Banda Aceh (ANTARA) - Sejumlah negara boleh dikatakan telah merdeka melawan pandemi COVID-19 sehingga aktivitas masyarakatnya berjalan seperti biasa, tidak lagi memakai masker maupun menjaga jarak layaknya kewajiban protokol kesehatan saat pandemi.

Beberapa negara yang telah dinyatakan terbebas dari penyebaran virus itu seperti Selandia Baru, Australia dan bahkan China  negara asal virus yang telah merenggut jutaan jiwa penduduk dunia itu.

Kondisi itu berbeda di Indonesia yang masih bergelut melawan pandemi. Saban hari kasus baru terkonfirmasi positif kian bertambah, bahkan mencapai penambahan lebih 21 ribu orang dalam sehari.

Peningkatan paling besar terjadi di ibukota Jakarta dan beberapa kota-kota besar lain, termasuk Aceh.

Untuk Aceh, dalam laporan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Provinsi Aceh, rata-rata penambahan kasus harian mencapai 100 orang lebih, begitu juga dengan pasien yang meninggal dunia hingga belasan orang.

Secara umum, kasus COVID-19 daerah berjulukan Tanah Rencong itu mulai melonjak drastis setelah Lebaran Idul Fitri 1442 Hijriah, dan peningkatan itu bertahan hingga sekarang.

Hal itu dipicu karena masyarakat tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan (prokes) dalam mencegah penularan, seperti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas.

Sejumlah kebijakan telah dikeluarkan pemerintah guna membendung laju penularan virus, mulai dari memperketat pemeriksaan perbatasan Aceh-Sumatera Utara, pengurangan 50 persen penumpang transportasi umum darat maupun laut, meniadakan sekolah tatap muka serta kini mulai menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro.

Hingga Selasa (29/6), secara akumulatif kasus COVID-19 di Tanah Rencong itu telah mencapai 19.143 orang, di antaranya 14.508 orang telah dinyatakan sembuh, 796 orang telah meninggal dunia dan 3.839 orang masih dalam perawatan medis atau isolasi mandiri.

“Sepanjang pandemi COVID-19 di Aceh mulai akhir Maret 2020 lalu, kasus harian selalu berfluktuasi dan tidak bisa dijadikan indikator aman,” kata Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Aceh Saifullah Abdulgani di Banda Aceh, Selasa (29/6).

Kini, dari 23 kabupaten/kota di Tanah Rencong itu, hanya Aceh Tengah berstatus zona merah atau risiko tinggi berdasarkan analisis data pandemi Satgas Penanganan COVID-19 nasional terbaru.

“Zona merah diklasifikasikan sebagai zona risiko tinggi peningkatan kasus COVID-19, dan Aceh Tengah satu-satunya kabupaten zona merah di Aceh saat ini,” katanya.

Peta zonasi risiko COVID-19 tergantung dinamika epidemiologis, surveilans kesehatan masyarakat dan dinamika pelayanan kesehatan suatu daerah. Tim pakar Satgas COVID-19 nasional hanya melakukan pembobotan dan perhitungan berdasarkan data kasus positif COVID-19, pemeriksaan laboratorium dan kapasitas pelayanan rumah sakit setiap pekannya.

“Zonasi itu bisa berubah setiap pekan dan tergantung pada dinamika perkembangan penanganan pandemi COVID-19 di suatu daerah,” ujarnya.

Selain zona merah, terdapat lima daerah zona kuning atau risiko rendah penularan corona, yakni Aceh Timur, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Simeulue dan Subulussalam, sedangkan 17 kabupaten/kota merupakan zona oranye atau risiko sedang.

“Baik zona kuning maupun oranye bukan zona yang aman, karena itu perlu kerja keras semua pihak untuk meraih zona hijau atau zona aman risiko COVID-19, dalam waktu dekat,” katanya, berharap.
  Sejumlah pengunjung berada di kawasan pusat perbelanjaan Pasar Aceh, Banda Aceh, Aceh, Selasa (29/6/2021). (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

Optimalkan PPKM Mikro

Pemerintah Aceh terus berupaya menekan penularan virus di tengah masyarakat guna mencapai zona hijau. Bahkan, Gubernur Aceh Nova Iriansyah telah memperpanjang (PPKM) skala mikro guna mencegah pengendalian kasus COVID-19.

Kebijakan itu tertuang dalam instruksi gubernur (Ingub) Aceh nomor 11/INSTR/2021/tentang perpanjangan PPKM berbasis mikro dan mengoptimalkan posko penanganan COVID-19 di tingkat gampong atau desa untuk pengendalian penyebaran virus corona, yang dikeluarkan pada Selasa (22/6) lalu.

Ingub Aceh tentang PPKM skala mikro sudah beberapa kali diperpanjang seiring peningkatan kasus. Ingub itu merupakan tindak lanjut dari instruksi Mendagri No.14/2021 tentang perpanjangan PPKM berbasis mikro dan mengoptimalkan posko penanganan COVID-19 tingkat desa dan kelurahan untuk pengendalian penyebaran virus corona.

“Instruksi gubernur ini ditujukan kepada bupati dan walikota serta kepala satuan kerja perangkat Aceh (SKPA). Tujuannya agar bupati dan walikota mengatur PPKM berbasis mikro sampai ke tingkat gampong yang berpotensi menimbulkan penularan COVID-19,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh Muhammad Iswanto.

Dalam penerapan PPKM skala mikro itu, pemerintah terus berupaya menemukan kasus-kasus baru dan meningkatkan pelacakan dan pemeriksaan bagi kontak erat, serta menutup tempat-tempat umum guna menghindari kerumunan, kecuali sektor esensial.

