Brasilia (antarasulteng.com) - Chen Hui Yen masih berusia 21 tahun ketika membuat keputusan
berani, merantau ke Brasil, sebuah negara yang ia sendiri pun tidak tahu
ada di mana.
"Ketika itu saya sudah mendengar bahwa Brasil sedang membangun ibukota baru, makanya saya berpikir pasti disana banyak pekerjaan," kata Chen Hui yang sekarang sudah berusia 74 tahun di Brasilia, Minggu siang (Senin WIB).
Chen yang kelahiran Jakarta pada 1940 itu memulai sebuah petualangan baru dengan satu tujuan, mengubah nasib agar lebih baik meski harus menempuh jarak belasan ribu kilometer.
"Pada tahun 1961, dengan uang hanya 100 dolar AS di kantong, saya pun berangkat ke Brasil naik kapal dari Singapura. Ketika itu belum ada pesawat," kata Chen mengisahkan awal petualangannya.
Setelah menempuh perjalanan selama 40-an hari dengan rute Singapura-Mauritius-Cape Town dan membelah Samudera Atlantik, kapal yang ditumpanginya pun mendarat di Rio de Janeiro.
Tapi di Brasilia yang jauh dari pantai ternyata belum ada apa-apa dan tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Akhirnya Chen memutuskan untuk mencari pekerjaaan di Sao Paulo yang lebih ramai.
Karena sama sekali tidak bisa berbahasa Portugis, Chen tidak bisa langsung bekerja dan untuk sementara bekerja bersama temannya yang sudah lebih dulu tiba di Brasil, yaitu memelihara ayam di luar kota.
"Bekerja memelihara ayam kan tidak perlu banyak bicara dan lebih banyak di kebun," katanya sambil tertawa.
Setelah bertahan selama sekitar empat tahun bekerja di luar kota di peternakan ayam temannya, Chen pun pindah ke kota Sao Paulo, kali ini menjual telor.
Pada 1973, Chen pun menikah. Tapi karena kehidupan yang selalu naik turun di Sao Paulo, mereka pun kemudian memutuskan untuk pindah ke Brasilia, ibukota Brasil. Disana mereka tetap menekuni usaha ayam potong.
Bekerja tanpa sehari pun libur dari 1973 sampai 1980 bersama sang istri, Chen pun mampu membeli tanah dan membuka toko sendiri.
Buka Restoran
Secara perlahan namun pasti, kerja keras mereka berdua pun menampakkan hasil dan peluang untuk menambah usaha pun semakin terbuka.
Pada 1995, Chen membeli sebidang tanah seluas 300m persegi untuk membangun restoran yang diberi nama "Restaurante Bali" yang terletak tidak jauh dari KBRI di wilayah Asa Sul, selatan Brasilia.
Di restoran itulah, Chen siang itu menerima kedatangan Duta Besar RI untuk Brasil Sudaryomo Hartosudarmo serta beberapa orang wartawan dari Indonesia, termasuk Antara.
"Saya memilih nama Restoran Bali bukan karena menyediakan makanan khas Bali, tapi karena Bali memang lebih dikenal di sini," kata Chen yang bersama seluruh keluarganya sudah jadi warga negara Brasil.
Sebagian besar menu hidangan adalah masakan Tiongkok dan diselilingi oleh makanan khas Indonesia seperti gado-gado, nasi goreng, bakmi dan rendang, tapi dengan rasa yang sudah disesuaikan dengan selera warga lokal.
Di restoran yang dihiasi berbagai lukisan pemandangan alam di Bali seperti Tanah Lot dan Ubud, sekitar 50 lebih tamu sudah memenuhi meja untuk santap siang.
Jika sebelumnya Chen bekerja dengan orang lain, sekarang ia sudah menjadi majikan dan bahkan memperkerjakan warga lokal, meski tidak banyak.
"Saya punya empat orang pegawai lokal selain dibantu oleh anak dan istri. Tidak kuat kalau harus memperkerjakan banyak pegawai disini," katanya.
Brasil memang dikenal sebagai negara yang dengan ketat memberlakukan aturan penggajian dengan upah minimum sekitar 700 real (Rp3,5 juta).
"Paman saya yang punya usaha di Singapura selalu mengingatkan, kalau di Brasil jangan bekerja sama orang, tapi harus bekerja sendiri. Kata-kata itu selalu saya ingat," kata Chen baru sekali pulang ke Indonesia, yaitu pada 2005.
Sekarang, Chen sudah menikmati hasil kerja kerasnya meski diraih setelah puluhan tahun. Selain memiliki restoran dan juga toko yang disewakan, ia juga sudah memiliki beberapa aparteman di ibukota Brasil itu.
Dubes Indonesia Sudaryomo Hartosudarmo yang merupakan salah satu pelanggan setia restoran itu mengatakan bahwa Chen adalah contoh seorang pekerja keras dan berani, demi untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
"Intinya, semua keberhasilan itu harus diraih dengan kerja keras dan kemauan kuat. Orang Indonesia yang merantau kesini umumnya sukses," kata Sudaryomo.
