Bogor (ANTARA News) - Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan terus bersinergi dalam upaya memberantas praktik pungutan liar (pungli) secara lebih serius. 

Hal itu disampikan Sekretaris Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Letnan Jenderal TNI Agus Surya Bakti, ketika menjadi pembicara kunci mewakili Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, pada Rapat kerja nasional Saber Pungli Tahun 2018, di Bogor, Jawa Barat, Senin.

Perwira tinggi bintang tiga TNI AD ini menjelaskan, upaya pemerintah menciptakan pelayanan berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur, tentu tidak lepas dari adanya permasalahan yang timbul, yaitu praktik-praktik pungutan liar.

Dalam hal ini, Wiranto sangat serius memberantas praktik pungli itu dengan mengajak semua pemangku kepentingan mulai dari kepolisian, TNI, kementerian, lembaga, serta semua masyarakat.

"Saya melihat bahwa Pak Menko Polhukam sangat serius dan konsen agar tugasnya dalam memberantas pungli bisa diselesaikan," ucapnya.

Hal ini, katanya, tentu tidak mudah karena harus melakukan evaluasi, di antaranya adalah sinergitas dengan semua pemangku kepentingan, karena dalam memberantas ini ada kepolisian, kementerian, lembaga, TNI, dan masyarakat Indonesia. "Untuk itu, sinergitas dengan semua harus kuat dan ada semangat," ujarnya.

Rapat kerja nasional itu dihadiri UPP Satgas Saber Pungli dari seluruh provinsi di Indonesia.

Menurut Surya Bakti, pungli itu penyakit yang sangat kronis bagi bangsa Indonesia. Istilah "pungli" juga sudah lama dikenal dan setiap pemerintahan berupaya keras memberantas hal tidak terpuji ini. 

Pungli saat ini sudah "berkonotasi" menjadi suatu "kewajaran" yang ada dalam proses pelayanan publik oleh pejabat atau aparatur negara, tidak hanya terjadi di tingkatan kementerian/lembaga, tetapi sudah berkembang pada level pemerintah daerah bahkan sampai level terkecil, yaitu RT/RW.

"Kegiatan pungutan liar yang semakin marak pada pelayanan publik tersebut akan mengganggu dan memberatkan masyarakat, sehingga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menghambat perkembangan ekonomi, mempengaruhi iklim investasi dan merosotnya wibawa hukum," kata dia.

Sejak Satgas Saber Pungli dibentuk pada 20 Oktober 2016-19 Oktober 2018, telah diterima sebanyak 36.443 pengaduan dari masyarakat.

Kemudian, Satgas juga melakukan berbagai kegiatan, di antaranya sosialisasi sebanyak 324.291 kegiatan, 8.424 operasi tangkap tangan dengan tersangka sebanyak 14.819 orang, kegiatan intelijen sebanyak 1.206, dan yustisi sebanyak 1.333 kegiatan.

Namun, diakui masih terdapat beberapa kendala yang membuat pelaksanaan kegiatan Satgas pada masing-masing UPP di kementerian-lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota belum optimal.

Surya Bakti mengatakan, hal ini meliputi beberapa hal. Pertama, untuk Satgas Pusat dukungan anggaran yang didapatkan pada 2017 sebanyak Rp30.572.334.000,00, namun menurun menjadi Rp9.700.483.000,00 untuk 2018.

"Penurunan anggaran ini juga disertai penurunan jumlah personel dari Satgas Saber Pungli, di mana pada 2016 ada 228 anggota, dan 2017 sebanyak 247 anggota, sedangkan untuk 2018 sebanyak 99 anggota," kata dia.

Kedua, untuk unit pemberantasan pungli di kementerian/lembaga, dari 84 kementerian/lembaga yang baru terbentuk hanya 41 UPP. Ketiga, untuk UPP di daerah, terbatasnya dukungan anggaran yang ada pada Pemerintah Daerah berimplikasi pada minimnya anggaran yang dialokasikan pemerintah daerah untuk kegiatan Saber Pungli.

Bahkan, di Provinsi Riau dan Papua, pemerintahan setempat belum mengalokasikan anggaran untuk mendukung kegiatan Saber Pungli.

"Selain itu, masih terdapat UPP yang belum aktif dalam melakukan kegiatan Satgas, baik sosialisasi maupun operasi tangkap tangan," katanya.

Kemudian yang keempat, adanya tumpang-tindih tugas dan personel pada kegiatan saber pungli dan kegiatan rutin di instansi masing-masing, sehingga tidak dapat menjalankan tugas pada Satgas Saber Pungli atau UPP secara optimal.

Kelima, ada anggapan Satgas Saber Pungli itu "wilayah"-nya polisi, sehingga instansi lain kurang proaktif dalam kegiatan Satgas Saber Pungli.

Keenam, personel UPP kementerian/lembaga dan Daerah tidak mau atau segan untuk melakukan tindakan atau operasi tangkap tangan terhadap aparat yang melakukan pungli di satuan kerjanya.

Ketujuh, kegiatan dan hasil operasi Satgas Saber Pungli kurang diketahui masyarakat karena kurang disebarluaskan media massa.

"Terkait penegakan hukum, ditemukan kendala dalam penentuan jenis pidana yang dikenakan, apakah tindakan pidana umum atau tindak pidana korupsi," katanya.

Apabila suatu kasus pungli dikenakan pasal tindak pidana korupsi, seringkali barang bukti yang diamankan besarannya tidak sebanding dengan biaya penanganan perkara yang dilaksanakan di provinsi.

"Selain itu, penyidik dan jaksa memiliki keterbatasan anggaran dalam melaksanakan penegakan hukum tindak pidana korupsi, yaitu hanya satu atau dua perkara per tahun," kata dia.

Terakhir, terdapat kecenderungan resistensi dari aparatur pemerintah di kesatuan masing-masing terhadap Satgas Saber Pungli ketika melaksanakan tugas yang telah diamanatkan sesuai Perpres Nomor 87/ 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.

Terutama melaksanakan operasi tangkap tangan, sehingga anggota yang melaksanakan tugas di Satgas Saber Pungli merasa kurang nyaman dan dinilai kurang berprestasi.

"Sehubungan dengan adanya kendala-kendala dalam pelaksanaan kegiatan Satgas Saber Pungli, mari kita sikapi dengan bijak agar pelaksanaan tugas Satgas Saber Pungli benar-benar bisa sesuai harapan," ujarnya.

"Menko Polhukam selaku penanggung jawab tentunya akan mengkomunikasikan dengan berbagai pemangku kepentingan, agar kendala-kendala yang ditemui Satgas Saber Pungli, baik di tingkat pusat maupun daerah dapat diminimalisasi dan dihilangkan, serta dapat mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 87/2016 secara baik dan benar," kata dia.

Pewarta: M Tohamaksun
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018