Jakarta (ANTARA News) - Jauh sebelum Jakarta akhirnya akan memiliki Moda Raya Terpadu (MRT), yang rencananya akan diresmikan Maret mendatang, negara-negara lain di Asia Tenggara sudah memiliki sistem tersebut sejak bertahun-tahun silam, salah satunya Bangkok.

Ibu kota Thailand itu memiliki sistem Bangkok Mass Transit System, biasa dikenal sebagai BTS atau Skytrain oleh warga setempat. 

Selain Skytrain, Bangkok juga punya sistem Metropolitan Rapid Transit alias MRT yang diresmikan beberapa tahun sejak BTS hadir.

Skytrain Bangkok beroperasi sejak akhir 1999, sementara MRT Bangkok menyusul pada 2004. Perbedaan yang mencolok dari kedua moda transportasi itu adalah di mana mereka beroperasi. 

Seluruh kereta Skytrain, seperti namanya, melewati jalur melayang yang melintasi kota. Sementara MRT beroperasi sepenuhnya di bawah tanah.

 


Kedua gaya itu diadopsi di MRT Jakarta yang jalurnya berada di bawah tanah juga melayang, membuat penumpang bisa menyaksikan perubahan pemandangan dari gelap gulita bawah tanah hingga suasana kota yang berlatar langit cerah.

Baik BTS Skytrain maupun MRT memudahkan warga Bangkok maupun turis asing untuk berpindah tempat di kota yang lalu lintasnya sering macet, meski tidak separah Jakarta.

Mereka yang baru tiba dari bandara Suvarnabhumi, Bangkok, bisa langsung mengarah ke pusat kota dengan kereta bandara yang jalurnya terhubung dengan MRT (stasiun Petchaburi) dan BTS Skytrain (stasiun Phayathai).

Bagi turis yang ingin mengunjungi pusat perbelanjaan yang mengepung kawasan Siam, BTS Skytrain jadi transportasi yang bisa diandalkan karena melewati rute-rute favorit wisatawan.

"Saya lebih sering naik Skytrain selama di Bangkok," ujar Talita, turis asal Brasil yang menjelajahi Asia selama tiga bulan. Bangkok adalah tempat terakhir dalam rencana perjalanannya sebelum pulang kembali ke negara asal.

Bagi warga setempat, pilihan moda transportasi ini tergantung pada lokasi mereka beraktivitas. Mereka yang bekerja atau bersekolah di tempat yang lebih dekat dengan stasiun BTS Skytrain tentu lebih sering menaiki kereta melayang itu, begitu pula sebaliknya.

"Kalau mau pergi ke tempat spesifik yang lebih dekat dengan MRT, pastinya saya naik MRT. Tapi biasanya saya lebih suka Skytrain karena rutenya menjangkau daerah yang lebih luas," ujar Im Wanwadee, warga Bangkok yang kediamannya dekat dengan stasiun BTS Nana.
 
Penumpang berada di dalam gerbong Bangkok Mass Transit System (BTS) yang melintas di Bangkok, Thailand, Sabtu (9/2/2019). (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)


Hebohnya Skytrain, tenangnya MRT

Berada di area terbuka, suasana stasiun BTS Skytrain jauh lebih hingar-bingar ketimbang MRT yang tenang. Warna-warni menghiasi stasiun, iklan-iklan mencolok di tiap sudut, bahkan seluruh eksterior dan interior kereta merupakan iklan berjalan.

Jenis toko yang menghiasi bagian depan stasiun BTS Skytrain rata-rata serupa di semua tempat: kios restoran siap saji yang menjual camilan, kedai minuman seperti Thai Tea, salon kuku, kios penjual kaos kaki dan kosmetik sampai mesin penjual minuman. ATM dan tempat menukar uang juga lazim ditemui di stasiun BTS Skytrain.

Calon penumpang bisa menaiki tangga, eskalator atau elevator menuju loket BTS Skytrain. Pembelian tiket sekali jalan bisa dilakukan secara mandiri di mesin-mesin yang tersedia atau langsung di loket yang dijaga petugas.

Turis yang tidak mengerti bahasa Thailand tetap bisa membeli tiket sendiri karena tersedia pilihan bahasa Inggris. 

Layar sentuh akan menunjukkan peta BTS Skytrain, cukup pilih stasiun tujuan dan mesin akan menunjukkan berapa jumlah uang yang harus dimasukkan.

Kebanyakan mesin hanya menerima uang logam, tapi di sebagian stasiun ada pula mesin yang menerima uang kertas. Mesin akan mengeluarkan selembar tiket dan uang kembalian jika ada.

