Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi akan memeriksa mantan Deputi Bidang Sistem, Prosedur, dan Kepatuhan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Jusak Kazan untuk penyidikan tindak pidana korupsi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.

Dalam penyidikan kasus dengan tersangka Syafruddin Temenggung, KPK telah memeriksa puluhan saksi. Syafruddin sendiri diperiksa satu kali pada 5 September 2017.

Saat itu, penyidik baru menggali informasi tentang pengangkatan, tugas, dan fungsi tersangka sebagai mantan sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Kepala BPPN.

Jumat pekan lalu sedianya KPK memeriksa Syafruddin untuk kedua kali sebagai tersangka, namun dia tidak hadir.  Sebelumnya, berdasarkan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI sebesar Rp4,58 triliun.

KPK telah menerima hasil audit investigatif itu pada 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjaradjakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL iuntuk disetujui KKSK dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.

Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017