Siti Hartinah atau yang dikenal dengan Ibu Tien Soeharto pernah mengistruksikan agar aneka lukisan bertema telanjang tidak lagi terpajang di semua istana.

Akibatnya, hampir separuh masa pemerintahan suaminya, Soeharto, Sanggar Lukisan Istana Presiden menyekap puluhan koleksi lukisan nude dalam satu ruangan di Istana Bogor.

Padahal ada juga lukisan Sarinah karya Sukarno pada 1958 yang menampilkan tipe wanita Indonesia dan lukisan-lukisan yang menggambarkan wanita karya Basuki Abdullah dalam koleksi Istana Bogor.

Dalam buku 17/71: Goresan Juang Kemerdekaan, Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia yang ditulis Mikke Susanto dan Agus Dermawan T (2016) disebutkan hal itu malah menjadi bagian menarik wisata istana.

Atas inisiatif pribadi, beberapa petugas istana menawarkan kepada para tamu untuk menikmati lukisan-lukisan itu. Tak jarang mereka yang pernah mendengarnya dan berkesempatan mengunjungi Istana Bogor berinisiatif minta diizinkan melihat.

Puluhan lukisan wanita cantik dalam berbagai ukuran yang dikemas dalam pigura dipajang dalam ruangan seukuran dua kelas sekolah. Lukisan-lukisan realis tersebut merupakan karya pelukis-pelukis potret mancanegara.

Istana Bogor memang menyimpan banyak benda seni, baik yang berupa lukisan, patung, serta keramik dan benda seni lainnya. Hingga kini lukisan yang terdapat di istana ini adalah 448 buah. Begitu pula halnya dengan patung dengan aneka bahan bakunya. Di istana ini terdapat patung sebanyak 216 buah dan mengoleksi keramik sebanyak 196 buah.

Antara lain adalah patung "Si Denok" karya Trubus dan reproduksi patung "The Hand of God", yang berasal dari Swedia. Dua patung wanita dibuat dari batu pualam Italia mengawal pintu depan patung berasal dari Yugoslavia dan Skandinavia, masih ada juga patung orang tua berjongkok berbahan perunggu dari Sukabumi.

Salah satu yang terkenal dan dicari pengunjung memang patung si Denok. Si Denok terletak di sisi kanan gedung utama Istana Bogor dekat taman teratai.


(ANTARA News/Desca Lidya)

Patung si Denok yang tanpa busana ini menggambarkan seorang wanita dengan kepala menoleh ke kanan serta kedua tangan berada di paha kiri yang menjadi tumpuannya berjongkok. Tubuh patung menggunakan model anak pelukis Ernest Dezentje dan wajahnya adalah perempuan muda bernama Ara, anak pegawai Istana Bogor.

Menurut kurator seni istana Mikke Susanto, lukisan-lukisan di Istana Bogor memang berkonsep Romantika Indonesia Nusantara sehingga kesan intim dan hangat hadir dalam setiap koleksi seni Istana Bogor.


Sejumlah lukisan di Ruang teratai gedung induk Istana Bogor (ANTARA News/Desca Lidya)

Kesan hangat itu juga yang mungkin menempatkan Hartini ketika menikah dengan Presiden Sukarno tinggal di Istana Bogor. Pernikahan Sukarno dan Hartini sendiri berlangsung pada 7 Juli 1953 di gedung Induk Istana Cipanas.

Berdasarkan buku Fatmawati Sukarno, The Firs Lady terbitan Penerbit Ombak karya Arifin Suryo Nugroho (2010). Sukarno sudah mulai merayu Hartini dengan mengikutsertakan Istana Bogor di dalam rayuannya.

Pertemuan keduanya pertama terjadi ada 1952 saat Sukarno berkunjung ke Salatiga dan kagum dengan kelezatan sayur lodeh buatan Hartini, janda muda ayu berusia 28 tahun dan beranak lima.

Sesampainya di Jakarta, Sukarno menulis surat kepada Hartini dengan megnatakan "Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir!".

Hartini menolak dan tidak menanggapi cinta sang presiden. Tapi bukan Sukarno jika menyerah sampai di situ, surat demi surat ia kirimkan kepada Hartini dan demi menjaga kerahasiaan, Sukarno mengunakan nama samaran Srihana sedangkan kekasih barunya ia namai Srihani dan lewat kata-kata indah nan romantis yang dikemas dalam 4 bahasa: Indonesia, Jawa, Inggris dan Belanda, akhrinya luluh juga hati Hartini.

Namun Hartini khawatir juga jika dikatakan merebut suami orang, Sukarno lalu dengan sekuat tenaga membangun keyakinan dan cita Hartini dengan mengatakan "Tien, I cant work without you. Meski kamu istri kedua, kamu tetap istri saya yang sah. Biarpun kamu tidak tinggal di Istana Negara, kamu tetap menjadi ratu. Kamu akan menjadi ratu yang tidak bermahkota di Istana Bogor," rayu Sukarno.

