Sleman (ANTARA News) - Pembangunan Museum "Tetenger" Erupsi Gunung Merapi di Dusun Bakalan, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta yang dibangun sejak pertengahan 2016 sampai saat ini belum selesai.

"Museum `Tetenger Merapi` yang sebenarnya difungsikan untuk mengingat bencana erupsi 2010 tersebut, keberadaannya yang dirasa melanggar aturan mengenai pembangunan fisik, yaitu masuk ke dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III," kata Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Wisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, Savitri Nurmala Dewi, Kamis.

Menurut dia, kawasan di sekitarnya memang termasuk KRB II. Namun, di titik yang dalam proses pembangunan Tetenger itu berada di KRB III.

"Jadi KRB III yang merupakan zona paling berbahaya itu tidak hanya yang dekat dengan puncak Merapi. Tapi juga yang berada di dekat sungai berhulu Merapi. Museum Tetenger itu berada di dekat Sungai Gendol," katanya.

Ia mengatakan, kondisi tersebut merupakan salah satu alasan yang menyebabkan proses pembangunan menjadi lambat.

"Kami harus melakukan negosiasi dan pemahaman, terutama kepada masyarakat setempat. Jangan sampai disalahartikan legalitas pemerintah yang melakukan pembangunan fisik di area bahaya. Kami tidak membangun, tapi penataan areal," katanya.

Shavitri mengatakan, dalam upaya yang dilakukan, selain memberikan pemahaman kepada masyarakat setempat juga negosiasi masalah pembebasan tanah di sekitarnya yang merupakan kas desa.

"Kami juga berkoordinasi dengan Badan Geologi dan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta," katanya.

Ia mengatakan, ketika sewaktu-waktu Merapi bergejolak maka proses pembangunan itu akan dihentikan sementara. Namun, terpenting ada upaya untuk membangunnya menjadi laboratorium alam erupsi Merapi.

"Pemerintah tetap ada niatan. Museum akan dijadikan tempat edukasi dampak letusan Merapi," katanya.

Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017