Jakarta (ANTARA News) - Ancaman nyata bagi berbagai kota di Indonesia saat musim hujan seperti ini adalah banjir. Tak bisa dipungkiri ancaman itu sering menjadi kenyataan yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat, swasta maupun aktivitas pemerintah.
   
Bisa dibayangkan betapa repot dan sibuknya berbagai pihak menghadapi masalah banjir. Dalam benak sebagian warga kota seperti Jakarta saat musim hujan adalah adanya banjir dan genangan, baik akibat meluapnya kali maupun buruknya saluran air atau drainase.
   
Karena sudah merupakan musibah rutin yang terjadi setiap tahun, maka mengatasi banjir menjadi agenda rutin baik masyarakat maupun pemerintah daerah. Itulah sebabnya, dalam APBD selalu ada mata anggaran untuk mengatasi banjir, minimal perbaikan drainase untuk mengantisipasi genangan air saat hujan.
   
Perkembangan pesat perkotaan umumnya ditandai dengan semakin banyaknya bangunan permanen, baik rumah penduduk, komplek perumahan, perkantoran dan gedung-gedung. Tingginya pertambahan penduduk di daerah yang cenderung pesat perkembangannya membutuhkan ketersediaan lahan.
   
Selain ketersediaan lahan untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut, karakteristik bangunan di kawasan perkotaan umumnya adalah bangunan dengan ciri khas beton. Hal itu menyebabkan daya resap tanah terhadap air semakin kecil.  
   
Semakin sempitnya lahan menyebabkan permukaan tanah semakin sedikit. Lahan terbuka yang semakin sedikit itu daya serapnya terhadap air hujan juga sedikit karena tertutup beton dan semen. 
   
Karena itu, kalau hujan tiba, air tak terserap ke dalam tanah. Tetapi mengalir ke drainase, tetapi kalau tanpa diimbangi dengan penataan dan penyiapan drainase yang memadai maka genangan bahkan banjir tidak dapat dielakan.
   
Hari-hari inilah potensi banjir di sejumlah kota termasuk Jakarta menjadi ancaman nyata. Hujan yang terus-menerus menyebabkan banjir di beberapa lokasi di Jakarta. 
   
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah untuk mengantisipasi dan mengatasi banjir. Dari pembenahan drainase, penanganan sampah, pembuatan tanggul hingga normalisasi kali.
   
Cara yang dianjurkan para akademisi tetapi masih jarang dilakukan adalah pembuatan lubang-lubang resapan atau biopori. Cara ini sudah lama diketahui publik, tetapi belum banyak yang melakukannya.
   
Padahal cara ini dinilai termasuk paling mudah dan murah. Entah mengapa belum dilakukan secara maksimal.
   
Lubang biopori adalah sebuah metode untuk meningkatkan daya resap air pada tanah. Lubang ini berbentuk silidris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah. 
   
Metode resapan air ini ditujukan untuk mengatasi genangan air dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah. Lubang biopori memiliki ukuran tertentu yang telah ditentukan, misalnya, kedalaman satu meter dan berdiameter 10 sentimeter (cm). 
   
Pembuatan biopori menggunakan alat khusus yang diciptakan oleh pakar IPB. Biopori nantinya ditutup dengan sampah organik yang berfungsi sebagai penyerap air ke tanah dan membuat kompos alami.
   
Sebagian orang menganggap bahwa lubang resapan ini sama dengan sumur resapan. Padahal ahli-ahli yang berkopeten menyatakan, lubang biopori beda dengan sumur resapan, meski sama-sama diarahkan untuk mengurangi potensi banjir atau genangan.
   
Dari beragam penjelasan mengenai kedua resapan dapat diperoleh gambaran bahwa dari segi lebar dan kedalaman ada perbedaan cukup mencolok. Lubang resapan atau biopori umumnya bergaris tengah (diameter) 10 cm dengan kedalaman hingga 100 cm.
   
Sedangkan sumur resapan memiliki kediaman hingga 100 cm. Kedalamannya juga bisa 100 cm dengan ditambah komposisi kerikil, ijuk, pasir dan batu bata.
   
Lubang biopori dan sumur resapan itu berfungsi menampung air hujan kemudian menyerapkan ke tanah. Dengan menyerapkan air di musim hujan, maka genangan akan berkurang. 
   
Pakar ekologi tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) dan penemu teknologi biopori Dr Ir Kamir R Brata, MSc pernah mengemukakan, kapasitas beban resapan lubang biopori (volume air yang masuk dibagi luas permukaan dinding) sekitar 25 liter per meter persegi (m2), jauh lebih kecil dibandingkan sumur resapan yang kapasitas bebannya 250 liter per m2.
   
Kapasitas daya serap itu lumayan untuk mengurangi potensi genangan saat musim hujan. Karena itu, mengurangi potensi banjir dengan pembuatan biopori tampaknya sedang digencarkan di Jakarta.
   
Kamir mengatakan menciutnya kawasan hutan dan kawasan terbuka hijau di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi untuk perluasan lahan pertanian, permukiman, perkantoran, pertokoan, kawasan industri dan prasarana jalan mengakibatkan berkurangnya resapan air ke tanah.
   
Dia mengatakan, lubang resapan biopori teruji lebih mudah diterapkan dan lebih efektif untuk meresapkan air hujan dan pemanfaatan sampah organik pada berbagai tipe penggunaan lahan dibandingkan dengan teknologi sumur resapan yang sudah lama diperkenalkan. 
PEMBANGUNAN SALURAN AIR Petugas Dinas Tata Air menyelesaikan pembangunan saluran air di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, Kamis (6/12/2018). Pembangunan saluran air tersebut merupakan upaya Pemprov DKI Jakarta untuk mengantisipasi banjir saat musim hujan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/ama. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)


Sosilisasi
Karena pembuatannya lebih sederhana, lebih efektif dan efisien, maka biopori menjadi pilihan di DKI untuk mengurangi genangan dan banjir yang terjadi setiap musim hujan. Kini langkah itu telah dikembangkan di kecamatan dan kelurahan.
   
