Oleh dr Dito Anurogo MSc *)

Neuroetik adalah pemahaman tentang bagaimana manusia terlibat isu-isu sosial terkait penyakit, normalitas, kematian, gaya hidup, dan filosofi kehidupan yang diinformasikan oleh pemahaman tentang mekanisme otak yang mendasarinya.

Istilah "neuroetik" diperkenalkan William Safire pada tahun 2002. Sementara pakar berpendapat bahwa neuroetik merupakan cabang dari bioetik.

Bioetik berarti studi sistematik tentang dimensi-dimensi moral (visi, keputusan, perilaku, kebijakan) ilmu pengetahuan dan layanan kesehatan, menggunakan beragam metodologi etis, dengan latar interdisipliner.

Terminologi "bioetik" pertama kali digunakan awal tahun 1970-an. Seiring perkembangan teknologi, bioetik berkembang pesat. Begitu pula neuroetik.

Secara akademis, terminologi neuroetik pertama kali digunakan secara resmi saat berlangsung pertemuan Internasional yang bertajuk "Neuroethics: Mapping the Field" diselenggarakan di Golden Gate Club, San Francisco, CA, Amerika Serikat, tanggal 13-14 Mei 2002.

Sebagai tuan rumah konferensi ini adalah Stanford University dan the University of California, San Francisco. Partisipan di konferensi ini berasal dari multidisipliner, termasuk neurosains, bioetik, filosofi, hukum, genetik, jurnalis. Mereka membahas problematika etis terkait neurosains untuk mendefinisikan neuroetik.

Di USA, Jepang, berbagai negara di Eropa, neuroetik memperoleh banyak perhatian publik, politisi, akademisi, dan cendekiawan. Sayangnya, neuroetik memang belum banyak dikenal oleh media, akademisi, maupun masyarakat di Indonesia.

Ruang Lingkup

Bermula dari neurosains klinis, ruang lingkup neuroetik kini meluas ke pelbagai bidang. Diversitas teknologi canggih, seperti: psychosurgery, implantasi otak (deep-brain stimulation), neurostimulasi, pencitraan otak, biomarker, membantu berkembangnya neuroetik.

Berbagai ahli telah berkolaborasi. Mulai dari dokter, sosiolog, filsuf, peneliti, ahli biologi, ahli saraf, ahli jiwa, hingga ahli hukum.

Unsur emosi-kognisi mendapatkan perhatian serius di dalam neuroetik sebab keduanya diatur dan berpusat di otak. Area otak yang bernama: korteks prefrontal, amigdala, dan daerah otak lainnya berinteraksi membentuk sirkuit saraf kompleks yang mengendalikan sistem emosi dan kognisi.

Proses pengolahan informasi kognitif di otak bagian korteks prefrontal mengatur proses emosi di sistem limbik.

Proses emosi di sistem limbik mengendalikan perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelbagai fungsi eksekutif-kognitif di otak bagian korteks prefrontal. Sebagian ahli berpendapat, otak itu privasi. Oleh karenanya, intervensi otak perlu etika dan regulasi amat ketat.


Peralatan Canggih

Penggunaan peralatan canggih, seperti: functional neuroimaging, untuk keperluan diagnosis dan terapeutik, menimbulkan pro-kontra. Mengingat untuk menegakkan diagnosis, dokter perlu memaksimalkan kompetensinya saat anamnesis (wawancara detail-komprehensif), pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, pemberian tatalaksana, edukasi pascapengobatan.

Melalui observasi dan didukung peralatan canggih pula, Damasio dan RJR Blair berhasil membuktikan bahwa anak dengan kecenderungan psikopat terbukti memiliki kelainan struktural dan fungsional di otak (korteks orbitofrontal, amigdala).

Sebagian psikopat memang terganggu fungsi kognisinya. Ia terkadang melakukan hal-hal yang membahayakan orang lain. Uniknya, psikopat masih memiliki kendali diri.

Hal yang membuat kontroversi di ranah neuroetik adalah bahwa daerah otak selain korteks orbitofrontal juga berperan dalam proses kognisi. Korteks parietal juga berperan untuk menyeimbangkan proses kognisi dengan emosi.


Hibridisasi

Dewasa ini, pembahasan neuroetik berhasil meluas dan berkembang hingga terjadi hibridisasi (kawin-silang) ilmu pengetahuan, misalnya: neuroteknologi, neuroekonomi, neuroengineering, neuromarketing, neuroleadership, neuroimunobiogenomik, neuronanoimmunobiotechnomedicine, neuropolitik hingga merambah ke neurofashion.

Aplikasinya, pakar neurosains beserta ahli saraf dapat memerkirakan tren busana di masa depan melalui studi neurofashion. Pola ketertarikan dan kecenderungan konsumen terhadap suatu produk dapat diprediksi melalui kajian neuromarketing.

Otak virtual, optogenetik, biosensor, biomarker merupakan produk teknologi rekayasa hasil kajian neuroteknologi bersama nanoteknologi dan nanomedicine.

Naik-turunnya harga saham, perilaku pasar, pengusaha, produsen, dan konsumen di masa depan juga dapat diperkirakan melalui riset neuroekonomi.

