Penempatan akan dilakukan dalam satu kanal, termasuk penerbitan visa kerja
Jakarta (ANTARA) - Sembilan belas syarikah (perusahaan) jasa tenaga kerja asing dari Arab Saudi tampak hadir di ruang pertemuan hotel berbintang lima di kawasan bisnis Mega Kuningan, Jakarta.

Mungkin ini kunjungan bersejarah buat mereka, mungkin juga bagi program penempatan pekerja migran Indonesia (PMI, dahulu TKI) ke negara hijaz itu.

Mereka datang atas undangan Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) untuk membahas detil perjanjian tentang tata kelola dan tata niaga penempatan PMI ke Saudi

Dahulu upaya menempatkan PMI secara legal ke Saudi seperti membangkit batang terendam atau menegakkan benang basah. Artinya, sebuah misi yang sulit diwujudkan.

Permasalahannya, sejak 1 Agustus 2011 penempatan PMI ke Saudi dihentikan sementara (moratorium). Penyebabnya, banyaknya permasalahan muncul di negara tujuan penempatan, di antara banyak PMI melampaui masa tinggal (over stay), lari dari majikan dan menjadi pekerja ilegal, upah yang tak dibayar dan beberapa di antara tinggal di rumah tahanan imigrasi juga rumah tahanan (penjara) dengan berbagai kasus, termasuk terancam hukuman mati (pancung).

Banyak kajian yang sudah dilakukan. Kesimpulannya, hampir semua permasalahan berawal dari dalam negeri. Di antaranya, TKI tidak siap secara fisik dan mental, peraturan yang tumpang tindih, koordinasi yang buruk di kalangan pemerintah dan pengawasan yang lemah.

Kondisi itu diperburuk lagi ketika tersiar kabar 28 TKI terancam hukuman mati pada Juni 2011. Ancaman hukuman mati merupakan momok bagi program penempatan tenaga kerja ke Saudi.

Tekanan di dalam negeri begitu tinggi. Mereka mengecam hukuman mati dan menyalahkan pemerintah Indonesia --di dalam dan di luar negeri-- seakan tidak berbuat apa-apa dalam menyelamatkan anak bangsa. Perusahaan jasa penempatan menjadi bulan-bulanan. Pahlawan kemanusiaan bermunculan.

Desakan untuk menghentikan penempatan ke Saudi begitu kuat, sehingga akhirnya Indonesia menghentikan sementara pengiriman TKI ke Saudi lalu diikuti dengan moratorium ke 21 negara timur tengah lainnya.

Kini upaya menempatkan PMI ke Saudi kembali dirintis. Sebenarnya penempatan ke Saudi primadona bagi PMI di banyak daerah. Daya tarik negara penjaga dua kota suci, Makkah dan Madinah itu begitu besar.

Di saat moratorium saja, minat itu tidak pudar. Pemerintah Indonesia tidak bisa membendung WNI yang ingin bekerja ke sana, dengan berbagai cara, sekali pun ilegal. Ilegal di mata Indonesia, legal di mata pengguna (user) karena tidak sedikit PMI memiliki visa kerja.

Di sisi lain, kebutuhan pekerja di dalam rumah (domestic helper) di Saudi sangat besar. Tidak cukup satu, keluarga di Saudi bisa membutuhkan dua hingga tiga PMI di dalam satu rumah.

Bahkan, sebelum moratorium, sopir taksi bisa merekrut dua pekerja rumah tangga Indonesia. Karena memiliki pekerja rumah tangga sudah menjadi kebutuhan, juga gaya hidup.

Kebutuhan, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa isteri di negara kaya itu sejak gadis tidak terampil melakukan pekerjaan rumah tangga. Sejak kecil, semua dikerjakan oleh pembantu. Setelah menikah, keberadaan akan asisten rumah tangga itu menjadi kebutuhan utama.

Kelakar liarnya, rumah tangga bisa bubar jika pembantu tak ada. Kondisi yang sama juga terjadi di rumah tangga di negara-negara timur tengah lainnya.

Karena itu visa kerja mudah didapat meskipun moratorium masih berlaku.

Sementara, pekerja rumah tangga Indonesia juga sangat diminati karena relatif lebih bersih, santun, tidak banyak menuntut dan muslimah.

Selama moratorium pekerja rumah tangga Indonesia menjadi mahal dan disayang. Mereka dibujuk agar tidak pulang. Kontrak dan masa tinggal yang sudah berakhir diurus oleh majikan.

