Jakarta (ANTARA News) - Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jelang akhir jabatannya pada periode pertama, teramat rajin membagi-bagikan sertifikat tanah kepada sebagian besar rakyat miskin, khususnya para petani yang tidak punya banyak lahan.

Jumlah sertifikat yang dibagi lebih dari 1,5 juta lembar. Pembagian itu menurut Presiden merupakan salah satu pemenuhan janji kampanyenya, meningkatkan kesejahteraan dan keadilan, menekan konflik lokal yang antara lain disebabkan oleh tergerusnya areal pertanian masyarakat adat, diambil alih oleh para pengusaha kelapa sawit dan perkebunan lainnya.

Pembagian sertifikat kepada masyarakat bawah, kata Presiden SBY kala itu, merupakan bagian dari tindak lanjut kegiatan legalisasi aset dan program redistribusi tanah kepada petani, nelayan dan para transmigran. Tujuannya saat itu murni redistribusi aset negara kepada petani, tidak ada kaitannya dengan rencana pemilihan presiden pada tahun berikutnya.


Langkah Jokowi

Tindakan yang sama juga dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Saya paling sedih kalau datang ke daerah, kabupaten, provinsi, keluhannya sengketa tanah tetangga dengan tetangga, individu dengan masyarakat, individu dengan BUMN (badan usaha milik negara), anak dengan orang tua, sehingga rame gara-gara urusan sertifikat, urusan tanah," ungkap Presiden Jokowi.

Pada titik itu, Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan membagikan lebih dari lima juta sertifikat tanah ke petani dan nelayan.

Pembagian itu akan terus bergulir, tujuh juta sertifikat untuk tahun berikutnya, dan tahun depannya lagi jadi sembilan juta sertifikat harus selesai. Itu sebabnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) diminta kerja keras untuk mewujudkan rencana tersebut.

Para praktisi hukum adat menilai dan menyambut baik program redistribusi aset tanah itu, karena punya misi meningkatkan daya tawar petani dan nelayan agar tidak terus tergusur para pengusaha yang ingin memanfaatkan lahannya dengan harga murah. Tujuannya tentu bukan politik atau untuk mendongkrak suara pada pilpres tahun berikutnya.

Sesungguhnya pembagian sertifikat bukan solusi yang paling diharapkan oleh masyarakat adat, petani dan nelayan. Sebaliknya, masyarakat berharap pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dapat menuntaskan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) yang sudah 15 tahun mandeg alias mangkrak di DPR.

RUU itu diajukan oleh pemerintah sejak tahun 2004. Namun, sampai saat ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak kunjung diselesaikan, padahal RUU itu bagian dari amanah Undang-Undang Dasar Negara 1945.

Pasal 18B UUD antara lain menyebutkan: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Maknanya, konstitusi atau UUD 45 menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, tidak melanggar semangat NKRI sesuai dengan perkembangan zaman.

Oleh karena itu, UUD memberikan mandat agar Pemerintah bersama DPR melakukan pembuatan UU sebagai tindak lanjut dari Pasal 18B UUD 1945 itu. Namun sampai sekarang, RUU itu belum jelas arahnya, atau hampir sama dengan RUU KUHP yang sudah 30 tahun berputar-putar di bahas di DPR.

Prof Romli Atmasasmita menyebutnya, banyak orang pintar atau ahli hukum di pemerintahan dan di DPR, tetapi amat sedikit yang memahami asas hukum bangsa Indonesia itu berbeda dengan asas yang berada di AS dan Eropa.

Mestinya, RUU Masyarakat Adat dapat diselesaikan karena di dalamnya rancangan itu pasti banyak muatan dengan asas-asas lokal yang cocok dengan Pancasila dan masyarakat Indonesia. Jika RUU MA tidak mudah diselesaikan, dipastikan ada masalah yang tak mudah diurai.