Setelah menjalani hubungan selama sekitar satu tahun itu, akhrinya Hartini menerima pinangan Sukarno dengan segala konsekuensinya. Hartini menjawab "Ya dalem bersedia menjadi istri Nandalem, tapi dengan syarat Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan karena kami sama-sama wanita".

Di Bogor, Hartini telah diperlakukan selayaknya istri presiden. Setiap keluar dari kompleks Istana Bogor, ia selalu mendapat pengawalan yang dengan riuh membunyikan sirine-nya menyuruh orang minggir di tiap jalan. Beberapa istri pejabat-pejabat di Bogor juga telah keluar masuk Istana untuk mengunjungi Hartini.

Karena Fatmawati memutuskan untuk keluar dari Istana pada 1954 saat anak-anaknya berusia kecil karena enggan mau dimadu, padahal berbagai urusan kenegaraan membutuhkan peran seorang Ibu Negara, maka Hartini yang berada di Istana Bogor berangsur-angsur diterima masyarakat. Bahkan mulai Mei 1957, Sukarno tinggal di paviliun Amarta Istana Bogor yang dibangun pada 1954 bersama Hartini dengan kedua anak mereka, Taufan dan Bayu.

Di paviliun itu juga Sukarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang isinya antara lain memerintahkan Soeharto mengambil tindakan menjami keamanan, ketenangan dan kestabilan juga menjami keselamatan dan kewibawaan Sukarno. Surat itu juga yang menjadi penanda beralihnya kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto.

Permintaan pembuatan surat itu dilakukan oleh Menteri Urusan Veteran Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Perindustrian Brigadir Jenderal M Jusuf dan Brigjen Amirmachmud selaku Panglima Kodam Jaya ada 11 Maret 1966.

Lewat satu tahun dari penandatanganan Supersemar itu, giliran Sukarno, Hartini dan anak-anak mereka yang diminta segera keluar dari paviliun Istana Bogor.

Pukul 08.00 pada pertengahan Desember 1967, Sukarno mendapat perintah agar paviliun Amarta segera dikosongkan. Keputusan itu berdasarkan surat yang dikirim Panglima kodam Jaya, Mayjen Amirmachmud. Ultimatum tidak lagi dalam hitungan hari tapi jam sehingga pada pukul 11.00 menjadi batas waktu untuk berkemas.

Sukarno pun berucap "Het is niet meer mijn huis (Sudahlah ini bukan rumah saya lagi)". Hartini bersama anak-anaknya tinggal di rumah di Jalan Jakarta, Bogor, sementara Sukarno tinggal di rumah pribadinya di Puri Bima Sakti Batutulis Bogor.

Sesungguhnya bukan hanya presiden dan keluarga presiden yang "terusir" dari istana Bogor namun ada juga rusa-rusa totol (Axis Axis) juga sempat terusir dari istana karena jumlahnya sudah terlalu banyak. Istana Bogor pada 1998 bahkan melungsurkan 25 ekor rusa ke Istana Tampaksiring.

Awal kedatangan rusa adalah pada 1808-1811 saat masa pemerintahan Gubernur Jenderal Willem Daendels, pada halaman Istana didatangkan dan dipelihara enam pasang rusa yang berasal dari perbatasan India dan Nepal dan perkembangan populasi rusa terus meningkat.

Saat ini jumlah rusa di Bogor berjumlah sekitar 600-an ekor, atau masih ideal dengan memperhitungkan luas halama rumput Istana Bogor sekitar tiga hektare dari total luas kawasan Istana yang mencapai 28,8 hektare dengan luas bangunan istana sekitar 900 meter persegi.

Karya seni terbaru yang hadir di Istana Bogor adalah perayaan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2017.


Peringatan Hari Sumpah Pemuda Presiden Joko Widodo (tengah) berswafoto dengan peserta saat peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-89 di Halaman Istana Bogor, Jawa Barat. (ANTARAFOTO/Wahyu Putro)

Halaman belakang Istana Bogor "disulap" menjadi tempat pesta kebun dengan mempertunjukkan karya-karya kreatif dari perspektif generasi milenial. Ratusan pemuda dengan beragam profesi, mulai dari pelajar, mahasiswa, vlogger, olahragawan, entrepreneur, seniman juga hadir di Istana Kepresidenan Bogor.

Termasuk di dalamnya komunitas "foodtruck". Ada delapan kendaraan yang terdiri antara lain truk dan VW Combi yang dimodifikasi berjejer di pinggiran jalan taman Istana Kepresidenan Bogor yang menghadap ke Kebun Raya Bogor.

Tidak ketinggalan Presiden Jokowi membacakan karya seni berupa puisi bertema Sumpah Pemuda karya Dewi "Dee" Lestari berjudul Sumpah Abadi.

Puisi itu bercerita tentang sumpah dan tekad pemuda yang bukan hanya untuk diri dan kaumnya melainkan untuk segenap bangsa dan Tanah Air-nya sehingga yang harus dilakukan adalah menyeberangi ketidaksamaan demi bekerja bersama.

Beragam seni memang dapat lahir di Istana Bogor.

(Baca: Mengenal Istana Kepresidenan - Istana Bogor dalam bayang-bayang taman firdaus)

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017