Dicermati dari sejarah letusannya yang telah terpublikasi di buku-buku pelajaran sekolah maupun penjelasan pihak terkait di media massa, setiap gunung berapi memiliki tipe dan karakteristik letusan.
   
Ada yang begitu aktif tak lama kemudian meletus hebat, seperti Gunung Kelud. Ada yang kadang aktif lalu meletus dalam skala besar maupun kecil kemudian tenang lagi seperti Merapi. 
   
Ada yang meletus cukup hebat dalam jangka waktu cukup lama dan terus-menerus seperti Sinabung. Ada pula yang terus-menerus aktif dalam skala kecil kemudian pada saat tertentu meletus hebat seperti Anak Krakatau.
   
Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda kini masih dalam pencermatan, pengamatan serta pemantauan serius Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan Badan Meteorologi dan Geoisika (BMKG) sejak letusan kuat pada Sabtu (22/12) malam. Letusan itu menyebabkan tsunami di Selat Sunda yang kemudian melanda lima kabupaten dan kota di Provinsi Banten dan Lampung.
   
Sebelum letusan hebat itupun, Anak Krakatau selalu dalam pemantauan PVBMG dan BMKG. Terbukti dalam adanya rilis yang disampaikan secara rutin hari demi hari, bahkan jam per jam kepada masyarakat sebelum tsunami. 
   
Terlebih sejak terjadinya tsunami di Selat Sunda, pemantauan dan pengamatan semakin diintensifkan dan masyarakatpun mendapatkan informasi yang memadai, terutama yang berada di dua provinsi.   
   
Hal itu tentu sangat penting bagi masyarakat agar bisa mengantisipasi apabila sewaktu-waktu terjadi kejadian luar biasa lagi. Tsunami pada 22 Desember 2018 itu menjadi pelajaran bagi masyarakat sekitar pantai di dua provinsi.
   
Uniknya tsunami itu dideteksi bukan dampak langsung letusan (vulkanik) maupun pergeseran lempeng bumi (tektonik), tetapi akibat longsor dan runtuhnya sebagian tubuh Gunung Anak Krakatau. Longsoran dan runtuhnya sebagian tubuh gunung yang berada di tengah laut inilah yang dideteksi oleh para ahli dan juga PVMBG sebagai penyebab gelombang tsunami.
   
Pelajaran yang bisa dipetik adalah bahwa tsunami tidak semata-mata karena gelombang laut akibat gempa tektonik dan vulkanik dalam sekala besar, namun juga akibat longsoran dan runtuhnya tubuh gunung. Longsoran dan runtuhnya tubuh gunung melesak atau mendesak ke laut pun bisa menyebabkan gelombang besar.
   
Kalau dicermati dari sejarahnya, tipe dan karakteristik Gunung Anak Krakatau ini memang berbeda dengan umumnya gunung-gunung berapi  lainnya. Letusan Gunung Anak Krakatau sebagai gunung di tengah laut tampak sama dengan induknya, Gunung Krakatau.  
   
Jika umumnya letusan menyebabkan gunung menjadi besar dan tinggi karena keluarnya magma bercampur pasir, debu, air dan bebatuan atau kerikil, tidak demikian dengan Krakatau. Gunung Krakatau yang waktu itu setinggi 813 meter di atas permukaan laut (mdpl) sirna karena letusannya sendiri pada 26-27 Agustus 1883.       
Letusan dahsyat waktu itu menyebabkan awan panas dan tsunami yang menewaskan sekitar 36 ribu orang. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) di akhir Perang Dunia II.
     
Gunung Krakatau lenyap dan pecah yang disebut-sebut pecahannya menjadi beberapa pulau. Yakni Pulau Rakata, Rakata Kecil dan Pulau Sertung. 

Baca juga: Aktivitas Gunung Anak Krakatau menurun 
Warga mengamati Gunung Anak Krakatau (kanan) dari Dusun Tiga Regahan Lada, Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Senin (31/12/2018). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyatakan ketinggian Gunung Anak Krakatau telah berkurang dari 338 meter menjadi 110 meter yang diperkirakan karena proses rayapan tubuh gunung disertai laju erupsi yang tinggi pada 24-27 Desember 2018. ANTARA FOTO/Adam Bariq/aww.