Selanjutnya, bagi ASN dan tenaga kontrak yang memiliki gejala ISPA juga tidak diperbolehkan masuk kantor dan harus menjalani isolasi mandiri. ASN juga tidak diperbolehkan menerima kunjungan tamu pemerintah dari luar daerah, kecuali kondisi mendesak dengan syarat.

Proses pembelajaran juga diutamakan dengan sistem daring (online). Namun, apabila melaksanakan belajar mengajar tatap muka maka harus menerapkan pembagian sistem belajar dua hingga empat sif.

Untuk dayah atau pesantren, pemerintah turut melakukan pembatasan kunjungan orang tua santri, sekaligus pemeriksaan suhu tubuh secara berkala bagi warga dayah dan membentuk tim pengawas prokes.

Kemudian, PPKM berbasis mikro ini juga mewajibkan pengetatan mobilitas orang di perbatasan provinsi dan kabupaten/kota. Membatasi jam operasi Transkutaradja hingga pukul 20.00 WIB serta kapasitas penumpang angkutan umum dibatasi 50 persen.

Sementara pada bidang perindustrian dan perdagangan diminta untuk memfasilitasi penerapan protokol kesehatan COVID-19 yang lebih ketat di tempat usaha dan membatasi jam operasional untuk warung kopi atau cafe, swalayan, pusat perbelanjaan atau mall dan sejenisnya sampai pukul 22.00 WIB.

Saifullah mengatakan dalam upaya mengefektifkan penerapan PPKM skala mikro, pemerintah kabupaten/kota juga dapat memanfaatkan sumberdaya gampong secara optimal. Apalagi memungkinkan 8 persen dari Dana Desa dialokasikan untuk penanganan COVID-19.

“Penggunaan dana Desa itu dimungkinkan karena ada regulasi yang memayunginya. Tapi masalah kita sekarang tingkat kesadaran masyarakat di desa yang belum meyakini COVID-19 ini fakta dan menular cepat, dan kita masih menghadapi tantangan vaksinasi,” katanya.


 

3T dan vaksinasi

Saifullah menyatakan Satgas Penanganan COVID-19 kabupaten/kota juga gencar melakukan pemeriksaan (testing), pelacakan (tracing) dan pengobatan (treatment) atau disebut 3T dalam penanggulangan pandemi COVID-19.

Misalnya, setiap orang berasal dari daerah penularan akan dilakukan uji sampel usap (swab) antigen. Apabila hasilnya reaktif maka akan dilanjutkan dengan tes usap (swab) PCR untuk memastikan seseorang itu positif atau negatif COVID-19.

“Kemudian dilakukan penelusuran bagi mereka yang kontak erat, dilakukan usapan juga, apabila positif maka mereka isolasi mandiri kalau tidak bergejala, tapi kalau bergejala maka dirawat di rumah sakit," kata Saifullah.

Pemerintah Aceh juga telah menetapkan kuota harian dari masing-masing kabupaten/kota untuk mengirim spesimen yang diduga COVID-19 guna diperiksa di laboratorium PCR provinsi, meliputi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainoel Abidin, Labkesda Aceh dan Balai Litbangkes Aceh.

Kuota harian pemeriksaan spesimen setiap kabupaten/kota bervariasi, mulai dari 15 spesimen per hari seperti Kota Subulussalam dengan status daerah risiko rendah hingga pemeriksaan 90 spesimen per hari seperti Banda Aceh dengan status risiko sedang dan wilayah ibukota.

Sasaran dari peningkatan pemeriksaan usap (swab) PCR spesimen dari kabupaten/kota itu merupakan spesimen mereka yang diduga terinfeksi COVID-19 serta orang-orang dari hasil pelacakan kontak erat dengan pasien infeksi.

“Ini tujuannya untuk memperoleh sedini mungkin kasus-kasus COVID-19 dalam masyarakat. Jadi kalau mereka yang terinfeksi itu maka tidak menularkan dan dapat memutuskan penularan,” katanya.

Kalau mereka terinfeksi maka segera dilakukan treatment di rumah sakit kalau bergejala dan memiliki penyakit penyerta atau komorbid, kalau tidak bergejala mereka hanya isolasi mandiri di bawah pengawasan ketat petugas kesehatan, katanya lagi.

Sebab itu, Saifullah meminta agar seluruh aparatur dan masyarakat gampong proaktif dalam menyukseskan proses testing dan penelusuran kontak erat COVID-19 agar tidak ada penolakan apapun di tengah masyarakat.

Di samping itu, Pemerintah Aceh terus melakukan vaksinasi COVID-19 bagi tenaga kesehatan, petugas pelayanan publik, lanjut usia dan kelompok rentan lainnya, guna mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) dari ancaman corona.

“Bila herd imunity tercapai, penyebaran virus corona akan berhenti dan pandemi COVID-19 pun akan berakhir,” katanya.

Hingga Senin (28/6), capaian vaksinasi bagi tenaga kesehatan Aceh telah mencapai 50.593 orang penerima dosis pertama dari sasaran 56.470 orang, dan penerima vaksinasi dosis kedua sebanyak 44.259 orang.

Untuk petugas pelayanan publik yang telah mendapatkan vaksin dosis pertama mencapai 303.205 orang dari target 478.489 orang, dan penerima vaksin dosis kedua sudah mencapai 77.491 orang.

Sedangkan kelompok lansia yang sudah menerima vaksin dosis pertama 11.521 orang dari target 435.651 orang, dan penerima vaksin dosis kedua capai 2.500 orang.

Semua pihak harus mendorong percepatan vaksinasi COVID-19 supaya target herd immunity tercapai sesuai target program vaksinasi nasional.*
 

Pewarta : Khalis Surry
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024