Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mendorong produksi microchip dan Radio Frequency Identification (RFID) untuk memantau peredaran dan perdagangan ikan hias bernilai tinggi dalam rangka mendukung kemandirian industri tersebut.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, mengatakan dalam rangka pemantauan dan pengendalian peredarannya, microchip telah dipasang di ikan arwana.
"Berlaku maka dipasanglah microchip pada satwa ini. Saat ini para pelaku usaha arwana membeli piranti ini di pasaran yang umumnya diimpor dari negara lain," katanya.
Microchip tersebut adalah sirkuit pengenal terintegrasi yang ditempatkan di bawah kulit fauna. Chip tersebut menggunakan teknologi RFID dan dikenal sebagai tag PIT (Passive Integrated Transponder).
Ikan arwana sendiri termasuk dalam satwa yang dilindungi, sehingga dalam peredarannya tanpa chip dapat berujung pada tindak pidana, sebagaimana telah diatur dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Permenhut No P 19/Menhut-II/2005 dan Permen LHK No 20 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
"Saya kira piranti dan teknologi yang disematkan pada ikan ini tidak terlalu rumit, melihat potensinya, kembali saya tekankan, industri microchip dan RFID di dalam negeri ini perlu dikembangkan dan didorong," tambah Safri.
Selain masih impor, harga microchip di Indonesia masih terhitung tinggi, yaitu Rp12.000 per buah, jauh dibandingkan dengan harga di China yang hanya separuhnya.
Tidak hanya itu, proses impornya pun yang terbilang masih sulit. Contohnya, proses impor microchip yang perlu waktu sekitar tujuh minggu dan belum tentu selesai tepat waktu.
Ditambah dengan perkembangan teknologi saat ini, piranti tersebut juga tidak lagi sepenuhnya berfungsi sebagai ID pengenal, dikarenakan ada teknologi penanda (tagging) lainnya yang sudah juga mulai dikembangkan.
Asisten Deputi Hilirisasi Sumber Daya Maritim Amalyos menjelaskan dalam satu hingga dua minggu ke depan, ditargetkan semua pihak terkait telah duduk bersama dan membuat nota kesepahaman untuk membuat purwarupa yang diharapkan lebih baik dari segi teknologi dan lebih murah dibanding barang impor.
"Kita akan coba kumpulkan data terkait dengan kebutuhannya, dan kita perkuat komunikasi dan koordinasi dengan berbagai sektor. BPPT, LEN, dan juga LIPI siap mendukung penuh, bahkan LIPI sangat antusias untuk set-up awal untuk riset prototype-nya (purwarupanya)," pungkas Amalyos.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, mengatakan dalam rangka pemantauan dan pengendalian peredarannya, microchip telah dipasang di ikan arwana.
"Berlaku maka dipasanglah microchip pada satwa ini. Saat ini para pelaku usaha arwana membeli piranti ini di pasaran yang umumnya diimpor dari negara lain," katanya.
Microchip tersebut adalah sirkuit pengenal terintegrasi yang ditempatkan di bawah kulit fauna. Chip tersebut menggunakan teknologi RFID dan dikenal sebagai tag PIT (Passive Integrated Transponder).
Ikan arwana sendiri termasuk dalam satwa yang dilindungi, sehingga dalam peredarannya tanpa chip dapat berujung pada tindak pidana, sebagaimana telah diatur dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Permenhut No P 19/Menhut-II/2005 dan Permen LHK No 20 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
"Saya kira piranti dan teknologi yang disematkan pada ikan ini tidak terlalu rumit, melihat potensinya, kembali saya tekankan, industri microchip dan RFID di dalam negeri ini perlu dikembangkan dan didorong," tambah Safri.
Selain masih impor, harga microchip di Indonesia masih terhitung tinggi, yaitu Rp12.000 per buah, jauh dibandingkan dengan harga di China yang hanya separuhnya.
Tidak hanya itu, proses impornya pun yang terbilang masih sulit. Contohnya, proses impor microchip yang perlu waktu sekitar tujuh minggu dan belum tentu selesai tepat waktu.
Ditambah dengan perkembangan teknologi saat ini, piranti tersebut juga tidak lagi sepenuhnya berfungsi sebagai ID pengenal, dikarenakan ada teknologi penanda (tagging) lainnya yang sudah juga mulai dikembangkan.
Asisten Deputi Hilirisasi Sumber Daya Maritim Amalyos menjelaskan dalam satu hingga dua minggu ke depan, ditargetkan semua pihak terkait telah duduk bersama dan membuat nota kesepahaman untuk membuat purwarupa yang diharapkan lebih baik dari segi teknologi dan lebih murah dibanding barang impor.
"Kita akan coba kumpulkan data terkait dengan kebutuhannya, dan kita perkuat komunikasi dan koordinasi dengan berbagai sektor. BPPT, LEN, dan juga LIPI siap mendukung penuh, bahkan LIPI sangat antusias untuk set-up awal untuk riset prototype-nya (purwarupanya)," pungkas Amalyos.