Surabaya (ANTARA News) - Komisi A Bidang Hukum dan Pemerintahan DPRD Kota Surabaya menilai pemerintah kota setempat krisis SDM karena hingga saat ini banyak kepala organisasi perangkat daerah yang merangkap jabatan.

Ketua Komisi A DPRD Surabaya Herlinas Harsono Nyoto, di Surabaya, Jumat, mengatakan beban kerja di instansi pemerintahan mestinya harus bisa terukur mulai dari beban kerja individu, beban kerja jabatan dan beban unit.

"Kalau dalam ilmu psikologi itu dikenal namanya analisa jabatan dan beban kerja karena itu penting untuk efisiensi dan produktivitas kerja," katanya.

Menurut dia, secara logika, ketika satu jabatan dirangkap dengan orang yang sama, maka secara otomatis beban kerja akan banyak dan berat jika dibandingkan hanya memegang satu jabatan saja.

Politikus Partai Demokrat ini menyebut bahwa banyak kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Lingkungan Pemerintah Kota Surabaya yang merangkap jabatan, seperti halnya Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merangkap jabatan sebagai Kepala Dinas Pemadam Kebakaran, Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat (BPB Linmas) merangkap jabatan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol).

Selain itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) merangkap jabatan Kepala Dinas Kebersihan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH), Kepala Bagian Humas merangkap jabatan Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo), Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) merangkap jabatan Dirut RSUD Shoewandie.

"Ada lima kepala OPD yang rangkap jabatan, tapi kalau rangkap jabatan dirunut hingga tingkat kelurahan, maka jumlahnya banyak lagi," ujarnya.

Herlina mengatakan beban kerja harusnya bisa terukur mulai beban kerja individu, beban kerja jabatan dan beban unit. Ia mencontohkan mobil PMK bisa 10 menit datang ke lokasi itu berarti beban kerja unitnya terukur, tapi kalau beban kerja individu tidak bisa diukur dengan itu.

Ia menilai Pemkot Surabaya tidak punya analisa beban kerja individu itu, sehingga Wali Kota Surabaya cenderung bahwa yang penting beban unit dan produktivitasnya tidak terganggu.

"Padahal analisa beban kerja individu ini mengukur sampai kecepatan bagaimana menyelesaikan suatu tugas," katanya.

Penempatan posisi seseorang memang hak prerogatif wali kota, tapi menurut Herlina, idealnya promosi atau rotasi aparatur sipil negara (ASN) setidaknya punya analisa ukuran yang jelas.

"Kalau selama ini masih banyak kepala OPD yang diisi Plt (pelaksana tugas), maka bisa dikatakan pemkot krisis SDM," katanya.

Sementara itu, Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya M. Fikser mengaku tidak ada kesulitan bagi kepala OPD merangkap jabatan karena semua sistem di masing-masing OPD sudah berjalan.

"Tinggal kita komando saja, yang penting pelayanan masyarakat tidak terganggu," ujarnya.

Ia mencontohkan masing-masing kebutuhan di Bagian Humas dan Diskominfo seperti agenda setting, agenda kegiatan, inovasi dan lainnya, semuanya sudah terpenuhi sehingga tinggal percepatan saja.

"Begitu juga kepala Dinas PMK dan Satpol PP yang keduanya sama-sama dalam manajemen menggerakkan orang. Kedua ini OPD ini mirip, satunya penanganan kebakaran dan satunya ketertiban. Jika ada kebakaran dan penertiban, kepala dinas turun ke lokasi," katanya.

Meski demikian, lanjut dia, pihaknya mengakui bahwa kewenangan pelaksana tugas dibatasi tidak seperti kepala definitif dalam hal kebijakan strategis. "Kalau Plt sudah bisa akses surat, anggaran juga sudah bisa eksekusi, begitu juga pertanggungjawaban dan pengelolaan anggaran. Kalau kebijakan strategis hampir tidak ada karena di OPD semua sudah terencana melalui dokumen rencana kerja," katanya.

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019