Jakarta, 23 Januari 2014 (ANTARA) - Bencana banjir yang akhir-akhir ini melanda beberapa wilayah Indonesia, ternyata juga berdampak buruk pada budidaya ikan. Di antaranya, bisa terjadi kematian massal ikan akibat peristiwa “umbalan” atau pembalikan air dari lapisan bawah naik ke permukaan dan sebaliknya, di waduk Ir. H. Djuanda di Jatiluhur Purwakarta, Jawa Barat. Demikian peringatan resmi yang dikeluarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Menurut data BMKG mengenai informasi prakiraan bulanan sifat hujan, intensitas hujan akan terjadi sampai akhir Februari. Kondisi ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut dan dapat memicu terjadinya kematian massal ikan di Waduk Ir. H. Djuanda. Mengingat kematian masal ikan di Waduk Ir. H. Djuanda yang terjadi pada awal Januari 2013 yang lalu, hampir mirip kondisi cuaca Januari 2014. Untuk itu, KKP telah membentuk tim peneliti dari BP2KSI melakukan monitoring kualitas air secara intensif. "Tim bertugas memantau kualitas perairan sebagai bahan perhatian masyarakat pembudidaya (KJA) dan stakeholder terkait. Upaya ini guna mengindari dampak kerugian besar akibat kematian masal ikan yang kemungkinan besar akan terjadi", kata Achmad Poernomo, Plt. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Rabu (22/1).

Menurut Poernomo, berdasarkan hasil pengamatan kadar oksigen bulan Desember 2013 dan Januari 2014 terjadi penurunan yang signifikan dari setiap stasiun pengamatan, oksigen kurang dari 3 mg/L. Di antaranya terjadi di Cilalawi (1,9;1,68 mg/L), Baras Barat (0,76;1,01;0,95 mg/L), Sodong (0.1;0,2;0,42 mg/L), Kerenceng (0,82;0,85;0,75 mg/L), dan DAM (1,27;1,49;1,4 mg/L). Oleh karena itu, perlu segera diinformasikan kepada para pembudidaya KJA di Waduk Ir. H. Djuanda untuk mengambil langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya kematian massal ikan.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan mencegah kematian masal ikan adalah mensosialisasikan kepada pembudidaya perihal tanda-tanda akan terjadinya kematian massal ikan yaitu kondisi cuaca mendung dan/atau hujan yang terus-menerus selama 2 - 3 hari berturut-turut (tidak ada cahaya matahari), kualitas air waduk mulai menunjukkan penurunan, aliran air dari Waduk Cirata warnanya lebih gelap dari biasanya. Kedua, pembudidaya bisa mengurangi jumlah KJA yang beroperasi/mengurangi kepadatan ikan yang dipelihara. "Jumlah total ikan yang dipelihara harus berada di bawah daya dukung perairan", tandasnya.

Langkah ketiga, kata Poernomo, segera memanen ikan yang ukurannya mendekati ukuran konsumsi, untuk menekan dampak kerugian yang akan timbul. Keempat, memilih jenis ikan yang lebih toleran terhadap kadar oksigen yang rendah, seperti ikan patin. Selanjutnya, memindahkan posisi KJA secara reguler, misal 1 tahun sekali ke posisi dengan kondisi kualitas air yang lebih baik. Serta melakukan aerasi di KJA yang merupakan kegiatan tanggap darurat dan dapat dilakukan hanya sementara waktu. “Untuk mengurangi resiko kematian ikan, juga bisa dilakukan penebaran ikan pemakan plankton misalnya bandeng untuk mengendalikan blooming alga serta pembinaan terhadap pembudidaya ikan terhadap tata ruang dan sistem budidaya yang ramah lingkungan,” ujarnya.

Poernomo menjelaskan, peristiwa umbalan atau up welling, diakibatkan daya dukung perairan untuk budidaya Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Ir. H. Djuanda saat ini hanya 5.980 ton ikan/tahun atau setara dengan 2.300 unit KJA, jika 1 unit KJA berisi ikan sebanyak 2,6 ton/tahun. Saat ini jumlah KJA sudah lebih dari 21.000 unit atau telah melebihi ambang batas daya dukung perairan. Oleh karena itu, perubahan kualitas perairan secara sporadis dan tiba-tiba akan secara cepat berdampak terhadap budidaya KJA. Salah satunya adalah peristiwa umbalan yang menyebabkan kematian massal ikan. Apalagi, peristiwa kematian ikan yang terjadi di Waduk Ir. H. Djuanda pada kurun waktu terakhir sangat berdampak merugikan terhadap kegiatan budidaya Keramba Jaring Apung (KJA). “Kejadian kematian massal yang terjadi pada bulan Januari 2013 ditaksir menyebabkan kematian ikan di KJA sebesar 1.000 ton,” katanya.

Dia menambahkan, fenomena kematian massal ikan terjadi melalui proses terjadinya cuaca ekstrim, yakni mendung dan hujan yang terus menerus sehingga tidak terjadi fotosintesa/produksi oksigen. Hal ini menyebabkan suhu permukaan air waduk (26-27 0C) jauh lebih rendah dari lapisan air di bawahnya (Suhu rata-rata pada kedalaman air 2m sekitar 29-300 0C). Kondisi ini akan menimbulkan peristiwa “umbalan” atau pembalikan air dari lapisan bawah naik ke permukaan dan sebaliknya. Kedua, kandungan oksigen terlarut di lapisan air yang lebih dalam (pada kedalaman 10 m) sudah lebih kecil dari 3 mg/l (0,6 mg/l) atau lebih kecil dari batas minimum kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh ikan untuk kehidupannya. Jadi defisit oksigen telah terjadi di lapisan air yang lebih dalam dari 3 m. “Dengan terjadinya umbalan, ikan akan kekurangan oksigen sehingga mati lemas. Ukuran ikan mati dimulai dari ukuran yang besar karena ikan ukuran besar akan lebih banyak memerlukan konsumsi oksigen dibandingkan dengan ikan ukuran kecil,” ujarnya.

Peristiwa Umbalan juga dipicu adanya kandungan oksigen terlarut yang rendah di lapisan air bagian bawah disebabkan oleh kandungan oksigen yang tersedia digunakan untuk dekomposisi bahan organik yang tinggi. Bahan organik yang tinggi berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan kotoran ikan dalam budidaya KJA (16.000 ton/tahun). Selain itu juga berasal dari limbah yang terbuang dari Waduk Cirata (48.000 ton/tahun) yang outletnya masuk ke waduk Djuanda. Peristiwa umbalan ini tidak terjadi menyeluruh di seluruh perairan waduk, tetapi terjadi secara sporadis/terpencar di beberapa lokasi, karena dipengaruhi stratifikasi suhu air, kedalaman air, tipe fisik profil dasar dan arus.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Anang Noegroho, Plt. Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0811806244)


Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014