Panitia harus bersabar dan ikhlas dalam melakukan pelayanan.
Mekkah (ANTARA News) - Penyelenggaraan ibadah haji ternyata tidak sederhana, karena selain bertujuan melayani jumlah jamaah yang sangat besar, juga melibatkan berbagai pihak, lintas sektor dan antarnegara.

Jumlah jamaah haji Indonesia mencapai 221 ribu orang. Bisa dibayangkan untuk memobilisasi jamaah dari Tanah Air ke Tanah Suci dan mengembalikannya lagi ke Indonesia perlu penanganan yang menyeluruh, tidak bisa sembarangan.

Proses pelayananan haji itu juga tidak berhenti pada soal memberangkatkan dan memulangkan, tapi juga soal penyediaan makan, penginapan, pelayanan kesehatan, sarana keamanan, bimbingan ibadah dan hal lain yang terkait.

Pengurusan haji itu juga harus dieksekusi Kementerian Agama, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Luar Negeri. Terlibat pula Kementerian Kesehatan dan Kementerian Hukum dan HAM, Polri, TNI dan lainnya.

Kemudian dari sektor tenaga pendukung diperlukan tenaga administrasi, tenaga pembimbing ibadah, katering, transportasi, tenaga kesehatan, tenaga musiman, pemberitaan dan lainnya, baik dari Indonesia maupun dari negara lain.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Abdul Djamil mengatakan penyelenggaraan pelaksanaan haji tidak pernah mudah. Karena jamaah sebagai Tamu Allah di Tanah Suci  tidak boleh dilayani asal-asalan.

"Banyaknya jamaah dengan berbagai latar belakang, ada yang buta huruf sampai sudah bergelar doktor, ada yang usia muda sampai tua, ada yang belum pernah ke bandara apalagi naik pesawat dan ada yang sudah bolak balik naik pesawat," kata Djamil.

Dari tingkat pendidikan, lanjut dia, terdapat kesenjangan sehingga saat menjelaskan mengenai manasik haji dan berbagai persoalan terkait haji juga terjadi kendala dalam cara penyampaiannya. Ada di antara mereka yang sekali dijelaskan mengerti, sementara yang lainnya tergolong sulit paham.

Baca juga: Jamaah diminta bawa uang secukupnya
Baca juga: Pemeriksaan imigrasi Saudi dilakukan di bandara Indonesia


Keragaman jamaah itu, kata dia, bisa menjadi persoalan pelik tetapi kadang jadi kisah jenaka. Untuk persoalan pelik itu bisa ditangani jika para Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) bisa bersabar dan ikhlas dalam melakukan pelayanan.

Dia mencontohkan, persoalan pelik itu ketika jamaah calon haji (JCH) masih saja membawa barang-barang yang tidak diperbolehkan di penerbangan komersial, padahal sudah diberi edukasi soal itu. Sering ditemukan jamaah tetap dengan pendirian untuk "ngeyel" membawa barang yang dilarang atau membawa sesuatu di luar kapasitas yang diizinkan.

Walhasil, dengan jamaah yang tidak patuh terhadap imbauan itu membuat koper dan barang bawaan mereka tertahan di bandara di Indonesia ataupun Arab Saudi. Ada yang disita, ada juga yang hanya ditahan barangnya.

"Cerita lainnya, saat saya jadi petugas haji, terdapat calon haji lanjut usia dan datang dari desa serta belum pernah naik pesawat. Dia meminta saya membukakan jendela pesawat biar isis (ada semilir angin)," kata dia.

Djamil mengingat hal itu sebagai sebuah kelucuan atas keluguan jamaah yang tidak mengerti soal pesawat.

Atas perkara-perkara seputar perhajian itu, Djamil mendorong setiap pihak yang terkait dengan penyelenggara ibadah haji harus siap melayani dengan profesional, sabar dan ikhlas.

Senada dengan Djamil, Konsul Jenderal RI Jeddah Hery Saripudin mendorong agar petugas haji  melayani dengan sepenuh hati seiring banyaknya persoalan bagi jamaah.

Petugas, kata dia, juga tidak boleh jemawa dengan tugasnya sebagai pelayan jamaah haji Indonesia.

"Perlu diingat. Kita di sini itu karena ada jamaah haji, bukan sebaliknya bahwa jamaah di sini karena ada petugas haji," kata Hery memberi pengarahan kepada PPIH di Mekkah.


Kemenag Merespon

Musim haji 2018 Kemenag menyiapkan sepuluh inovasi pelayanan agar jamaah haji tertangani dengan baik.

Menteri Agama Lukman Hakim mengatakan salah satu inovasi dalam perhajian tahun ini adalah kebijakan rekam biometrik di Tanah Air.

