Palu, (antarasulteng.com) - Riwayat Santoso alias Abu Wardah, pemimpin kelompok sipil bersenjata yang melakukan sejumlah teror di Poso, Sulawesi Tengah, tamat, setelah sejumlah peluru menembus tubuhnya pada kontak senjata dengan personel Satgas Operasi Tinombala, Senin (18/7) petang.
"Dari hasil pemeriksaan identifikasi luar, saya selaku kepala operasi menyatakan bahwa hasil kontak tembak kemarin, salah satu korbannya adalah DPO gembong teroris Santoso. Sekarang tinggal menunggu hasil tes DNA saja," kata Kepala Satgas Operasi Tinombala Kombes Pol Leo Bona Lubis kepada wartawan di Palu, Selasa.
Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber di lingkungan Satgas Operasi Tinombala menyebutkan pada Senin sekitr pukul 16.00 WITA, kelompok personel satgas dengan sandi Alfa-29 yang beranggotakan sembilan orang prajurit Yonis Brigif 9 Divisi 2 Kostrad sedang melaksanakan patroli di sebuah pegunungan sekitar Desa Tambarana yang cukup jauh dari desa.
Tim itu menemukan sebuah gubuk dan melihat beberapa orang tidak dikenal sedang mengambil sayur dan ubi untuk menutup jejak. Mereka juga menemukan jejak di sungai dan terlihat tiga orang di sebelah sungai namun langsung menghilang.
Tim satgas ini kemudian berupaya mendekati orang-orang tak dikenal (OTK) itu dengan senyap. Setelah berada dalam jarak sekitar 30 meter, mereka kemudian terlibat kontak senjata dengan lima OTK selama sekitar 30 menit. Setelah dilakukan penyisiran usai baku tembak, ditemukan dua jenazah dan sepucuk senjata api laras panjang sedang tiga OTK lainnya, dua di antaranya perempuan, berhasil melarikan diri.
Kedua jenazah tersebut kemudian dievakuasi pada Selasa pagi ke Mapolsek Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara. Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI Agus Surya Bhakti, Danrem 132/Tadulako Kol Inf Saleh Mustafa dan Kepala Satgas Operasi Tinombala Kombes Pol Leo Bona Lubis telah menunggu di Mapolsek tersebut.
Hanya beberapa menit di Mapolsek Tambarana, jenazah kedua buronan dalam kasus terorisme itu diterbangkan dengan sbeuah helikopter menuju Bandara Mutiara Palu.
Sekitar pukul 13.30 Wita, mobil ambulans yang membawa kedua jenazah itu masuk RSU Bhayangkara Palu, dimana sejumlah personel DVI (disaster victims identification) Mabes Polri telah menunggu untuk melakukan identifikasi mendalam, termasuk pemeriksaan DNA.
Komandan Satgas Operasi Tinombala Leo Bona Lubis yang didampingi Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI Agus Surya Bhakti Aparat akhirnya menjawab pertanyaan yang menggelantung di benak wartawan sejak Senin malam apakah benar korban tembak itu adalah Santoso, gembong teroris yang paling dicari aparat keamanan Indonesia selama ini.
"Dari hasil pemeriksaan identifikasi luar, saya selaku kepala operasi menyatakan bahwa hasil kontak tembak kemarin, salah satu korbannya adalah DPO Santoso," kata Leo yang disambut kata `alhamdulillah` oleh puluhan wartawan.
Selain itu pihaknya juga menyita barang bukti berupa satu pucuk senjata jenis M16, empat buah magazine, telepon genggam merek samsung, empat buah kartu telepon, dan sejumlah alat masak, pakaian dan tenda.
Sekilas mengenai Santoso
Mantan Kepala BNPT Ansya`ad Mbai pernah mengatakan bahwa Santoso yang lulusan SMP di Tentena, Poso, itu menjadi pria yang paling diburu sejak 2007 seteah terlibat dalam berbagai aksi teror pascakerusuhan horizontal di Poso.
Dia dituding sebagai otak pembunuhan dan mutilasi terhadap tiga siswi SMK di Poso, disusul kasus pembunuhan terhadap sejumlah polisi yang dikuburkan dalam satu lubang.
