Pekanbaru, Riau (ANTARA News) - Senyum merekah menghiasi wajah berseri Junaidi ketika difoto bersama penghargaan Kalpataru miliknya. Trofi warna emas berbentuk replika pohon lambang kehidupan dalam kotak kaca itu dia dekap dengan bangga.

Junaidi, yang kini rambutnya mulai memutih, sejatinya tidak pernah mengharapkan Kalpataru. Baginya, penghargaan itu hanya bonus dari kecintaannya menjaga hutan demi bisa menghirup udara sehat setiap hari sepanjang hidupnya.

Pria beranak dua yang sekarang berusia setengah abad itu menjadi penjaga hutan sejak 1982. Ia menikmati hidup di luar hiruk pikuk keramaian kota, bergerilya dari satu kawasan hutan ke kawasan hutan yang lain, berpacu dengan para perambah yang tidak pernah merasa puas.

Selama menjalankan tugas, tak jarang dia menghadapi penolakan warga dan intimidasi dari penjarah kekayaan hutan.

"Tapi saya harus hadapi itu semua. Ini karena kecintaan saya dengan hutan," katanya kepada Antara awal pekan ini.

Pegawai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu sudah 30 tahun lebih menjadi penyuluh lapangan kehutanan. Sebagian besar masa tugasnya dia habiskan di Kabupaten Kampar, menjaga hutan-hutan lebat bersama masyarakat adat. Dia pernah bertugas di Indragiri Hulu, Pelalawan, dan Kuantan Singingi meski akhirnya kembali ke Kampar.

Junaidi mengatakan menjaga hutan tak semudah menjaga anak-anaknya. Tingkat ancaman yang tinggi dan jumlah petugas yang minim menjadi tantangan besar, membuat dia bekerja ekstra keras.

Beban kerja setiap satu petugas biasanya mencakup satu hutan di satu kecamatan. Namun tak jarang Junaidi keluar dari koridor untuk menjangkau area hutan yang lain. Ia sukarela melakukannya.

"Barangkali itu yang menjadi penilaian saya mendapat Kalpataru," kata Junaidi, yang menerima penghargaan Kalpataru Perintis Penyelamat Pengabdi dari Menteri Siti Nurbaya di Manado akhir Agustus lalu.

Regenerasi

Semangat Junaidi dalam menjaga hutan memang masih berkobar. Tapi usianya sudah senja, dan dia sadar pada waktunya dia harus istirahat. Oleh karena itu Junaidi berupaya menumbuhkan penerus.

Junaidi kemudian menginisiasi pembentukan kelompok-kelompok penjaga hutan di Kampar dan wilayah lain di Riau. Ia tak ingat berapa tepatnya jumlah kelompok masyarakat penjaga hutan yang sudah dia bentuk. Namun dia yakin ada 20 kelompok lebih yang masih aktif.

Guna menjaga keberadaan kelompok-kelompok itu Junaidi melengkapi penyuluhannya dengan kegiatan pelatihan untuk meningkatkan perekonomian warga, termasuk pelatihan budidaya lebah madu.

"Agar lebah tetap menghasilkan madu, tentu hutan harus dijaga. Nah itu intinya," kata Junaidi, yang akan pensiun pada Januari 2019.

Selain itu, Junaidi terus berupaya mendekati masyarakat yang secara adat menjaga hutan. Dia mengaku kagum dengan aturan adat lokal yang mampu menjaga hutan secara adat selama ratusan tahun.

Dia sangat mendukung pengakuan terhadap hutan adat, berharap usul penetapan empat hutan menjadi hutan adat oleh Bupati Kampar mendapat persetujuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Lembaga riset World Research International (WRI) menyatakan total ada 5.000 hektare hutan adat yang saat ini diusulkan mendapat pengakuan KLHK, termasuk hutan adat Imbo Putui, hutan adat Kenegarian Gajah Betalu, Batu Sanggan, Kenagarian Kuok dan Kenegarian Petapahan.

Manager Regional WRI Sumatera Rahmad Hidayat mengatakan keberhasilan upaya Kampar mendapat pengakuan hutan adat akan menjadi loncatan besar bagi Provinsi Riau, menjadikannya sebagai provinsi ketiga yang hutan adatnya mendapat pengakuan setelah Jambi dan Sumatera Selatan.

"Ini akan menjadi terobosan besar apabila hutan adat di Kampar diakui oleh KLHK," kata Rahmad.

WRI menyatakan potensi hutan adat di Provinsi Riau sampai 300.000 haktare, dan semuanya perlu diupayakan mendapat pengakuan dari pemerintah.

Menurut lembaga itu kearifan lokal masyarakat adat terbukti berhasil menjaga hutan-hutan di wilayah Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu selama ratusan tahun.

Baca juga:
KLHK selidiki perambahan hutan lindung Bukit Betabuh Riau
Sebagian besar hutan-lahan Riau dalam keadaan mudah terbakar

 

Pewarta: Anggi
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018