Baca juga: Gelang jamaah calon haji dikerjakan industri kecil
 Baca juga: Kemenag bentuk tim pertolongan pertama jamaah haji


Lewat kebijakan itu diharapkan bisa mengurangi waktu tunggu jamaah untuk verifikasi keimigrasian biometrik yang dilakukan di bandara di Arab Saudi.

Proses rekam biometrik memakan waktu yang lama sehingga bisa menambah kelelahan jamaah calon haji (JCH) yang harus menempuh rangkaian perjalanan panjang.

Perjalanan yang panjang itu dimulai dari JCH yang berangkat dari kediaman menuju asrama haji. Dilanjutkan dari asrama haji ke bandara dan dari bandara embarkasi ke debarkasi.

Untuk durasi penerbangan saja memakan waktu 8-9 jam. Bisa dibayangkan jika jamaah lelah dan berlanjut mengantri rekam biometrik di Saudi.

"Dari sebelumnya bisa empat hingga lima jam, tahun ini diharapkan antrean jamaah di kedua bandara di Saudi itu hanya sekitar satu jam," kata dia.

Lukman mengatakan inovasi berikutnya adalah, hotel di musim haji 2018 disewa dengan sistem satu musim penuh di Mekkah maupun Madinah.

"Kita tidak lagi khawatir dengan masalah batas waktu tinggal di hotel seperti pada sistem blocking time," kata dia.

Inovasi berikutnya, kata dia, pencantuman kode QR pada gelang jamaah. Kode QR berisi rekam data identitas jamaah yang dapat diakses melalui aplikasi Haji Pintar.

Kode QR memudahkan identifikasi jamaah dengan aplikasi Haji Pintar sehingga bisa diketahui berbagai hal dari jamaah seperti tempat pemondokan, akomodasi, data diri dan lainnya.

Kemdian, ada inovasi penggunaan bumbu masakan dan juru masak asal Indonesia pada perusahaan katering penyedia konsumsi jamaah. Hal itu termasuk dengan mempekerjakan juru masak asli Indonesia.

Tujuan dari terobosan itu agar jamaah mendapatkan makanan yang sesuai selera Nusantara sekaligus memberdayakan tenaga Indonesia.

Terkait dengan inovasi itu, jumlah pemberian makan bagi jamaah juga ditambah untuk tahun ini dari 25 kali di tahun sebelumnya menjadi 40 kali.

Tidak lupa pula, ada penambahan kelengkapan pangan yang sesuai cita rasa Indonesia dengan adanya penyediaan teh, gula, kopi, saos sambel, kecap dan satu potong roti.

Inovasi keimigrasian juga dilakukan yaitu dengan penandaan khusus dengan warna pada paspor dan koper serta penggunaan tas kabin.

Tanda warna menunjukkan klasifikasi perangkat jamaah sesuai sektor wilayah hotel dan nomor hotel tempat tinggal jamaah. Dengan begitu, tidak ada lagi barang bawaan jamaah tersasar di hotel lain yang bukan tempatnya tinggal.

Kemenag, kata Lukman, juga melakukan inovasi pengalihan kuota haji jamaah kepada ahli waris jika yang bersangkutan meninggal sebelum menjalankan ibadah haji.

Inovasi selanjutnya pencetakan visa sudah bisa dilakukan Kemenag. Dengan jalan ini, kasus pencetakan visa terlambat tidak akan terulang sebagaimana pernah terjadi di tahun sebelumnya sehingga jamaah terlambat berangkat.

Pengintensifan layanan bimbingan ibadah menjadi inovasi selanjutnya. Kemenag tahun ini menempatkan satu konsultan ibadah di tiap sektor.

Konsultan ibadah bermanfaat memberi bimbingan bagi petugas dan jamaah haji apabila mengalami kegamangan keagamaan, seperti persoalan-persoalan syariah dan fikih.

Terobosan terakhir, Kemenag membentuk Pertolongan Pertama pada Jamaah Haji (P3JH).

Tim itu terdiri dari petugas layanan umum dengan kemampuan medis dari rumah sakit haji, dari program studi kedokteran UIN Jakarta serta rumah sakit TNI atau Polri.

P3JH bisa mendukung layanan kesehatan pada puncak haji, utamanya pada hari pertama lontar jumrah.

Pada tahun sebelumnya, banyak jamaah yang membutuhkan pertolongan kesehatan di areal Jamarat menuju Mina. Tim P3JH menjadi tim taktis yang akan membawa jamaah menuju tim kesehatan dalam keadaan darurat.

Secara umum, ibadah haji sebagai rukun Islam kelima tidak akan pernah lepas dari berbagai persoalan.

Untuk itu, Abdul Djamil selalu menekankan sinergi lintas sektoral sehingga ibadah haji bisa berlangsung dengan lancar bagi jamaah dengan dibantu instansi terkait.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018