Untuk Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, pembuatan biopori menjadi program pada 2019. Pemerintah kecamatan menargetkan wilayah Pulogadung bisa memiliki 90 ribu lubang resapan biopori untuk mengantisipasi genangan dan cadangan air tanah.
   
Camat Pulogadung, Bambang Pangestu, beberapa hari lalu, mengatakan saat ini di wilayah tersebut baru ada 24 ribu lubang biopori. Jumlah itu akan semakin ditingkatkan hingga mencapai jumlah 90 ribu.
   
Untuk mencapai target itu, pihak kecamatan gencar menyosialisasikan agar warga turut berpartisipasi membuat resapan dengan minimal setiap rumah memiliki satu resapan. Pihak kecamatan akan terus menyosialisasikan ke semua sektor agar berpartisipasi membuat lubang biopori. 
   
Di halaman Kantor Kecamatan Pulogadung saja ditargetkan ada 100 lubang biopori. Kemudian di tujuh kantor kelurahan juga minimal memiliki 50 lubang resapan per kelurahan yang rata-rata kedalamannya sekitar 70 cm dengan diameter empat inci.
   
Begitu juga di semua sekolah dan Puskesmas juga diimbau untuk membuat lubang biopori. Tujuannya adalah mengurangi genangan saat musim hujan dengan meningkatkan daya serap tanah terhadap genangan. 
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan normalisasi sungai harus terus dilakukan sebagai salah satu upaya mengentaskan banjir ibu kota. (Humas Pemprov DKI Jakarta)


Sejuta 
Untuk tingkat kota administratif, di seluruh wilayah Jakarta Timur telah dicanangkan target pembuatan satu juta lubang resapan atau biopori untuk mengantisipasi genangan air. Kalau sejuta biopori itu telah dibuat dan berfungsi dengan baik, diyakini potesi genangan dan banjir akan berkurang.
   
Menurut Wali Kota Jakarta Timur M Anwar, pihaknya telah mencanangkan pembuatan satu juta lubang biopori. Untuk mencapai target itu, sudah dilakukan awal Januari di halaman Kantor Wali kota Jakarta Timur.  
   
Kendati demikian, Anwar menyebut pembuatan lubang biopori di setiap kecamatan berbeda-beda karena menyangkut ketersediaan lahan. Seperti Pulogadung sebanyak 90 ribu dan Pasar Rebo sebanyak 100 ribu serta di rumah masing-masing wajib membuat dua lubang resapan.
   
Anwar mengajak masyarakat untuk ikut aktif dalam pembuatan lubang biopori mengingat kegunaannya yang tidak hanya meningkatkan daya serap air, tetapi juga dapat mencegah banjir. Pihaknya menggencarkan sosialisasi agar target sejuta lubang resapan biopori tercapai tahun ini. 
   
Kelurahan dan kecamatan juga diharapkan memberikan pembinaan kepada masyarakat agar masyarakat mengerti dan mau mengerjakan sendiri, tidak menunggu untuk bergerak membuat biopori. Kesadaran dari masyarakat penting agar mengurangi genangan air di wilayah DKI Jakarta khususnya Jakarta Timur. 
   
Langkah itu merupakan bagian dari upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengurangi potensi banjir. Dengan biopori diharapkan daya serap tanah terhadap genangan air meningkat.  
   
Secara keseluruhan, DKI Jakarta memerlukan sekitar 75 juta lubang resapan biopori untuk mengurangi banjir. Jumlah itu dinilai ideal untuk mengurangi genangan saat musim hujan.
   
Saat ini baru ada lebih dari tiga juta lubang biopori di lima wilayah DKI, kata Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Peni Susanti dalam seminar Krisis Lingkungan Hidup di DKI Jakarta.
   
Peni mengatakan lubang resapan biopori akan membantu meningkatkan keanekaragaman hayati di bawah tanah sehingga akan membantu menambah resapan air.
   
Selain biopori, Jakarta juga membutuhkan ribuan sumur imbuhan. Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat di BNPB.   Dr Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Jakarta membutuhkan sedikitnya 3.000 sumur imbuhan selain biopori dan sumur resapan.
   
Sumur ini untuk mengatasi banjir sekaligus mengurangi amblesnya tanah dan defisit air tanah akibat terus disedotnya air tanah dalam.
   
Sekarang sudah dibuat 83.003 sumur resapan dan 239.225 biopori di Jakarta untuk mengatasi banjir sekaligus untuk menangani bertambahnya defisit air tanah permukaan.
   
Teknologi yang mampu mengatasi peningkatan defisit air tanah dalam dan amblesnya tanah di Jakarta sekaligus mengurangi banjir, ujar pakar hidrologi tersebut, adalah teknologi sumur imbuhan atau injeksi yang di Jakarta saat ini baru ada 30 sumur.
   
Hanya saja tidak seperti biopori dan sumur resapan yang bisa dibuat secara massal karena bisa dibuat sendiri oleh masyarakat dan berbiaya murah, teknologi sumur imbuhan cukup mahal. Karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tampaknya lebih memilih biopori, tanpa mengesampingkan sumur resapan atau sumur imbuhan.  
   
Upaya itu diharapkan mengurangi potensi banjir di Jakarta.

Baca juga: Galilah biopori untuk cegah banjir
Baca juga: Wali Kota imbau warga Jakarta Utara buat biopori hadapi banjir
Baca juga: Menteri LHK buat lubang biopori di Bogor

 

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019