Saya ingin tampilkan sisi perempuan Cut Nyak Dien. Sebagai ibu atau dia juga sedih ketika kehilangan"
Jakarta (ANTARA News) - Bungkuk dan tertatih-tatih, Cut Nyak Dien berjalan ke bangku di dekatnya.

Ia menumpahkan kerinduannya akan tanah kelahirannya, Aceh.

"Nanggroe.. Nanggroe..," rintihnya. "Orang bisa dicabut dari tanah kelahirannya, tapi tidak bisa direnggut cintanya."

Cut Nyak Dien mengerang betapa sakitnya ia berada jauh dari tanah kelahirannya. Diasingkan di Tanah Sunda, ia meratap betapa ia merindukan Aceh, pepohonan hingga tanahnya.

"Betapa membahagiakannya kalau aku bisa mati di dadaku sendiri," katanya.

Ia mengenang perjuangannya bersama mendiang suaminya Teuku Ibrahim melawan penjajah. Betapa sakitnya ia ketika tahu Ibrahim tewas di medan pertempuran.

Ia pun menerima pinangan Teuku Umar karena sangat mendukung perjuangan. Peristiwa itu terulang lagi.

"Sebaik-baiknya mati adalah mati syahid," katanya.

Sha Ine Febriyanti menghidupkan kembali Cut Nyak Dien melalui dramatique reading.

Suaranya lantang ketika menyuarakan kebenciannya terhadap penjajah. Ia menangis ketika mengenang tanah kelahirannya, suaminya, anak-anaknya.

"Selama ini, Cut Nyak Dien dikenal sebagai perempuan yang berani, siapa saja dibabat. Saya ingin tampilkan sisi perempuan Cut Nyak Dien. Sebagai ibu atau dia juga sedih ketika kehilangan," kata Ine usai pentas di Galeri Indonesia Kaya, sore ini.

Dalam waktu singkat, hanya empat hari, ia menyiapkan pertunjukan ini.

Untuk mendalami peran ini, selain riset pustaka, ia juga menonton film "Cut Nyak Dien".

Ia juga memperhatikan teman-temannya yang orang Aceh dan memperhatikan mereka ketika berbahasa Indonesia untuk mendapatkan pelafalan khas sana.

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014