Pria ini juga pernah dihukum dalam kasus pemilikan senjata api oleh PN Palu sekitar tahun 2008.
Kini, sudah hampir satu dekade dia bergerilya menghadapi polisi dan TNI.
Santoso merupakan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dibaiat secara langsung oleh Abu Bakar Baasyir, laiknya Jemaah Anshorut Tauhid (JAT). Setelah itu, dia mulai memperkenalkan dirinya dengan membuat video dan menyebarkannya melalui jejaring sosial.
Pada 2015, Polda Sulteng kemudian mengetahui bahwa Santoso dengan sekitar 40 pengikutnya yang bersembunyi di hutan-hutan Poso pesisir telah berbaiat dengan ISIS, sehingga kelompok ini semakin membahayakan bagi masyarakat dan NKRI.
Perjalanan teror Santoso, menurut Mbai, bermula pada tahun 2009 ketika Noordin M Top tertangkap pascapeledakan bom Marriott dua. Kejadian itu membuat Jamaah Islamiah dan JAT lumpuh, hingga tersebar dalam kelompok-kelompok kecil seperti jamur.
Akhir 2009, tokoh-tokoh utama teroris itu yang dipenjara mulai dibebaskan, salah satunya Abu Bakar Baasyir dan Mustofa dan yang lain-lain. Sedangkan di Filipina ada Dul Matin serta Umar Patek.
"Akhirnya mereka sepakat bagaimana mereunifikasi gerakan ini, artinya mengumpulkan dana segala macam dan di situ lah Abu Bakar Baasyir kena mendanai itu. Ada bukti hukumnya. Dia ada keterkaitan dengan pelatihan di Jantho Aceh, pelatihnya adalah Mustofa dan pendanaannya adalah Abu Bakar Baasyir dari berbagai sumber," ungkap Mbai beberapa waktu lalu.
Sayangnya, upaya polisi untuk menghentikan teror tersebut tak sepenuhnya berhasil, sebab ada beberapa orang yang berhasil lolos. Dari mereka, ada yang terlibat dalam kasus perampokan CIMB Medan, serta pembantaian di Polsek Hamparan Perak. Hingga tumbuhnya sel terorisme di Klaten, Jawa Tengah. Rangkaian perampokan dan pembunuhan tersebut disimpan dan digunakan sebagai dana pelatihan calon anggota baru, tempat yang dipilih adalah Poso.
Operasi Khusus Memburu Santoso
Melihat ancaman yang cukup membahayakan masyarakat dan NKRI, pemerintah Indonesia melalui Polri kemudian menggelar operasi khusus perburuan Santoso dan para pengikutnya dengan sandi `Operasi Camar Maleo` pada 2015 yang melibatkan personel Polri dan kesatuan-kesatuan elite seperti Densus 88 Anti Teror dan Brimob.
Operasi ini berlangsung empat tahap yakni Camar Maleo I sampai IV, yang setiap tahapnya berjalan tiga bulan.
Di penghujung Operasi Camar Maleo I pada Maret 2015, TNI menggelar latihan khusus Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) yang melibatkan sekitar 3.500 personel TNI dari tiga angkatan, berlangsung selama 10 hari.
Operasi ini tidak menyasar penangkapan Santoso sebagai target akhir, tetapi sangat membantu dalam memporak-porandakan markas-markas Santoso di dalam hutan dan menemukan jejak-jejak persembunyian dan tempat-tempat latihan militer mereka.
Hingga akhir 2015, Operasi Camar Maleo I sampai IV gagal menangkap Santoso, namun berhasil meringkus satu persatu anggota Santoso dalam keadaan hidup dan mati serta mempersempit ruang gerak mereka.
Operasi perburuan Santoso tak berhenti. Pada 2016, operasi dilanjutkan dengan sandi Tinombala. Personelnya juga melibatkan secara langsung anggota TNI, khususnya satuan-satuan elite di lingkungan TNI Angkatan Darat.