Majikan khawatir, jika TKI pulang maka tak akan kembali. TKI juga khawatir, jika pulang bahkan jika cuti sekali pun, belum tentu bisa kerja di Saudi lagi.

Kebutuhan TKI di Saudi masih sangat besar. Karena itu, meskipun dalam kondisi moratorium, devisa (remitens) yang dikirim TKI dari timur tengah masih yang terbesar, yakni hampir 50 persen dari Rp156 triliun pada 2018.

Jika demikian, sesungguhnya mudah untuk memulai penempatan kembali. Namun, kedua negara tampaknya berhati-hati dalam menyikapinya.

Indonesia tidak ingin penempatan ke Saudi penuh masalah lagi, sementara negara kerajaan itu juga menyadari peliknya posisi pekerja rumah tangga dalam sebuah keluarga. Secara adat dan kebiasaan, mereka di bawah kuasa pemilik rumah (user).

Saudi menghormati urusan privat setiap rumah tangga. Hal itu dipecahkan, dengan menjadikan syarikah sebagai user dan pemilik PMI. Syarikahlah yang bertanggung jawab atas keselamatan dan menjamin hak-hak PMI.

Syarikah berhak menarik PMI dari suatu rumah jika keselamatan PMI terancam atau mendapat perlakuan tidak terpuji. Dalam kontrak, syarikah berhak masuk ke rumah tangga karena mereka "pemilik", dan keluarga pengguna hanya "meminjam" dari syarikah.

Karena itu, PMI diberi telepon seluler agar bisa berkomunikasi ke luar rumah.

Di sisi lain, Indonesia juga berhati-hati dalam menempatkan kembali PMI ke Saudi, karena sekali pintu Saudi terbuka, maka terbuka pula 21 pintu negara tujuan penempatan lainnya.

Karena itu, perjanjian dan kesepakatan dengan Saudi harus benar-benar matang karena akan menjadi contoh bagi negara lain.

Indonesia ingin PMI yang ditempatkan benar-benar berkualitas, terampil, sehat, berkelakuan baik, dan loyal, tidak kabur dari majikan.

Persiapan di dalam negeri menjadi kunci sukses tidaknya program penempatan tersebut. Mereka yang dikirim harus benar-benar terseleksi dan paham adat serta kebiasaan masyarakat setempat.

Kemenaker menerbitkan Kepmenaker Nomor 291 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi melalui Sistem Penempatan Satu Kanal sebagai dasar hukum daan acuannya.

Penempatan akan dilakukan dalam satu kanal, termasuk penerbitan visa kerja, jabatan (bidang kerja) terbatas, hanya tujuh, penempatan oleh perusahaan tertentu di daerah tertentu dan aturan lainnya.

Kemenlu RI juga mendukung sistem satu kanal ini dan menyatakan sebagai momen yang ditunggu-tunggu banyak pihak.

Sejumlah 57 perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) yang sudah diseleksi Kemenaker RI dan berada dalam koordinasi Apjati menjadi penanggung jawab "misi" ini. Mereka yang menyeleksi, melatih, memeriksa kesehatan, dan menjaga hak-hak PMI.

Apjati berharap September ini sudah bisa menempatkan PMI terlatih, terutama mereka yang pernah bekerja di Saudi.

Lalu, bagaimana dengan ancaman hukuman pancung? Tidak ada yang bisa menjamin bahwa PMI terbebas darinya.

Hukum pancung adalah hukum positif negara Arab Saudi yang mengacu pada hukum Islam (qishas) dan harus dihormati, sebagaimana negara lain juga menghormati hukum Indonesia. Qishas memberi kepastian kepada keluarga korban. Siapa yang membunuh maka keluarga korban berhak menuntut balas secara setimpal (seimbang).

Hal itu berlaku bagi semua, tidak hanya PMI atau warga asing lainnya, tetapi juga berlaku pada warga Saudi. Hukum di atas segalanya agar ketertiban dalam masyarakat terjaga dan keadilan berlaku bagi semua.

Selamat datang di Saudi para PMI. Negara ini tidak asing bagi Indonesia, juga bagi Muslimin dunia karena setiap tahun berbondong jamaah berhaji ke sana, dan tak henti pula yang berumrah serta berziarah. Negeri aman dan makmur, semoga jadi barokah bagi pekerja-pekerja migran Indonesia.*


Baca juga: Apjati harapkan penempatan PMI ke Saudi mulai September 
Baca juga: Apjati: Benahi tata niaga penempatan untuk dapatkan PMI berkualitas

Baca juga: Layakkah PMI jadi ladang devisa?

 

Copyright © ANTARA 2019