Sarat kepentingan

Kelompok pegiat masyarakat adat menengarai bahwa ribetnya pembahasan RUU MA, karena didalamnya syarat dengan kepentingan. Bukan sebagai rahasia umum, jika RUU MA dapat diwujudkan, aturan itu dapat dipastikan dapat membuat para pengusaha, khususnya di bidang perkebunan sawit mengalami kesulitan saat akan memperpanjang hak guna usahanya. Pasalnya, saat ini kepemilikan tanah di Tanah Air dikuasai tidak lebih dari 25 grup perusahaan kelapa sawit.

Penguasaha itu menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi. Dari 5,1 juta hektare, atau 51.000 km, sebanyak 3,1 juta hektare telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami. Sumber lain menyebutkan, luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai lebih dari 10 juta hektare, dan akan terus naik sejalan membaiknya bisnis komoditas tersebut.

Lembaga Transformasi untuk Keadilan (LTuK), dalam temuannya menyebutkan, kekayaan total para pengusaha sawit pada 2013 mencapai 71,5 miliar dolar AS atau Rp922,3 triliun. Angka konservatif ini diperoleh dari kajian yang dibuat Jakarta Globe. Sebagian besar kekayaan itu bersumber dari bisnis perkebunan sawit, dan beberapa usaha lainnya.

Tetapi di balik kesuksesan mereka, banyak masyarakat adat di sekitar perkebunan tetap hidup miskin, bahkan tersiksa dan sengsara. Hal itu terjadi lantaran RUU Masyarakat Adat tidak kunjung diselesaikan, sehingga tidak ada regulasi yang kuat menjamin perlindungan tanah ulayat.

Dengan demikian, penting untuk mengingatkan lagi pemerintah dan DPR mengenai penyelesaian RUU Masyarakat Adat yang telah tertunda hingga satu setengah dasawarsa sejak pemerintahan SBY hingga Jokowi.

Kedua lembaga kunci negara itu perlu segera menyadari bahwa UU Masyarakat Adat merupakan bentuk pengakuan yang nyata atau riil terhadap eksistensi komunitas ulayat, khususnya dalam hal kepemilikan dan pengelolaan tanah dibanding pembagian sertifikat. Pasalnya saat ini, konflik tanah masih terus terjadi, antara masyarakat adat dengan pengusaha perkebunan atau pertambangan. Bahkan ironisnya, sengketa itu disebabkan oleh banyaknya sertifikat ganda yang diterbitkan oleh otoritas negara.

Ada sejumlah problem yang mesti dibahas lebih lanjut dalam RUU Masyarakat Adat. Dalam pertemuan antara DPR dengan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA), beberapa hal konstruktif diajukan, diantaranya mengenai eksistensi dan sistem religi masyarakat adat, hak-hak budaya, pemberdayaan, peradilan adat dan penyelesaian konflik tanah ulayat secara Ad Hoc.

Publik menangkap kesulitan pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Ada kecurigaan, pengesahaan rancangan tersebut menjadi produk UU dapat mengganggu kemudahan pengusaha dalam menguasai atau mengelola tanah dan lahan hutan. Pasalnya, UU Masyarakat Adat akan melibatkan komunitas ulayat dalam proses pemberian izin, atau akses untuk usaha ke sumber daya tersebut. Alhasil, mandegnya RUU Masyarakat Adat kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan usaha jangka pendek yang tentunya tidak berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan.

Dengan demikian, penting bagi pemerintah dan DPR untuk melihat masalah sengketa lahan, khususnya antara masyarakat ulayat dengan pengusaha dalam perspektif lebih lengkap.

Pembagian sertifikat mungkin solusi yang baik untuk memberi jaminan legal terhadap tanah milik masyarakat. Namun, sertifikat masih dapat jadi sumber sengketa di kemudian hari. Namun berbeda dengan UU, regulasi dapat dengan jelas memberi perlindungan, dan tentunya pengakuan bagi masyarakat adat berikut tanah leluhurnya.

(*) Laksanto Utomo adalah Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA); Theo Yusuf Ms, Peneliti Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI)

 

Pewarta: Laksanto Utomo dan Theo Yusuf*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018