Jakarta (Antara News) -- Istilah sel punca atau stem cell sudah tidak asing lagi di dunia kesehatan. Sel-sel ini bertanggung jawab untuk menjaga tubuh kita bekerja setiap harinya, seperti membuat jantung berdetak, otak berpikir, mengganti kulit yang terkelupas, dan lain-lain. Atau dengan kata lain, fungsi utama sel punca adalah untuk menciptakan berbagai jenis sel tersebut.

Pengembangan sel punca terus dilakukan ahli kesehatan sejak lama. Pada tahun 1868, pakar biologi berkebangsaan Jerman, Ernst Haeckel, menggunakan istilah sel punca untuk menggambarkan telur yang dibuahi yang berpotensi untuk berdiferensiasi menjadi beragam jenis sel di dalam tubuh. Dan sejak saat itu, ilmuwan telah memimpikan masa depan di mana sel-sel ini dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesehatan manusia.

Menurut direktur Rhed Clinic, Dr. Elvin Erick Gultom, terapi sel punca bekerja dengan cara menghambat dan membalikan proses penuaan. “Sel punca memiliki efek anti aging yang unik dengan melakukan regenerasi dan perbaikan organ tubuh yang rusak akibat toksin dan radikal bebas yang didapat dari kehidupan sehari-hari,” katanya.

Namun, kata Elvin, selalu ada satu tantangan besar dalam melakukan riset sel punca, yaitu: Menemukan sel punca. Dalam tahap perkembangan awal tertentu, embrio hampir semuanya terbuat dari sel punca, tetapi penggunaan sel embrionik dalam riset sudah lama menjadi topik hangat dalam perdebatan masalah etis.

“Di Indonesia masih menjadi polemik karena dilarang oleh agama. Sehingga sejauh ini alternatifnya adalah sel-sel yang diambil dari bagian selain embrio seperti tali pusat,” lanjutnya.

Di Jepang, Shinya Yamanaka-peraih Penghargaan Nobel tahun 2012 di bidang fisiologi atau kedokteran bersama dengan John B. Gurdon atas penemuan bahwa sel-sel yang matang dapat diprogram kembali untuk menjadi pluripoten. Pada tahun 2010, dua tahun sebelum menerima Penghargaan Nobel untuk karyanya, Shinya Yamanaka memulai suatu program yang disebut CiRA, Pusat Riset dan Penerapan Sel iPS, dengan misi menggunakan sel iPS untuk terapi baru dalam dunia medis. Dan sebagai pelopor dunia dalam riset dan produksi asam amino, Ajinomoto Co. secara alami terlibat dalam proyek kerja sama dalam mengembangkan media kultur yang ideal untuk riset sel iPS CiRA.

Ajinomoto Co. telah menerapkan keahliannya dalam asam amino untuk mengembangkan bidang farmasi selama lebih dari 60 tahun. Pada tahun 1956, Ajinomoto Co. menjadi perusahaan pertama di dunia yang memproduksi kristal asam amino untuk keperluan infus, produk nutrisi enteral, dan bahan-bahan farmasi. Selanjutnya, Ajinomoto Co. mengembangkan serangkaian diet unsur dasar (elemental) dan obat-obatan lainnya. Dengan demikian Ajinomoto Co. memang merupakan mitra yang tepat untuk mengembangkan media kultur bagi CiRA.

Di tahun 2010, Shinya Yamanaka membuat suatu program yang disebut CiRA, Pusat Riset dan Penerapan Sel iPS, dengan misi menggunakan sel iPS untuk terapi baru dalam dunia medis. Salah satu yang dikembangkan saat ini adalah StemFit®. StemFit® merupakan media kultur dengan kualitas dan performa tinggi. Proliferasi sel dalam media kultur StemFit® memiliki laju pertumbuhan tinggi. Hal ini tidak saja menjadikan riset lebih efisien, tetapi juga lebih hemat biaya.

Seperti diketahui, salah satu hambatan terbesar dalam obat regeneratif dengan menggunakan sel iPS adalah biaya dan waktu yang diperlukan untuk memproduksi sel iPS dari sel somatik, sehingga stok yang tersedia bagi lembaga riset dan rumah sakit di seluruh dunia ini diharapkan memberikan dampak positif yang besar.

 
 


Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2018