Jakarta (ANTARA News) - Panitera Pengadilan Negeri (PN) Medan Martin Teny Pieterz telah mengingatkan anak buahnya, yakni panitera pengganti PN Medan Helpandi untuk berhati-hati sebelum ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
   
"Saya mengatakan supaya Helpandi hati-hati, jangan mau disogok, jangan mau dibayar. Kalau sudah selesai (sidang), selesaikan semua tugas dengan baik. Itu tujuan saya," kata Martin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
   
Martin bersaksi untuk hakim ad hoc Tipikor PN Medan Merry Purba yang didakwa menerima suap sebesar 150 ribu dolar Singapura (sekira Rp1,56 miliar) dari Direktur Utama PT Erni Putra Terari Tamin Sukardi melalui Helpandi selaku panitera.

Tujuan pemberian itu adalah agar Tamin mendapat putusan bebas terkait kasus korupsi pengalihan tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II Tanjung Morawa.
   
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK sebelumnya membuka sadapan percakapan telepon Marin dengan Helpandi pada 27 Agustus 2018 setelah majelis hakim memutuskan Tamin Sukardi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor secara bersama-sama dan dijatuhi pidana 6 tahun dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp132,468 miliar.

Sedangkan hakim Merry Purba menyatakan dissenting opinion, yaitu dakwaan tidak terbukti dengan sudah ada putusan perdata berkekuatan hukum tetap.
   
Pada 28 Agustus 2018 petugas KPK melakukan OTT terhadap Helpandi, Tamin Sukardi dan Merry Purba.
   
"Ini bapak menyebutkan rencana hari ini putusan ya? Hati-hati ya, memang ada info perkara ini ada sogok?" tanya JPU KPK Putra Iskandar. 
"Tidak ada, tidak pernah. Saya selalu bagaimana dalam soal pembinaan secara keseluruhan jangan mudah disuap, jadi bukan ke Helpandi saja," jawab Martin.
"Karena kasus ini disorot publik?" tanya JPU KPK.
"Iya Pak, persidangan korupsi selalu menarik," jawab Martin.
"Apa karena perkara ini dipantau KPK?" tanya jaksa.
"Bukan Pak, tapi hampir semua perkara, Kalau sudah putus selesaikan berita acara dengan baik karena perkara harus cepat selesai, saya tidak pernah mencamputri tugas hakim maupun panitera yang bersidang," ungkap Martin.
   
Sedangkan panitera pengganti PN Medan Oloan Sianturi yang juga menjadi saksi dalam perkara tersebut mengaku pernah ditelepon oleh Tamin Sukardi dan staf administrasi perusahaan Tamin, Sudarni Samosir.
   
"Pernah saya ditelepon, awalnya saya tidak tahu itu nomor siapa. Sudarni tanya di mana alamat Pak Sontan Sinaga. Saya mengatakan di Lubuk Pakam, tapi saya tidak tanya untuk apa," kata Oloan.
   
Sontan Sinaga yang dimaksud adalah Sontan Merauke Sinaga yang menjadi hakim anggota I dalam perkara Tamin. Sedangkan Ketua majelis hakim adalah Wahyu Prasetyo Wibowo.
   
"Saya lalu bertemu Tamin dan Sudarni, tidak lama bertemunya, 10 menit," ungkap Oloan.
   
Usai pertemuan itu, Sudarni kembali menghubungi Oloan. "Ditelepon lagi tapi bising Pak, dia mengatakan ingin memberikan uang minyak. Saya sebut saja Rp1 juta, tapi tidak saya terima," kata Oloan.
   
Oloan lalu kembali dihubungi Sudarni pada hari putusan 27 Agustus 2018 dan menanyakan bahwa barang yang ingin diambil. "Maksudku yang semua diambillah, diambil semua barang itu dari Toba apa?" tanya jaksa.
   
"Aku berasumsi sudah ada keluar uangnya," jawab Oloan.
   
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Sudarni menyampaikan ke Helpandi mengenai sejumlah kode pembicaraan, yaitu Wayan Naiobaho adalah Tamin Sukardi, Wayan adalah Wahyu Prasetyo Wibowo selaku Wakil Ketua PN Medan dan ketua majelis perkara.

Pohon adalah uang, Naibaho adalah ketua PN Medan, asisten adalah hakim anggota, danau toba/Dtoba/Dantob/Batang adalah Sontan Merauke Sinaga dan ratu kecantikan adalah Merry Purba. 
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019