Siapapun Presiden terpilih itu lah Presiden kita. Siapapun yang terpilih berarti itu lah Presiden masyarakat adat
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Dewan Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan saat memoderatori Dialog Nasional Catatan Akhir Tahun: Senjakala Nawacita dan Masa Depan Masyarakat Adat di Jakarta, Jumat (21/12), membukanya dengan kilas balik Pemilu 2014.

Mantan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini membeberkan apa yang sesungguhnya terjadi menjelang 9 Juli 2014, saat masyarakat Indonesia hendak berbondong-bondong mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mengikuti Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. 

Selaku Sekjen, dirinya saat itu sangat jelas memberikan arahan bagi seluruh anggota AMAN yang berada di Ibu Kota hingga pelosok kampung untuk mengamankan suara pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Tujuannya juga jelas, untuk mengamankan 6 agenda Nawacita agar terlaksana lima tahun ke depan.

Saat Antara bertanya berapa total anggota AMAN kala itu, Abdon menyebut sekitar 12 juta orang, tersebar di berbagai provinsi hingga ke pelosok perkampungan di Nusantara ini.

Saat ini anggota AMAN mencapai sekitar 13 juta orang. Namun, menurut Abdon, simpatisan yang bukan merupakan anggota dipastikan semakin bertambah setelah keberadaan organisasi masyarakat ini semakin dikenal di pusat dan daerah berkat berkali-kali diundang berdialog dengan Presiden Jokowi ke Istana Kepresidenan.

"Kita anggap Jokowi sosok yang menjadi jembatan rekonsiliasi masyarakat adat dan pemerintah, dan seutuhnya menjadi bagian NKRI," ujar dia.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi juga mengaku 2014 pertama kali dirinya memiliki KTP dan memutuskan segera mendaftar untuk menjadi pemilih. Dirinya menggambarkan semangat yang sama muncul dalam masyarakat adat lainnya. 

"Saya ingat pertama kali jari saya tercelup tinta Pemilu. Pada 2014 itu saya gunakan 'keperawanan' hak politik saya demi suara untuk Jokowi," ujar Rukka.

Namun kali ini Rukka mengatakan terasa berat bagi kepengurusan AMAN untuk meyakinkan anggota untuk dapat mengamankan satu suara pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 saat mereka masih merasa rekonsiliasi dengan negara belum sepenuhnya berjalan.

Indonesia masih membuat masyarakat adat merasa belum utuh, ujar dia. 

 
Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi (kiri), Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Teguh Surya (kedua kiri), Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Eva Kusuma Sundari (ketiga kiri), Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi Dahnil Anzar Simanjuntak (ketiga kanan), Wakil Ketua Dewan Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan (kedua kanan) dan Ketua Dewan Adat Nusantara Hein Namotemo (kanan) berfoto bersama usai Dialog Nasional Catatan Akhir Tahun: Senjakala Nawacita dan Masa Depan Masyarakat Adat di Jakarta, Jumat (2/12/2018). (AMAN)


Baca juga: Menyertakan masyarakat adat kendalikan iklim

Baca juga: Laporan dari San Fransisco - GCF pertegas Deklarasi Rio Branco jaga hutan


Masyarakat adat saat ini masih ada di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendapat status Masyarakat Hukum Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mendapat SK Hutan Adat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mendapat Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)

Di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk pengelolaan potensi kelautan oleh masyarakat adat, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kementerian Desa) untuk mendapat status Desa Adat, Kementerian Sosial (Kemensos) saat bicara masyarakat adat terisolir, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat bicara penyelamatan kebudayaan dan kearifan masyarakat adat. 

Masing-masing kementerian tersebut, menurut Rukka, bertindak sebagai negara bagi masyarakat adat. Sementara Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (UU PPMA) terhenti diurusan Daftar Isian Masalah (DIM) yang nyangkut entah di meja siapa. 

"Kita tidak pernah tahu proses pembuatan DIM itu seperti apa, cenderung tertutup," lanjutnya.

