tersebut.

Menurut dia, sejauh ini tidak diragukan lagi hubungan yang begitu akrab antara Indonesia dan Jerman, dengan adanya kunjungan staf tersebut memunculkan pertanyaan tentang kedekatan pemerintah Jerman dengan Indonesia.

Untuk itu, kami mendesak kepada pihak Jerman selain menyampaikan permintaan maaf perlu segera memberi penjelasan kepada publik Indonesia agar 'miss understanding' tersebut dapat segera di klarifikasi sehingga tidak menimbulkan komplikasi dalam hubungan bilateral Indonesia-Jerman serta menegaskan komitmen untuk terus membina dan meningkatkan status hubungan persahabatan antara kedua negara.

Baca juga: Kemlu protes pada Kedubes Jerman terkait kehadiran staf di markas FPI

Prof Eddy mengatakan kunjungan dimaksud oleh Kedubes Jerman diklaim sebagai tindakan pribadi. Alasan ini tentu sulit diterima akal sehat karena diplomat adalah wakil negara sehingga tidak mungkin dipisahkan antara tindakan dalam kapasitas pribadi dan kapasitas kedinasan.

Selain itu, kunjungan dengan kendaraan dinas ke sekretariat suatu organisasi sulit disebut sebagai kunjungan pribadi. Oleh sebab itu, dari aspek Hukum Internasional, kebiasaan internasional dan praktek antar negara, kunjungan tersebut dapat berpotensi melanggar konvensi Wina tahun 1961 yg mengatur tentang tata krama hubungan antar negara.

"Jika dipandang perlu, Pemerintah RI pada waktunya dapat mempertimbangkan tindakan persona non grata terhadap staf tersebut apabila terdapat fakta-fakta yang dapat merugikan kepentingan Indonesia," demikian Prof Eddy.

Baca juga: Pakar: Diplomat asing lakukan spionase bisa diusir paksa

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020