Setelah melakukan "tap in" dan melewati palang tiket yang otomatis terbuka, ada seorang penjaga yang siap memeriksa bawaan penumpang. Namun proses ini tidak wajib dilewati. Kebanyakan calon penumpang langsung melewati petugas tanpa memperlihatkan isi bawaan mereka.
 
Calon penumpang Bangkok Mass Transit System (BTS) antre membeli tiket di Stasiun BTS Siam, Bangkok, Thailand, Sabtu (9/2/2019). (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)


Proses serupa berlaku saat menaiki MRT. Alih-alih selembar tiket, yang keluar dari mesin tiket adalah token berwarna hitam. 

Token ini dipakai untuk membuka palang masuk dengan cara disentuhkan ke panel yang tersedia, lalu dimasukkan ke dalam lubang mirip lubang celengan saat keluar dari stasiun.

Secara keseluruhan, MRT terasa lebih tenang karena hingar bingar dunia luar teredam di bawah tanah. Pendingin udara menyejukkan kulit yang kepanasan akibat sengatan matahari Bangkok. 

Ada bagian khusus yang diisi pertokoan di stasiun MRT, tepatnya satu lantai di atas peron. 

Di sana berjejer restoran-restoran berukuran sedang, mini market, sampai deretan meja dan kursi yang bisa dipakai untuk nongkrong. Suasananya mirip seperti mal dalam versi mini.

Sama seperti kebiasaan penumpang BTS Skytrain, para penumpang selalu berbaris rapi menanti datangnya kereta yang jadwalnya tertera di layar dekat peron.
 
Calon penumpang menunggu datangnya MRT di Stasiun MRT Chatuchak Park, Bangkok, Thailand, Minggu (10/2/2019). (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)


Akses BTS Skytrain dan MRT

BTS Skytrain dan MRT terhubung di beberapa stasiun, seperti Asok dan Si Lom, sehingga penumpang dapat berganti moda transportasi secara mudah. 

Stasiunnya memang berbeda, tapi dibuat berdekatan, atau setidaknya mudah diakses dengan jembatan yang saling menghubungkan antarstasiun.

Ada pula stasiun BTS Skytrain yang tidak terhubung langsung dengan stasiun MRT, tetapi jembatannya dibuat hanya berjarak beberapa puluh langkah dari pintu masuk MRT. Contoh ini bisa dilihat di stasiun BTS Mo Chit yang lokasinya sangat dekat dengan stasiun Chatuchak Park. 

Stasiun ini ramai dikunjungi turis yang ingin mendatangi pasar Chatuchak pada akhir pekan.

Jembatan dari pintu keluar BTS ada juga yang bercabang, menghubungkan penumpang ke sebuah pusat perbelanjaan atau mengarah ke halte untuk mereka yang ingin melanjutkan perjalanan dengan bus.

Budaya Antre
 
Calon penumpang antre membeli tiket MRT di Stasiun MRT Chatuchak Park, Bangkok, Thailand, Minggu (10/2/2019). (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)


Budaya antre sudah mengakar di masyarakat Bangkok. Mereka otomatis berbaris rapi menanti kereta, bersabar menunggu penumpang dalam kereta keluar dari gerbong sebelum menjejakkan kaki ke dalam.

Contoh yang jelas bisa dilihat di stasiun Siam, salah satu stasiun tersibuk, di mana antrean mengular panjang namun langsung menyusut ketika kereta tiba. 

Itu terjadi berulang-ulang, tapi tak pernah ada penumpukan penumpang karena kereta datang silih berganti dalam interval yang tidak terlalu lama.

Kondisi gerbong penuh --meski standarnya berbeda dengan kepadatan kereta Bogor - Jakarta pada jam berangkat dan pulang kerja-- di Bangkok relatif "ramah" untuk penumpang yang membawa barang besar seperti koper atau kereta bayi.

Meski berdesakan, setidaknya masih ada sedikit ruang untuk bergerak menuju pintu keluar. Jika memang tidak muat, tidak masalah menunggu sebentar karena frekuensi kedatangan kereta hanya berselang beberapa menit.

Kursi-kursi prioritas pun kerap dikosongkan dan diberikan kepada lansia, ibu hamil, difabel atau ibu dengan anak kecil.

"Kami tidak pernah langsung (secara formal) diajari untuk disiplin. Kami juga tidak sedisiplin negara lain, misalnya Jepang. Tapi kami belajar untuk lebih menghargai orang lain, melihat contoh-contoh yang baik dan belajar dari situ," kata Im.
 
Penumpang berada di dalam gerbong Bangkok Mass Transit System (BTS) di Stasiun BTS Siam, Bangkok, Thailand, Sabtu (9/2/2019). (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

 

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2019