Jakarta (ANTARA) - Berita buruk adalah berita bagus dan berita bagus bukanlah berita (bad news is good news, good news is no news) sudah menjadi paradigma yang mencengkeram jurnalis sejagat dalam menyiarkan suatu berita.

Tidak bisa dimungkiri, para jurnalis bekerja sesuai hukum pasar, memberitakan peristiwa yang berdampak luas, yang mampu memberi oplah besar, rating tinggi atau views besar. Hal itu berarti berita harus benar-benar menarik, sedangkan berita menarik adalah hal-hal yang buruk yang terjadi di masyarakat atau yang memiliki tone negatif.

Sebaliknya, berita bagus seperti kondisi yang normal, tenteram, dan sejahtera atau berita dengan tone positif, bukanlah sesuatu yang layak diberitakan, karena masyarakat memang tidak menyukai dan menganggap sebagai membosankan.

Wajarlah jika peristiwa yang mengerikan, seperti jumlah korban bencana yang banyak, pengungsi yang terlantar, ketidakmampuan menangani bencana, hingga data yang simpang-siur menjadi berita besar (headline) serta makanan empuk pemberitaan.

Lalu bagaimana lembaga humas (hubungan masyarakat) harus menyikapi fakta ini? Bagaimana merangkul jurnalis hingga bersedia menyamakan persepsinya menjadi seiring sejalan dengan yang diharapkan lembaga tersebut?

Buku berjudul "Komunikasi bencana: membedah relasi BNPB dengan media" yang ditulis Sutopo Purwo Nugroho dan Dyah Sulistyorini ini tampaknya bisa menjadi acuan para petugas humas agar mampu memahami dan menjalankan tugasnya dengan baik.

Sebab, dengan gelar Humas Terbaik yang diraih berkali-kali dari berbagai lembaga, termasuk Outstanding Spokesperson dari Jakarta Foreign Correspondents Club serta berbagai penghargaan nasional maupun internasional, Dr Sutopo Purwo Nugroho yang menjabat Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB sejak 2010 ini sangat terkenal dengan kemampuannya berkomunikasi.

Sutopo dibantu Dyah Sulistyorini, Manajer Riset dan Pengembangan Data Informasi LKBN ANTARA, yang selain berada di lingkungan jurnalisme, juga seorang yang menekuni bidang ilmu manajemen komunikasi.

Sutopo membagi pengalamannya sebagai praktisi humas di lembaganya yang menangani kebencanaan nasional BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), sedangkan Dyah memformulasikan teori komunikasi ke dalam konsep kebencanaan.


Jembatan Humas

Media massa, menurut Sutopo dan Dyah, sesungguhnya adalah "media antara" agar tugas-tugas kehumasan dapat tercapai dan terlaksana dengan baik. Dengan kata lain, media massa menjembatani strategi kehumasan agar hasil yang ingin diraih organisasi tercapai di mana hasil kegiatan humas adalah perubahan perilaku audiens yang dituju (halaman 2).

Karena itu, humas memerlukan media massa sebagai alat yang efektif dalam menyebarkan informasi untuk target audiens yang sangat banyak, dan karena itu bagi BNPB, media massa menjadi elemen penting dalam keberhasilan penanggulangan bencana.

Meski di era baru ini humas bisa juga berkomunikasi langsung dengan masyarakat luas melalui media sosial, seperti Twitter, Whatsapp, Instagram, dan lainnya, namun karena kehadiran medsos itu belum mampu mengambil alih tugas media massa, maka humas tetap berkewajiban membina relasi dengan media massa.

Apalagi kiprah media massa bukan sekadar memberitakan kejadian, tetapi juga meningkatkan pemahaman masyarakat, memengaruhi keputusan politik, dan akhirnya menyelamatkan nyawa manusia (halaman 139)

Berbeda dengan medsos, institusi media massa memiliki tanggung jawab sosial terhadap dampak dari konten yang disebarkannya (halaman 164).

Demikian pula jika dibandingkan dengan jurnalisme warga (citizen journalism) yang semakin memperoleh kesempatan di era informasi ini, media massa memiliki disiplin dalam hal verifikasi yang tidak dapat dibebankan kepada jurnalisme warga (halaman 175).

Karenanya, sangat penting bagi petugas humas, selain mampu menyajikan berita dengan kaidah bahasa yang gamblang dan terstruktur, juga harus mampu melengkapi pemaparannya dengan data yang akurat (halaman 109) untuk dibagikan kepada jurnalis.