Muncul Lagi   
Akibat letusan dahsyat pada 1883 itu, Gunung Krakatau dinyatakan hilang, meski pecahannya menjadi beberapa pulau tersebut. Namun pada 1927 muncul gundukan dari dasar laut yang lokasinya di Gunung Krakatau.
   
Kemunculan gundukan yang semakin hari makin besar dan tinggi di lokasi bekas Gunung Krakatau inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai gunung dan kemudian disebut Gunung Anak Krakatau. Anak Krakatau memiliki karakteristik yang selalu aktif  dengan mengeluarkan letusan-letusan kecil disertai debu, pasir, bebatuan atau kerikil. 
   
Ada catatan yang menyebutkan aktivitasnya itu menyebabkan semakin banyak material yang tertumpuk ke sekitar kaldera bekas Gunung Krakatau. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter (20 inci) per bulan. 
   
Setiap tahun dia menjadi lebih tinggi sekitar enam meter (20 kaki) dan lebih lebar 12 meter (40 kaki). Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar empat centimeter (cm) per tahun dan jika dihitung maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Krakatau mencapai 190 meter (7.500 inci atau 500 kaki) lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. 
   
Pertambahan materialnya terus terjadi seiring dengan letusan-letusan kecil secara terus-menerus. Kadang berhenti sejenak, lalu meletus lagi secara terus-menerus.
   
Kalau sedang aktif dengan letusan kecil dan terus-menerus, sebagian orang menyebut Anak Krakatau sedang "batuk". Saking seringnya "batuk", maka fenomena itu pernah dianggap sebagai "hal biasa". Maklumlah masa anak-anak.

Baca juga: Setelah longsor, bagian Gunung Anak Krakatau muncul
Asap hitam menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Banten, Senin (10/12/2018). Berdasarkan data yang terekam di Pos Pengamatan GAK di Pasauran, Serang, sejak Jumat (7/12) hingga Minggu (9/12) GAK mengeluarkan 204 letusan awan hitam setinggi 150-300 meter dengan durasi 31-72 detik diiringi 22 kali gempa vulkanik sehingga statusnya masih pada level waspada. ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki/wsj.

Susut
Tetapi letusan pada 22 Desember itu benar-benar luar biasa karena menyebabkan longsor dan tubuhnya runtuh ke dasar laut yang menyebabkan gelombang besar. Dari sini, terlihat tipe dan karakteristik Anak Krakatau relatif sama dengan induknya, Gunung Krakatau.
   
Kalau letusan Krakatau pada 1883 menyebabkan gunung itu lenyap, letusan Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 menyebabkan susutnya ketinggian dan volume tubuhnya. Susutnya ketinggian dan volume tubuh Anak Krakatau diperoleh dari analisis visual oleh PVMBG. Badan  Geologi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
     
PVMBG pada 30 Desember 2018 menyebutkan, volume Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda mengalami penyusutan antara 150 sampai 180 juta meter kubik (m3) akibat letusan dan kegempaan vulkanik selama beberapa pekan lalu.
   
Penyusutan volume itu sampai 60 persen atau dua per tiga dari volume awal, kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM Agus Solihin.
   
Saat ini Anak Krakatau mengalami penyusutan volume sehingga tubuh gunung menurun. Berdasarkan analisis visual, Gunung Anak Krakatau yang semula tingginya 338 mdpl, kini terkikis menjadi 110 meter.
   
Selain itu, Anak Krakatau juga menjadi lebih rendah dibandingkan Pulau Sertung. Tinggi Pulau Sertung kini mencapai 182 mdpl sehingga Anak Krakatau lebih rendah menjadi 110 meter.
   
Pulau Sertung adalah salah satu dari gugusan pulau di Selat Sunda. Pulau ini letaknya berdekatan dengan sejumlah pulau lainnya dalam gugusan pulau di Selat Sunda yang memisahkan Pulau Jawa dengan Sumatera, yakni Pulau Panjang, Pulau Rakata, Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku.
   
Penyusutan volume Anak Krakatau hingga 180 juta meter kubik, maka dipastikan menyisakan antara 40 sampai 70 juta meter kubik. Bahkan kondisi gunung dua per tiga dari volume semula akibat tingginya frekuensi letusan.
   
Saat ini, status Anak Krakatau adalah Siaga atau Level III yang artinya masih terus-menerus meletus. Laporan yang setiap hari diumumkan PVMBG menunjukkan letusan Anak Krakatau masih terjadi. 
   
