Jakarta (ANTARA News) - Direktur Utama PT Samantaka Batubara AM Rudy Herlambang selaku saksi menjelaskan bahwa penyetoran modal konsorsium untuk pembangunan Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) tidak sesuai dengan Peraturan Presiden No 4 tahun 2016.
   
"Saya nyesek kalau bicara itu, saya setelah negosiasi dari awal Januari, terakhir yang disepakati mau tidak mau sepakat dari seharusnya PJBI (Pembangkit Jawa Bali Investasi) menguasai 51 persen, tapi dia hanya mampu setor modal 10 persen dari 51 persen, sisanya yang 41 persen itu (disetor) oleh CHEC (China Huadian Engineering Company) dan BNR (Blackgold Natural Resources) itu yang dinamakan junior loan," kata Rudy di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
   
Rudy menjadi saksi untuk pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo yang didakwa memberikan hadiah atau janji kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Golkar (saat itu) Idrus Marham senilai Rp4,75 miliar terkait pengurusan proyek IPP PLTU MT RIAU-1.
   
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, pembangunan infrakstruktur ketenagalistrikan dilaksanakan PLN melalui anak perusahaan PLN sebagai bentuk kerja sama PT PLN dengan badan usaha milik asing dengan syarat anak perusahan PLN memiliki saham 51 persen baik secara langsung atau melalui anak perusahaan PT PLN lainnya.
   
Dalam dakwaan disebutkan pada 25 September 2017, bertempat di kantor perwakilan PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) dilaksanakan pertemuan antara Yusri Febianto Manajer Senior PT PJB Dwi Hartono selaku Direktur Operasi PT PJBI Rudi Herlambang dan Wangkun dari CHEC. 
   
Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa kepemilikan saham perusahaan konsorsium yang nantinya akan mengerjakan proyek PLTU MT RIAU-1 saham mayoritas dimiliki oleh PT PJBI dengan komposisi saham 51 persen dengan setoran tunai modal hanya sebesar 10 persen, sedangkan CHEC yang awalnya hanya punya saham 37 persen dengan setoran tunai modal sebesar 37 persen malah ditambah 41 persen dari kewajiban PT PJBI sehingga seluruhnya berjumlah 78 persen. Sedangkan BNR yang wajib menyetorkan saham 12 persen tetap menyetorkan modal tunai sebesar 12 persen.
   
"Dari 41 persen sisa milik PJBI itu sekitar 97 persen itu ditanggung CHEC, sisanya tiga persen ditanggung BNR. Jadi, kalau gak salah equity yang harus disetor totalnya 200 juta dolar AS," tambah Rudy. 
   
Meski memiliki saham lebih besar dibanding PJBI, kedua investor, yaitu CHEC dan BNR, tidak menjadi pengendali.
   
"Kami investor, tapi tidak jadi pengendali, jadi harus selalu ngalah karena meski kami mayoritas. Di Perpres dijelaskan 51 persen harus dikuasai negara lewat anak perusahaan PLN, kemudian saham kami 49 persen harus dibagi dengan partner kami, partner kebagian 37 persen, anak perusaah PLN 51 persen, tapi okelah karena untuk negara," ungkap Rudy.
   
Rudy pun melaporkan hal tersebut kepada Kotjo. PT Samantaka merupakan anak perusahaan BNR. BNR memiliki 99 persen saham PT Samantaka, sedangkan Kotjo adalah pemilik PT BNR.
   
"Saya konsultasi dengan terdakwa lalu terdakwa mengatakan mau bagaimana lagi," ungkap Rudy.
   
Kotjo disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
   
Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018