Dulu tidak berhasil lewat kasus pidana, sekarang dituntut kembali lewat perdata
Jakarta (ANTARA News) - Lima petugas kebersihan Jakarta Intercultural School (JIS) digugat ganti rugi sebesar Rp1,7 triliun oleh seorang ibu berinisial MAK, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan atas kasus dugaan kekerasan seksual di JIS beberapa tahun lalu.  

"Gugatan diajukan oleh seorang ibu dari salah satu orang tua siswa dugaan korban berinisil MAK. Tuntutan ganti rugi juga dialamatkan kepada dua guru yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, JIS, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)," kata Kuasa hukum para petugas kebersihan, Richard Riwoe dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin.

Richard menyebutkan, hal itu terungkap dalam sidang pembacaan gugatan, Senin, dalam sidang di PN Jaksel yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Lenny Wati Mulasimadhi.

Richard mempertanyakan apa motif dari pihak penggugat sebenarnya karena bagi pihaknya, sejak kasus pidana ini diangkat sekian tahun lamanya, ada satu hal yang konsisten, yaitu tuntutan materi. 

“Dulu tidak berhasil lewat kasus pidana, sekarang dituntut kembali lewat perdata. Masalah ini jangan dianggap sudah selesai, karena para petugas kebersihan dan guru sudah ditahan. Kasus pidananya masih tetap bisa dibuka dan kami punya bukti-bukti kuat yang dapat membuktikan kebenaran yang ada. Kami akan buka pada saat yang tepat,” ujar Richard.

Data menunjukkan, ibu berinisial MAK itu pernah juga mengajukan gugatan senilai 125 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,6 triliun kepada JIS pada 2014. Namun tuntutan tersebut tidak dikabulkan.

Agun, salah satu petugas kebersihan yang menjadi tergugat mengaku mengaku tidak habis pikir dengan apa yang menjadi dasar ibu MAK dalam mengajukan tuntutannya. 

Menurutnya, saat ini saja, ia dan teman-temannya sesama petugas kebersihan yang dipenjara, termasuk Azwar yang tewas di dalam tahanan, sudah menjadi korban dari tuntutan ibu MAK karena Agun dan teman-temannya merasa tidak melakukan kekerasan seksual seperti yang dituduhkan. 

Mereka pun, lanjut Agun, sudah menjalankan putusan pengadilan, yang di dalam putusan pengadilan tersebut selain sudah dijatuhi hukuman penjara, juga dikenakan denda yang merupakan kerugian bagi pihak korban. 

“Kerugian yang dituntut oleh penggugat dalam perkara perdata ini sebenarnya sudah kami tebus dengan cara menjalani hukuman penjara sebagai denda dari kerugian yang katanya dialami oleh korban. Akan tetapi sekarang pihak korban nuntut lagi kerugian, mohon Majelis Hakim yang menangani perkara ini, tuntutan Rp1,7 triliun ini maksudnya apa?” tanya Agun, usai persidangan.

Agun sendiri pada kasus itu divonis delapan tahun penjara dan sudah menjalani separuh hukuman dan karena dia berkelakuan baik, sekarang bebas bersyarat. Sedangkan lainnya, satu meninggal di dalam penjara dan lainnya masih didalam jeruji.

Agun mengetahui bahwa ibu yang menuntutnya saat ini saja tidak di Indonesia, melainkan tinggal di luar negeri. 

“Untuk makan dan sekolah anak saja (saya) mati-matian. Waktu saya dipenjara, istri sedang hamil. Sejak anak saya lahir sampai bertahun-tahun, dia enggak sama ayahnya. Eh, sekarang orang berkecukupan seperti mereka yang tinggal di luar negeri menuntut kami lagi. Seperti enggak cukup bikin kami sekeluarga terpuruk,” tutur Agun. 

Ia mengaku sedih dengan apa yang dialaminya saat ini. “Kami cuma berusaha hidup baik-baik saja, kok, susah sekali. Saya sampai bilang ke keluarga, kalau memang harus bayar, apa ambil ginjal saya aja sekalian!,” katanya.

Sementara itu, pihak JIS tidak ingin berkomentar banyak terkait tuntutan yang kembali dilayangkan oleh ibu MAK. “Kami belum bisa berkomentar banyak. Kami ikuti dulu proses hukum yang berjalan. Yang jelas, kami yakin bahwa gugatan ini tidak benar (incorrect) secara hukum,” kata kuasa hukum JIS, Bontor Tobing.


Baca juga: Empat pelaku kekerasan seksual pada siswa JIS divonis 8 tahun

Baca juga: KPAI apresiasi putusan kasus JIS



 

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019