Karena itu, masyarakat tidak boleh mendekati gunung tersebut dalam radius lima kilometer. Sedangkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini potensi tsunami sehingga masyarakat harus menjauhi pantai Selat Sunda dalam radius 500 meter.
     
Secara rutin PVBMG menyampaikan informasi teraktual dari Anak Krakatau. BMKG juga menyampaikan perkembangan cuaca dan gelombang di Selat Sunda.
     
Laporan-laporan PVMBG berdasarkan data teraktual yang direkam alat pendeteksi aktivitas gunung api. Kemudian ada analisis visualnya berdasarkan foto atau video serta citra satelit.
   
Ke depan, untuk melengkapi informasi data bagi penelitian dan ilmu pengetahuan serta rasa ingin tahu publik, tampaknya perlu dipikirkan atau dirancang adanya visual grafis mengenai Anak Krakatau. Dari sisi dokumentasi ilmu pengetahuan, sejarah maupun kebutuhan informasi bagi publik saat ini serta ke depan, visual grafis Anak Krakatau dari ketinggian 348 menjadi hanya 110 mdpl menarik untuk dicermati.

Baca juga: Masyarakat diimbau hindari pesisir Selat Sunda radius 500 meter
Wisata Anak Krakatau Sejumlah wisatawan menyusuri jalur pendakian Gunung Anak Krakatau (GAK) dengan latar belakanng pemandangan Pulau Panjang di Taman Nasional Krakatau, Lampung. Foto ini diambil saat Gunung Api Anak Krakatau dengan ketinggian 230 mdpl masih berstatus normal/aktif sehingga diizinkan bagi wisatawan melihat kondisi lingkungan gunung tersebut. (FOTO ANTARA/Teresia May)

Daya Tarik
Jauh sebelum adanya letusan pada 22 Desember 2018, Anak Krakatau seolah tak berhenti mengeluarkan lava pijar dan material panas (berapi) dari dalam perut bumi. Semburan lava pijar berapi menyembul ke atas seperti kilat dan kembang api.
     
Jika malam kilatan dan semburan api terlihat jelas dari pesisir Banten, khususnya wilayah Carita, Anyer dan Tanjung Lesung. Pemandangan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan nasional maupun mancanegara. 
   
Sekilas mengerikan, namun bagi tidak sedikit wisatawan, momen-momen itu adalah saat terbaik untuk dinikmati di malam hari. Pada saat-saat itu, letusannya menjadi  magnet untuk mengunjung lokasi wisata sepanjang pesisir Banten yang menghadap Selat Sunda.   
   
Daya tarik Anak Krakatau yang pada malam hari seperti kembang api itu benar-benar menarik untuk dilihat. Inilah yang menjadi pemacu daya tarik bagi wisatawan.
   
Anak Krakatau memang unik. Letusan-letusannya sebelum 22 Desember 2018 menjadi daya pikat wisatawan untuk melihatnya. 
     
Letaknya yang di tengah laut terlihat jelas pemandangannya pada malam hari. Pemandangan kembang api meluncur ke atas Anak Krakatau, kemudian muncul bayangan kilatan api di laut.  
   
Pemandangan itu menjadi sensasi tersendiri bagi wisatawan untuk melihat Anak Krakatau pada momentum sebelum 22 Desember itu. Mengerikan tetapi juga unik dan keunikan itulah yang tampaknya menyelimuti benak orang untuk melihatnya.
   
Peningkatan arus kunjungan wisata tentu saja menjadi alasan bagi pemerintah dan pelaku bisnis untuk mengembangkan lebih serius kawasan sepanjang pesisir Banten yag menghadap Selat Sunda. Berbagai sarana dan infrastruktur wisata tumbuh di kawasan itu.
   
Pemerintah pun menetapkan Tanjung Lesung di Kabupaten Pandeglang sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Selain pelabuhan, juga sedang direncanakan adanya bandar udara serta adanya peningkatan infrastruktur penyeberangan di lintas Merak (Banten)-Bakauheni (Lampung Selatan).
   
Dilihat dari sisi geografis, letak Krakatau dan Anak Krakatau memang dekat dengan wilayah Banten. Karena itu, kawasan yang pantainya berkembang pesat adalah wilayah Banten. 
   