Sementara lembaga permanen dan independen untuk masyarakat adat yang sempat dibahas pembentukannya bersama pemerintah seperti menguap. Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menegaskan bahwa Hutan Adat bukan lagi hutan negara pun tidak menjadi semakin mudah.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK Bambang Supriyanto mengatakan sejak 2016 hingga akhir 2018 ada 35 SK Menteri LHK untuk penetapan Hutan Adat. Angka tersebut mencakup wilayah seluas 28.206 hektare (ha) dan menyentuh 13.034 Kepala Keluarga (KK). 

Bambang mengatakan akan ada 13 SK untuk Hutan Adat lagi hingga April 2019. Semua berjalan perlahan tapi pasti karena bagaimana pun penetapan ini membutuhkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan Masyarakat Adat yang memang belum semua daerah memilikinya. 

Pakar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Hariadi Kartodihardjo kemudian menyarankan ada pencadangan Hutan Adat melalui penetapan peta indikatif untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati yang selama ini relatif lebih aman di hutan-hutan yang dihuni oleh masyarakat adat.

Ia mengatakan mencoba berpikir pragmatis. Jika peta indikatif untuk Hutan Adat ini ada, maka secara politik ini dapat membatasi perkembangan komoditi yang lain masuk ke wilayah hutan-hutan yang dihuni masyarakat adat yang kondisinya sebagian besar masih baik.


UU Masyarakat Adat

Rukka menegaskan UU PPMA menjadi harga mati. Jika tidak, akan semakin sulit bagi  mereka untuk berdiri mempertahankan keberadaannya, baik untuk wilayah maupun identitas adatnya. 

Ia mengatakan dalam empat tahun terakhir masih banyak masyarakat adat yang dipenjara karena persoalan hutan dan lahan yang dialihfungsikan untuk pembangunan dan perkebunan kelapa sawit. Bahkan untuk kasus di Kalimantan Tengah, AMAN harus memohon ke Kantor Staf Presiden (KSP) agar bisa setidaknya mengangkat semangat masyarakat adat.

Namun yang menjadi kawan pun tidak berdaya di sana, ujar dia.

Sumba, pulau kecil itu justru diserbu perkebunan tebu saat ini. Sedangkan Pulau Aru yang hanya memiliki satu sumber air tawar akan dihabiskan untuk peternakan dan pertanian. 

Rukka mengatakan pada akhirnya masyarakat adat tidak berdaya saat ada yang menggunakan kata-kata ini merupakan agenda pembangunan Pesiden Jokowi. Situasinya menjadi tidak nyaman, semua menjadi serba salah, karena bagaimana pun ini presiden yang telah dipilih di 2014.

Pada 2018, AMAN mendapat beberapa penghargaan dari pemerintah. Penghargaan pertama datang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pengembangan iptek dan sekolah adat, sedangkan penghargaan kedua datang dari Kementerian Dalam Negeri sebagai organisasi masyarakat yang melestarikan budaya.

Ia mengatakan bangga AMAN mendapat penghargaan tersebut, tapi akan lebih bersyukur jika Undang-Undang Masyarakat Adat ada sebagai penghargaan terhadap keberadaan masyarakat adat di Nusantara. UU tersebut sesuai amanat Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

AMAN seperti pelangi, penuh dengan warna begitu pun dalam hal pilihan politik. Ada yang sejak awal mendukung Jokowi, namun sebenarnya ada pula yang fanatik menjadi pendukung Prabowo.

Kali ini, Rukka mengatakan siapapun yang akan memimpin Indonesia di periode berikutnya, mereka adalah Presiden masyarakat adat. "Siapapun Presiden terpilih itu lah Presiden kita. Siapapun yang terpilih berarti itu lah Presiden masyarakat adat".

Baca juga: Keselarasan masyarakat Adat Bayan dengan alam

Baca juga: Menjaga hutan dan budaya masyarakat adat Mentawai

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018