Jakarta (ANTARA News) - Indeks Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) yang baru dirilis Asia Competitiveness Institute (ACI) menunjukkan posisi Provinsi DKI Jakarta turun dari peringkat kedua ke peringkat keempat dalam hal kemudahan berbisnis di Indonesia.

Jakarta kalah dari Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang berturut-turut menduduki peringkat pertama, kedua, dan ketiga.

Research Fellow sekaligus Deputy Director ACI Mulya Amri mengatakan penurunan peringkat kemudahan bisnis DKI Jakarta antara lain disebabkan oleh performa Jakarta yang stagnan.

"Skor Jakarta pada indikator Responsiveness to Business and Competitive Policies yang terbilang rata-rata, menunjukkan bahwa Jakarta masih kurang kompetitif dibandingkan dengan provinsi lain yang mengalami banyak kemajuan," ujar Mulya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.

Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute Wendy Haryanto mengatakan bahwa proses perizinan bangunan yang menjadi salah satu indikator penting kemudahan berbisnis masih bermasalah di Jakarta.

"Hingga saat ini, belum ada inovasi yang signifikan terkait dengan proses perizinan di Jakarta. Ini salah satunya disebabkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sebagai garda terdepan perizinan mempunyai banyak masalah," kata Wendy.

Selain itu, lanjut Wendy, kompleksnya regulasi di tingkat nasional maupun provinsi juga menjadi faktor penting dalam efisiensi pengurusan perizinan. Ditambah lagi, saat ini belum ada keterlibatan sektor swasta dalam perumusan kebijakan.

"Kompleksnya proses perizinan di Jakarta menjadi tantangan tersendiri bagi Pemprov DKI Jakarta dan juga para pelaku properti," ujar Wendy.

Co-Director ACI Tan Kong Yam menjelaskan bahwa indeks ACI dihitung berdasarkan statistik ekonomi yang digabungkan dengan pandangan 925 pelaku bisnis di 33 provinsi. Ia mengklaim indeks kemudahan berbisnis ACI lebih komprehensif dibandingkan indeks serupa yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.

Menurut Tan Kong Yam, para investor saat ini tengah mengamati bagaimana pemerintah provinsi mempermudah prosedur investasi. Bagi mereka, ia melanjutkan, reformasi peraturan saja tidak cukup.

"Untuk memutuskan tujuan investasi, mereka juga mempertimbangkan kondisi infrastruktur dan tenaga kerja, potensi pasar, dan efektivitas biaya. Oleh karenanya, kami memasukkan faktor-faktor tersebut dalam indeks ini," ujar Tan Kong Yam.

Penurunan peringkat dalam kemudahan berbisnis bisa mempengaruhi keputusan calon investor dalam menentukan lokasi investasi, memungkinkan mereka beralih ke wilayah lain yang iklim usahanya lebih kondusif dan peringkat kemudahan bisnisnya lebih tinggi, dan akhirnya bisa berimbas pada perekonomian dan penyerapan tenaga kerja di daerah yang ditinggalkan.


Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017