Kendati sebenarnya Anak Krakatau berada di garis perbatasan wilayah Banten dengan Lampung, namun uniknya, dari sisi administrasi pemerintahan dan kependudukan, warga di pulau sekitar Anak Krakatau masuk wilayah Provinsi Lampung.
     
Penduduk di gugusan kepulauan Krakatau di Selat Sunda seperti Pulau Sebesi tercatat sebagai warga Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Inilah keunikan Anak Krakatau, secara geografis letaknya tak jauh dari pesisir Banten sehingga memacu perkembangan pariwisata di pesisirnya, namun secara administrasi masuk wilayah Lampung.

Baca juga: Jalur wisata Pantai Anyer-Carita ramai
Ratusan wisatawan dari atas kapal fery menyaksikan pemandangan Gunung Anak Krakatau (Gak) di Selat Sunda. Kunjungan ke GAK itu merupakan puncak acara Festival Krakatau Ke-23 tahun 2012 di Provinsi Lampung yang diikuti oleh 24 duta besar dan ratusan wisatawan dari dalam dan luar negeri. (ANTARA FOTO/Kristian Ali)

Pacu Lampung
Mungkin menyadari bahwa selama ini pesona Anak Krakatau lebih memacu perkembangan wisata di pesisir Provinsi Banten, padahal secara kewilayahan masuk Lampung, maka Provinsi Lampung pun berusaha menarik wisata dengan menjadikan gunung itu sebagai salah satu destinasi wisata. 
   
Hal itu dilakukan dengan menyiapkan infrastruktur untuk memudahkan kunjungan wisatawan dari Lampung ke Anak Krakatau. Awal dekade 1990-an program itu mulai dijalankan melalui survei wilayah pesisir Kota Kalianda sebagai tapak untuk mengunjungi Anak Krakatau.
     
Perencanaan pengembangannya dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lampung. Sekitar tahun 1992-1993 secara intensif dirancang pengembangan pariwisata dengan destinasi Anak Krakatau.
   
Dimulai dengan peningkatan dan pembenahan dermaga rakyat di Canti Kalianda serta penyiapan paket-paket kunjungan. Maka mulai ada paket-paket kunjungan ke Anak Krakatau.
   
Pada skala yang lebih terpadu diselenggarakan Festival Krakatau. Festival itu pun kemudian menjadi agenda pariwisata nasional hingga kini.
   
Bahkan tahun ini, Pemerintah Provinsi Lampung tetap akan menggelar Festival Krakatau 2019, kendati kawasan pesisir Lampung Selatan telah dilanda tsunami akibat letusan Anak Krakatau. Hal ini karena Festival Krakatau merupakan agenda rutin Pemerintah Provinsi Lampung, bahkan sudah masuk kalender pariwisata nasional.
   
Penyelenggaraan festival ini tampaknya juga sebagai upaya memulihkan objek wisata di Provinsi Lampung yang sempat hancur akibat tsunami. Agar kembali bangkit dan berkembang seperti sedia kala.  
   
Salah satu agenda festival ini pada tahun-tahun sebelumnya adalah mengunjungi atau melihat aktivitas Anak Krakatau dari jarak cukup dekat tetapi pada radius yang aman. Letusan skala kecil yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya merupakan pesona dan sensasi tersendiri untuk dilihat.
     
Untuk festival tahun ini tentu saja tidak mengunjungi Anak Krakatau karena sampai sekarang masih dalam bahaya. Festival ini tidak saja berisi agenda kunjungan ke Anak Krakatau, tetapi ada banyak agenda yang diselenggarakan untuk memacu beragam destinasi wisata di Lampung.
   
Kalau Anak Krakatau yang saat ini dalam status Siaga (Level III) kemudian menurun aktivitasnya pada status Waspada (Level II) atau bahkan Normal (Level I) bukan tidak mungkin agenda festival ini juga mengagendakan kunjungan ke Anak Krakatau. Hanya saja tetap harus dikoordinasikan dengan PVMBG maupun BMKG.
   
Sambil menunggu perkembangan letusan, waktu akan menjadi petunjuk apakah akan ada perkembangan yang baik atau tidak dari Anak Krakatau.     

Baca juga: Pawai Budaya Keberagaman puncaki Lampung Krakatau Festival 2018
Baca juga: Menpar luncurkan Lampung Krakatau Festival 2017
Baca juga: Lampung ingin Festival Krakatau mendunia

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019