Fenomena intoleransi politik baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di media sosial sudah mencapai ambang batas yang tidak dapat diterima oleh publik."
Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas menyebut media sosial memiliki peran yang penting dalam mendorong seseorang untuk bersikap intoleran. 

Berdasarkan penelitiannya, media sosial digunakan oleh orang yang memiliki tingkat fanatisme tinggi, dukungan terhadap sekularisasi yang rendah, spiritualitas keagamaan yang rendah, perasaan terancam dan ketidakpercayaan pada kelompok lain yang tinggi akan mendorong orang dengan identitas agama dan etnis yang kuat bertindak intoleran dan radikal.

"Fenomena intoleransi politik baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di media sosial sudah mencapai ambang batas yang tidak dapat diterima oleh publik," kata Cahyo di Jakarta, Selasa.

Di era arus informasi yang cepat ini, pengaruh paham transnasional pun menjadi pemicu baru. 

Menurut dia, paham-paham ini, diakui atau tidak ikut berperan dalam membangun ekosistem menjadi lebih intoleran.

"Gerakan ini sulit dikendalikan. Teknologi menyediakan informasi gagasan transnasional. Sekarang lebih massif memang. Dulu mungkin cuma satu orang yang belajar ke luar negeri, sekarang lewat whatsapp dan youtube semua bisa belajar," ujar dia.

Meski demikian, ada juga pengaruh dari warisan pemikiran lama seperti temuan yang didapat di Jawa Barat, yakni masih adanya pengaruh Darul Islam yang tertanam dalam kesadaran Gerakan Islam di Jawa Barat. 

"DI/TII dibubarkan tapi cara berpikirnya masih diwariskan kepada generasi muda. Memang tidak mutlak ya keturunan mereka menolak sistem politik, karena ada juga yang bergabung pada sistem demokrasi. Jadi mungkin salah satu caranya (meredam hal ini) adalah dengan pragmatisme mengajak mereka berpartisipasi dalam demokrasi yang akan memoderatkan pandangan mereka," kata Cahyo.

Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan penelitian ini merupakan isu aktual mengingat fenomena intoleransi nyata adanya.

"Meski tidak selalu terlihat sehari-hari tapi di dunia virtual sangat nyata. Hal ini justru menimbulkan dampak yang sangat nyata walaupun awalnya berangkat dari barang virtual," kata Laksana.

Menurut dia, perbedaan antar-kelompok ini bisa jadi konflik karena adanya relasi mayoritas dan minoritas seperti agama, ras, dan etnis ditambah stereotip negatif serta kesenjangan ekonomi yang rill. 

"Mayoritas merasa terancam oleh minoritas. Apalagi ditambah saat ini sebagai media dimungkinkan ujaran yang memicu," kata Tri.

Laksana menyebut revolusi digital di samping punya dampak positif ternyata memiliki juga dampak negatif yang sangat signifikan apalagi di era post-truth society ketika kebenaran tak berarti tunggal. 

"Itulah yang disebabkan oleh revolusi digital yang harus kita pelajari, antisipasi. Mereka memilih informasi yang dia sukai. Tak heran kalau ada yang fanatik di satu kelompok. Jadi bagaimana penelitian ini menyusun strategi yang membentuk narasi positif untuk men-counter hal itu dan bagaimana bisa sampai ke orang yang ada di tempat itu," kata dia. 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018