Pola kepemimpinan penguasa, arah pemikiran politikus dan pemimpin partai, kecenderungan politik suatu negara dapat dievaluasi melalui observasi neuroleadership dan neuropolitik secara mendalam.

Tentunya semua ini menimbulkan problematika baru, terutama (bio)etik, yang diupayakan dicarikan solusinya melalui kajian neuroetik.

Pembahasan neuroetik di Indonesia masih sebatas diskusi akademis (diskursus), belum menyentuh ranah pragmatis. Kasus spa otak (brain-washing) yang sempat menghangat beberapa saat lalu, sebenarnya merupakan kajian neuroetik. Kasus ini memang membuat opini publik dan para pakar di bidangnya "seolah terbelah".

Ada yang pro, namun lebih banyak yang kontra. Yang pro mengatakan itu demi kemaslahatan umat dan inovasi anak negeri. Yang kontra mengatakan itu tidak terbukti secara medis, tidak diakui metodologinya oleh konsensus medis, bahkan berpotensi membahayakan jiwa.

Diperlukan kearifan-seni tersendiri untuk memahaminya. Yang pasti, sehebat apapun pembahasan neuroetik, semua berpulang ke nurani. Sebab kebenaran itu bersumberkan nurani, tempat Ilahi "bertahta".


Multistrategi

Pemerintah, pembuat kebijakan, bersama para pakar lintas-multidisiplin ilmu, akademisi, masyarakat, dan pihak terkait perlu duduk bersama merumuskan pendekatan dan multistrategi yang secara komprehensif dapat dilakukan untuk mendiseminasikan neuroetik dengan cara yang sederhana namun efektif.

Penulis mengusulkan pelbagai pendekatan dan multistrategi di dalam pembelajaran neuroetik, terutama bagi mahasiswa kedokteran dan kesehatan.

Multistrategi itu berupa: perkenalan/pendahuluan (introduction), belajar dari pengalaman dan berbagi (experiencing dan sharing), pembelajaran interaktif dan berkelanjutan (interactive and long-live learning), pembiasaan (habituation), pengulangan (repetition), asimilasi budaya (cultural assimilation), serta pengkondisian kembali (reconditioning).

Tahapan pendahuluan dimaksudkan untuk mengenalkan sejarah, definisi, ruang lingkup kajian neuroetik, seluk-beluk, disertai problematika berikut solusinya.

Tahapan belajar dari pengalaman dan berbagi bertujuan studi kasus, untuk menggali dan belajar dari pengalaman para ahli dari negara-negara maju dan juga pakar dari dalam negeri.

Hasil pembelajaran ini dibagikan dalam bentuk seminar, diskusi, buku, dsb. Tahapan pembelajaran interaktif ini dapat diupayakan dengan metode yang menyenangkan, seperti: bernyanyi, diskusi online, bermain peran, drama/sandiwara, sendratari, game interaktif, permainan tradisional yang diperkaya dengan nilai-nilai bioetika dan neuroetik, yang mana ke semuanya ini dilakukan secara berkelanjutan dan tentunya perlu diikuti monitoring dan evaluasi.

Tahapan pembiasaan dilakukan untuk membumikan neuroetik. Caranya, peserta diberikan kasus neuroetik, lalu diminta untuk mencari solusinya.

Cara lain adalah dengan melibatkan mahasiswa/pelajar, seolah-olah dirinya yang sedang mengalami problematika neuroetik tersebut, lalu diharapkan berdiskusi dan mencari pemecahannya.

Tahapan pengulangan dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan atau kilas balik tentang pelbagai kasus dan kajian neuroetik yang sudah pernah diajarkan berikut kronologis dan solusinya.

Tahapan asimilasi budaya ini terkait dengan kearifan lokal yang berpotensi terkait dengan neuroetik. Misalnya, adakah peribahasa lokal, hukum adat yang berbicara tentang neuroetik. Bila ada, maka dapat dicari titik temunya.

Tahapan pengkondisian kembali ini dimaksudkan untuk lebih menyiapkan dan membekali para peserta agar selalu siap-siaga atau waspada, bilamana kasus neuroetik sewaktu-waktu muncul di masyarakat.

Para peserta diskusi atau kajian neuroetik idealnya dimulai dari mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, farmasi, biologi, kebidanan, perawat, atau praktisi kesehatan lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan dari disiplin ilmu lain.

Ke depannya, perlu dikaji secara mendalam, apakah neuroetik perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dokter umum/dokter spesialis neurologi, atau hanya sebagai sisipan/suplemen yang tercakup di dalam materi bioetik atau etika.

Revolusi genetika telah berhasil melahirkan pelbagai teknik canggih berupa optogenetics dan CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeat).

Teknik ini tentunya juga menimbulkan problematika baru di bidang neuroetik. Strategi pembelajaran dan pengembangan neuroetik tentunya takkan dapat dipisahkan dari kemajuan neuroteknologi.*

*) Penulis adalah dosen tetap Fakultas Kedokteran Unismuh Makassar, dokter literasi digital, Director VP Campus Networking IMA Chapter Makassar, penulis puluhan buku.

 

Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018