(a032/D011/skd)
"Ketika itu saya sudah mendengar bahwa Brasil sedang membangun ibukota baru, makanya saya berpikir pasti disana banyak pekerjaan," kata Chen Hui yang sekarang sudah berusia 74 tahun di Brasilia, Minggu siang (Senin WIB).
Chen yang kelahiran Jakarta pada 1940 itu memulai sebuah petualangan baru dengan satu tujuan, mengubah nasib agar lebih baik meski harus menempuh jarak belasan ribu kilometer.
"Pada tahun 1961, dengan uang hanya 100 dolar AS di kantong, saya pun berangkat ke Brasil naik kapal dari Singapura. Ketika itu belum ada pesawat," kata Chen mengisahkan awal petualangannya.
Setelah menempuh perjalanan selama 40-an hari dengan rute Singapura-Mauritius-Cape Town dan membelah Samudera Atlantik, kapal yang ditumpanginya pun mendarat di Rio de Janeiro.
Tapi di Brasilia yang jauh dari pantai ternyata belum ada apa-apa dan tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Akhirnya Chen memutuskan untuk mencari pekerjaaan di Sao Paulo yang lebih ramai.
Karena sama sekali tidak bisa berbahasa Portugis, Chen tidak bisa langsung bekerja dan untuk sementara bekerja bersama temannya yang sudah lebih dulu tiba di Brasil, yaitu memelihara ayam di luar kota.
"Bekerja memelihara ayam kan tidak perlu banyak bicara dan lebih banyak di kebun," katanya sambil tertawa.
Setelah bertahan selama sekitar empat tahun bekerja di luar kota di peternakan ayam temannya, Chen pun pindah ke kota Sao Paulo, kali ini menjual telor.
Pada 1973, Chen pun menikah. Tapi karena kehidupan yang selalu naik turun di Sao Paulo, mereka pun kemudian memutuskan untuk pindah ke Brasilia, ibukota Brasil. Disana mereka tetap menekuni usaha ayam potong.
Bekerja tanpa sehari pun libur dari 1973 sampai 1980 bersama sang istri, Chen pun mampu membeli tanah dan membuka toko sendiri.
Buka Restoran
Secara perlahan namun pasti, kerja keras mereka berdua pun menampakkan hasil dan peluang untuk menambah usaha pun semakin terbuka.
Pada 1995, Chen membeli sebidang tanah seluas 300m persegi untuk membangun restoran yang diberi nama "Restaurante Bali" yang terletak tidak jauh dari KBRI di wilayah Asa Sul, selatan Brasilia.
Di restoran itulah, Chen siang itu menerima kedatangan Duta Besar RI untuk Brasil Sudaryomo Hartosudarmo serta beberapa orang wartawan dari Indonesia, termasuk Antara.
"Saya memilih nama Restoran Bali bukan karena menyediakan makanan khas Bali, tapi karena Bali memang lebih dikenal di sini," kata Chen yang bersama seluruh keluarganya sudah jadi warga negara Brasil.
Sebagian besar menu hidangan adalah masakan Tiongkok dan diselilingi oleh makanan khas Indonesia seperti gado-gado, nasi goreng, bakmi dan rendang, tapi dengan rasa yang sudah disesuaikan dengan selera warga lokal.
Di restoran yang dihiasi berbagai lukisan pemandangan alam di Bali seperti Tanah Lot dan Ubud, sekitar 50 lebih tamu sudah memenuhi meja untuk santap siang.
Jika sebelumnya Chen bekerja dengan orang lain, sekarang ia sudah menjadi majikan dan bahkan memperkerjakan warga lokal, meski tidak banyak.
"Saya punya empat orang pegawai lokal selain dibantu oleh anak dan istri. Tidak kuat kalau harus memperkerjakan banyak pegawai disini," katanya.
Brasil memang dikenal sebagai negara yang dengan ketat memberlakukan aturan penggajian dengan upah minimum sekitar 700 real (Rp3,5 juta).
"Paman saya yang punya usaha di Singapura selalu mengingatkan, kalau di Brasil jangan bekerja sama orang, tapi harus bekerja sendiri. Kata-kata itu selalu saya ingat," kata Chen baru sekali pulang ke Indonesia, yaitu pada 2005.
Sekarang, Chen sudah menikmati hasil kerja kerasnya meski diraih setelah puluhan tahun. Selain memiliki restoran dan juga toko yang disewakan, ia juga sudah memiliki beberapa aparteman di ibukota Brasil itu.
Dubes Indonesia Sudaryomo Hartosudarmo yang merupakan salah satu pelanggan setia restoran itu mengatakan bahwa Chen adalah contoh seorang pekerja keras dan berani, demi untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
"Intinya, semua keberhasilan itu harus diraih dengan kerja keras dan kemauan kuat. Orang Indonesia yang merantau kesini umumnya sukses," kata Sudaryomo.
(a032/D011/skd)