Semarang (ANTARA) - Tidak usah terburu-buru dalam pembahasan kembali Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), tetapi target waktu penyelesaiannya harus jelas.

Selain itu, perlu pembahasan secara terbuka dengan melibatkan masyarakat, akademikus, dan mahasiswa untuk lebih memperkaya RUU KUHP.

Rancangan undang-undang ini jangan sampai bernasib sama dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Belum masuk Lembaran Negara Republik Indonesia, sejumlah pihak malah ancang-ancang mengajukan permohonan uji materi UU yang pembentukannya menggunakan metode omnibus law itu ke Mahkamah Konstitusi.

Sejak RUU KUHP batal disahkan pada bulan September 2019, buntut dari demo mahasiswa terkait dengan sejumlah pasal, pemerintah memberi kesempatan kepada publik untuk menyampaikan aspirasinya.

Bahkan, Pemerintah membuka ruang dialog, seperti diskusi secara virtual bertajuk "Apakah Pembaruan KUHP Sudah Berdasarkan Konstitusi Negara Republik Indonesia?" di Jakarta, Kamis (27/5).

Judul diskusi itu mencerminkan kehati-hatian Pemerintah, apalagi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007 telah mencabut Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 serta Pasal 154 dan 155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah.

Meski telah dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2014-2019, pemerintah dan DPR RI periode 2019-2024 perlu cermat ketika membahas kembali RUU KUHP, terutama pasal-pasal yang kontroversial.

Ketentuan yang berkaitan dengan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden RI (pasal 218 dan 219 RUU KUHP), misalnya, perlu ketelitian meski Pasal 220 menegaskan bahwa kedua pasal tersebut merupakan delik aduan.

Tindak pidana ini hanya dapat dituntut berdasarkan aduan, atau beda dengan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden yang sudah dianulir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, yakni Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.

"Kelahiran kembali" pasal-pasal tersebut meski bernuansa lain juga menimbulkan pro dan kontra. Kendati demikian, pembuat undang-undang perlu menampung masukan dari sejumlah kalangan, termasuk Guru Besar Hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H.

Argumentasi Prof. Faisal ini berlandaskan pada fungsi presiden yang termaktub dalam konstitusi. Oleh sebab itu, seyogianya tidak mengaitkan dengan prinsip kesetaraan kedudukan di muka hukum (equality before the law) demi menjaga muruah (kehormatan) Presiden/Wakil Presiden RI sekaligus bangsa ini di mata dunia.

Selanjutnya, terkait dengan tindak pidana makar, definisi istilah ini ada dalam Pasal 167 RUU KUHP. Dijelaskan bahwa makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.

Sementara itu, makna "makar" versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Namun, di dalam RUU ini terdapat tiga jenis makar: Pertama, makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 191); Kedua, makar terhadap NKRI (Pasal 192); Ketiga, makar terhadap pemerintah yang sah (Pasal 193).

Bagi pelanggar pasal 191 dan 192, terancam pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun, sedangkan ancaman pelaku makar terhadap pemerintah yang sah (Pasal 193) melihat siapa pelakunya.

Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Bagi pemimpin atau pengatur makar, ancamannya lebih berat atau maksimal 15 tahun.

Baca juga: Menkumham: KUHP warisan Belanda banyak menyimpang asas hukum pidana

Bendera Kusut Dipidana
Pasal-pasal lain yang mendapat perhatian publik terkait dengan penodaan terhadap bendera negara. Jika Pasal 235 tetap dipertahankan hingga RUU ini menjadi undang-undang, warga yang mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam bisa dipidana denda paling banyak Kategori II atau Rp10 juta (Huruf b).

Denda sebesar itu juga diberlakukan bagi yang memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial; mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara; atau memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.

Ancaman hukuman tambah berat terhadap setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain terhadap bendera negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara. Pelanggar pasal ini dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V atau Rp500 juta (Pasal 234).

Pasal lainnya, seperti pasal santet (Pasal 252 RUU KUHP), juga mengundang pro dan kontra. Dosen Fakultas Hukum Unissula Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H. memandang perlu mengkaji ulang karena sangat subjektif, bahkan obscure (tidak jelas) karena tafsirannya sangat bergantung pada cara pandang masing-masing.

Di dalam Pasal 252 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta).

Jika setiap orang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (vide Ayat 2).

Selanjutnya, disebutkan dalam penjelasan Pasal 252 RUU KUHP bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.

Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 Ayat (1), terdapat lima alat bukti yang sah, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pembuktian kasus santet ini bisa dengan cara meminta keterangan ahli. Jika mengacu pendapat Prof. Faisal ini, perlu pula melibatkan ahli santet dalam pembahasan pasal tersebut. Meski santet antara ada dan tiada, dalam kehidupan bermasyarakat hal ini kadang kala terjadi.

Dijelaskan pula dalam RUU KUHP bahwa ketentuan ini (pasal santet) dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).

Baca juga: Eva: Pasal "pro life" RUU KUHP harus berlaku pula bagi perempuan

Aborsi
Pemidanaan terkait dengan aborsi (pasal 251, 415, 469, dan 470 RUU KUHP) juga menimbulkan perdebatan. Pasal-pasal ini terkait dengan prinsip pro life, yang berpandangan bahwa janin mempunyai hak hidup yang tidak boleh dirampas oleh siapa pun, termasuk oleh ibu kandungnya. Pasal-pasal pro life dalam RUU KUHP harus berlaku pula bagi perempuan.

Pandangan dari Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari, M.A., M.D.E. yang juga pernah sebagai anggota Komisi III DPR RI itu patut pula menjadi bahan pembahasan oleh pembuat undang-undang. Dengan demikian, hak hidup perempuan juga diberi ruang yang sama besarnya dengan hak fetus (janin).

Pada Pasal 469 menyebutkan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (Ayat 1).

Ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Jika perbuatan ini mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (Ayat 3).

Pasal perzinaan (pasal 417, 418, dan 419) RUU KUHP, termasuk perihal tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan (kohabitasi), juga menjadi perbincangan publik. Masalahnya, pelapor tidak hanya suami, istri, orang tua, atau anaknya, tetapi juga kepala desa (Pasal 418 Ayat 3).

Pasal terkait dengan kohabitasi ini diatur dalam Pasal 418. Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II atau Rp10 juta (Ayat 1).

Denda yang sama juga berlaku terhadap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya. Ancaman pidana dalam Pasal 417 Ayat (1) penjara maksimal 1 tahun.

Tindak pidana ini tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya. Namun, di tengah jalan perkara ini bisa saja tidak berlanjut jika pengaduan ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Ancaman hukuman lebih berat terhadap pelanggar Pasal 419, pidana penjara paling lama 12 tahun. Ancaman pidana ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga.

Lepas dari pro dan kontra, Indonesia harus segera bebas dari belenggu hukum pidana warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda, paling tidak pada tahun 2021 sudah memiliki KUHP karya anak bangsa.

Kendati demikian, pasal-pasal dalam RUU ini harus visioner sehingga tidak terjadi bongkar pasang pasal UU KUHP di tengah jalan ketika menghadapi perkara baru pada masa yang akan datang.

Oleh karena itu, perlu menampung masukan dari pelbagai kalangan meski mereka juga menyadari suatu putusan apa pun belum tentu memuaskan semua pihak. Namun, paling tidak mempersempit ruang orang mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Baca juga: Mahfud MD: Pemerintah upayakan susun RKUHP yang resultante demokratis

Copyright © ANTARA 2021