Jakarta (ANTARA News) - Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integarasi (PPI) Timor Timur, Eurico Guteres, mengajukan pengujian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis. Kuasa hukum Eurico, Mahendradatta, mengatakan pengujian dikhususkan pada pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM beserta penjelasannya. Pasal 43 ayat (2) UU Pengadila HAM itu menyatakan pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan menggunakan Keputusan Presiden. Penjelasan UU itu mengegaskan bahwa dalam mengusulkan pembentukan pengadilan HAM, DPR dapat mendasarkan pada dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam suatu peristiwa tertentu. Ketentuan itu, menurut Mahendradatta, bertentangan dengan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam pasal 27 (1), 28D, 28G (1), dan 28I (2) UUD 1945. Eurico Guteres adalah salah satu terdakwa dalam pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Eurico adalah salah satu dari 17 nama yang harus menjalani persidangan tersebut dan ia diganjar hukuman 10 tahun penjara. Ke-17 nama terdakwa itu diajukan oleh DPR meski sebelumya Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Timor Timur telah mengajukan 21 nama yang harus bertanggung jawab. "Saya tidak tahu yang empat nama kemana," kata Mahendradatta. Menurut Mahendradatta, Eurico merasa diperlakukan tidak adil karena keberadaan pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAMN yang menempatkan DPR sebagai pihak yang dapat mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. "Itu menimbulkan intervensi politik," katanya. Intervensi DPR dalam kasus Eurico, katanya, terlihat dengan perbedaan jumlah terdakwa kasus Timor Timur yang diusulkan KPP HAM dan rekomendasi DPR. Mahendradatta berpendapat, DPR sebagai lembaga politik tidak memiliki wewenang intervensi terhadap lembaga peradilan. Dengan kata lain, DPR harus berada di luar sistem peradilan kriminal ("criminal justice system"). Selain itu, Mahendradatta juga mempermasalahkan kewenangan DPR untuk menduga telah terjadi pelangaran HAM berat dalam suatu peristiwa tertentu. Menurut dia, dengan melakukan dugaan berarti DPR berhak melakukan penilaian terhadap suatu peristiwa sehingga telah melakukan fungsi pengadilan. Padahal, tidak ada ketentuan dalam UU Pengadilan HAM yang menyatakan DPR membutuhkan bahan atau syarat konstitusional apapun untuk melakukan dugaan. Sebelumnya, pasal 43 ayat (2) UU Pangadilan HAM juga diajukan oleh mantan Komandan Tim Mawar, Bambang Kristiono, yang dituduh terlibat dalam penculikan dan penghilangan paksa para aktivis pada 1998 dan kerusuhan Trisakti dan Semanggi. Bambang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena terancam untuk diadili untuk kedua kalinya apabila DPR mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus kekerasan pada 1998 itu. Sebelumnya, Bambang telah dijatuhi hukuman satu tahun delapan bulan penjara dan dipecat dari kesatuannya oleh pengadilan militer.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007