Segera setelah peristiwa traumatik ini dia pasti merasa takut, bingung, mengalami dinamika konflik batin
Jakarta (Antara) - Psikolog dari Yayasan Pulih Livia Iskandar mengatakan bahwa hakim harus mempertimbangkan aspek psikologis dalam memutus perkara perkosaan yang melibatkan anak di bawah umur.

Pernyataan Livia disampaikan dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan di Jakarta, Minggu, sebagai respons keras atas penjatuhan pidana penjara enam bulan terhadap anak korban perkosaan yang melakukan aborsi di Jambi. Pelaku perkosaan atas WA (15) adalah kakak kandungnya sendiri.

"Ini adalah anak korban perkosaan yang dilakukan kakaknya sendiri, pasti berlapis-lapis trauma dia. Perlu ada pemeriksaan psikologis yang komprehensif untuk mengungkap dinamika yang dialami oleh anak ini sehingga penegak hukum bisa mempunyai perspektif yang lebih adil," ujar Livia.

Berdasarkan analisis Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan, ditemukan bahwa pertimbangan psikologis anak korban perkosaan belum dijadikan dasar pemutusan perkara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi.

WA dianggap bersalah berdasarkan Pasal 77A UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena mengaborsi janin yang berusia lebih dari 40 hari.

Dalam hal ini, aliansi berpendapat seharusnya penuntut umum dan majelis hakim mampu melihat bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada WA. 

Kondisi trauma psikologis akibat perkosaan sebanyak sembilan kali dan ancaman diusir oleh ibu korban menandakan adanya daya paksa atau keadaan memaksa atau keadaan darurat atau "overmacht" yang menghapuskan alasan pemidanaan. Anak korban perkosaan tidak dapat dipidana.

"Segera setelah peristiwa traumatik ini dia pasti merasa takut, bingung, mengalami dinamika konflik batin.Dia juga tidak memperhatikan dampak dari perkosaan ini bahwa dia bisa hamil," ujar Livia.

Saat ini tim pengacara WA telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jambi  dan menuntut korban dibebaskan. 

Atas dasar hal tersebut, aliansi menyampaikan tiga tuntutan salah satunya meminta Pengadilan Tinggi Jambi mempertimbangkan keterangan saksi ahli psikologi terkait kondisi psikis WA yang dengan segala pengalaman traumatiknya harus melakukan aborsi.

Selain itu, Pemerintah Provinsi Jambi bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu mengambil langkah tanggung jawab atas rehabilitasi psikologis dan sosial untuk WA beserta keluarganya.

"LPSK perlu memastikan adanya pemulihan jangka panjang, termasuk kepada komunitas tempat tinggal korban agar tidak memberi stigma atau bahkan sanksi adat yang malah menambah penderitaan korban," tutur Livia. 

Baca juga: Terkait kasus perkosaan anak, pencuri dihukum 12 tahun penjara
Baca juga: Pelaku perkosaan dibawah umur tetap diproses hukum

 

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018