Di sisi lain, meski media taat terhadap kode etik jurnalistik, media tetap tunduk pada hukum pasar di mana unsur bombastis dan menjual kepedihan kadang mendominasi berita tentang bencana (halaman 5) dan karenanya petugas humas perlu memahami dan mampu merapikannya dengan baik.

Keterangan pers yang disebarkan Sutopo secara berkesinambungan melalui puluhan grup Whatsapp jurnalis misalnya, cukup efektif dalam meningkatkan pemahaman para awak media terhadap seluk-beluk bencana (halaman 194) sehingga pemberitaan kebencanaan diharapkan dapat lebih tepat dan komprehensif.

Belum lagi konferensi pers, pelatihan penanggulangan bencana, dan pembentukan forum kebencanaan bagi awak media dan berbagai bentuk strategi relasi media yang secara rutin digelar, semuanya dalam rangka mencapai visi BNPB mewujudkan bangsa yang tangguh bencana (halaman 193).


 Teori Komunikasi

Buku terbitan BNPB setebal 315 halaman itu, diawali dengan prolog yang menjabarkan tentang pentingnya mengatur media massa karena perannya yang besar dalam mengurangi risiko bencana.

Kemudian Sutopo dan Dyah melanjutkannya dengan pemaparan tentang seputar kehumasan, baik dari teori komunikasi organisasi, definisi, perkembangan, sejarah kehumasan di Indonesia, hingga praktik kehumasan dan tugas humas pemerintah pada Bab 1.

Teori-teori kemudian lebih banyak lagi mewarnai Bab 2 buku ini, seperti teori komunikasi strategis, peran juru bicara, pemahaman terhadap khalayak, juga kebijakan komunikasi di Indonesia, kode etik humas dan soal pentingnya kemampuan dalam berkomunikasi.

Pada Bab 3, topik semakin meruncing pada bagaimana memahami isu dan melakukan manajemen krisis organisasi di mana humas berperan dalam mengatasi krisis ini. Pada bab ini pula topik kebencanaan mulai masuk sesuai tema besar dari buku itu dengan menyebut tren bencana di Indonesia yang mencapai duaribuan per tahun dan sebagian besar merupakan bencana hidrometrologi (halaman 77).

Sutopo dan Dyah kemudian menjabarkan berbagai isu kebencanaan yang dilengkapi sejumlah info grafis pada Bab 4 tentang Penanggulangan Bencana Berbasis Data, termasuk foto-foto dan gambar citra satelit yang memaparkan pentingnya data dan informasi dalam penanggulangan bencana.

Dilanjutkan dengan Bab 5 yang menambahkan pengetahuan pembaca dengan media baru di era internet dan ditandai dengan konvergensi seluruh karakteristik media konvensional (halaman 149) melalui teks, foto, video, serta keunggulan lainnya, seperti kemampuan berbagi dan menyebar cepat dan luas serta lebih bersifat interaktif.

Sedangkan berikutnya di Bab 6 lebih fokus pada bagaimana media massa melihat bencana, termasuk memaparkan soal karakteristik media massa di alam demokrasi, tanggung jawab media, peran media dalam penanggulangan bencana, serta bagaimana jurnalis mewartakan bencana.

Dan terakhir pada Bab 7, buku ini memperbanyak tampilan info grafis tentang aktivitas relasi media BNPB seperti bagaimana BNPB menangani media, koordinasi lintas elemen yang dilakukan BNPB, hingga bagaimana BNPB menyebarkan informasi kepada masyarakat melalui laman, buku-buku, komik, sandiwara radio, hingga pembuatan film.

Pada bab ini pula dipaparkan bagaimana seorang Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan informasi kebencanaan, berikut berbagai penghargaan yang diraihnya, hingga perjuangan menunaikan tugas saat-saat kanker stadium 4 makin membelitnya.

Buku ini terbilang cukup komprehensif membahas mengenai komunikasi dan bagaimana humas seharusnya bekerja hingga dapat mencapai tujuannya dengan baik, dengan contoh pada kehumasan BNPB, dilengkapi berbagai info grafis untuk menunjang tampilannya.

Meski demikian, buku ini lebih bernuansa akademis dan penuh dengan teori dan cuplikan pikiran para pakar komunikasi daripada informasi praktis yang ditunggu-tunggu oleh praktisi kehumasan, petugas kebencanaan, atau pelaku media massa.

Karena itu para praktisi mungkin bisa langsung menengok ke Bab 7 jika ingin mendapatkan fakta kekinian dan sisi praktis dari buku ini, lalu mengintip lagi ke bab-bab sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang banyak tentang teori komunikasi dan kehumasan.
 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019