Sebanyak 2.500 personel Polri dan TNI dikerahkan dalam operasi yang berlangsung sejak 9 Januari 2016 itu. Operasi ini berjalan semakin taktis dan efektif sehingga kelompok Santoso berhasil dipecah-belah dan menjadi tidak kompak. Suplai logistik mereka ditutup sehingga mereka mengalami kelaparan dan menutup akses masuknya penyusup baru untuk bergabung dengan kelompok ini.
Akhirnya, satu persatu anggota kelompok Santoso ini diringkus, ada yang tewas dalam kontak senjata ada pula yang ditangkap hidup-hidup bahkan ada yang menyerahkan diri.
"Setelah Santoso dan Mochtar tewas kemarin, saat ini kelompok pimpinan Santoso ini tinggal 19 orang," kata Leo Bona Lubis.
Namun meski Santoso sudah tewas, masih ada pentolan kelompok ini yakni Ali Kalora yang diperkirakan masih bisa memimpin anggota-anggotanya untuk bertahan di hutan.
Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola dan Kapolda Sulteng Brigjen Pol Rudy Sufahriasi telah mengimbau kelompok Santoso untuk menyerahkan diri dan kedua pejabat ini menjamin tidak akan ada penyiksaan serta akan melindungi keluarga mereka.
Gubernur Sulteng memberikan apresiasi yang tinggi kepada Polri dan TNI yang akhirnya berhasil mengakhiri riwayat hidup Santoso namun berharap Operasi Tinombala tidak langsung dibubarkan karena Santoso sudah diringkus, sebab operasi ini diharapkan akan menarik sisa-sisa anggota kelompok Santoso untuk turun gunung dan kembali ke masyarakat.
Gubernur juga menyampaikan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah merespon aspirasi masyarakat Sulawesi Tengah dengan memerintahkan Polri dan TNI untuk menuntaskan masalah terorisme yang didalangi Santoso di Poso.
"Terima kasih kepada Presiden, Panglima TNI dan Kapolri serta semua pihak yang terlibat dalam operasi penumpasan Santoso dan juga terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah terlibat membantu operasi ini," ujarnya.
"Dari hasil pemeriksaan identifikasi luar, saya selaku kepala operasi menyatakan bahwa hasil kontak tembak kemarin, salah satu korbannya adalah DPO gembong teroris Santoso. Sekarang tinggal menunggu hasil tes DNA saja," kata Kepala Satgas Operasi Tinombala Kombes Pol Leo Bona Lubis kepada wartawan di Palu, Selasa.
Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber di lingkungan Satgas Operasi Tinombala menyebutkan pada Senin sekitr pukul 16.00 WITA, kelompok personel satgas dengan sandi Alfa-29 yang beranggotakan sembilan orang prajurit Yonis Brigif 9 Divisi 2 Kostrad sedang melaksanakan patroli di sebuah pegunungan sekitar Desa Tambarana yang cukup jauh dari desa.
Tim itu menemukan sebuah gubuk dan melihat beberapa orang tidak dikenal sedang mengambil sayur dan ubi untuk menutup jejak. Mereka juga menemukan jejak di sungai dan terlihat tiga orang di sebelah sungai namun langsung menghilang.
Tim satgas ini kemudian berupaya mendekati orang-orang tak dikenal (OTK) itu dengan senyap. Setelah berada dalam jarak sekitar 30 meter, mereka kemudian terlibat kontak senjata dengan lima OTK selama sekitar 30 menit. Setelah dilakukan penyisiran usai baku tembak, ditemukan dua jenazah dan sepucuk senjata api laras panjang sedang tiga OTK lainnya, dua di antaranya perempuan, berhasil melarikan diri.
Kedua jenazah tersebut kemudian dievakuasi pada Selasa pagi ke Mapolsek Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara. Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI Agus Surya Bhakti, Danrem 132/Tadulako Kol Inf Saleh Mustafa dan Kepala Satgas Operasi Tinombala Kombes Pol Leo Bona Lubis telah menunggu di Mapolsek tersebut.
Hanya beberapa menit di Mapolsek Tambarana, jenazah kedua buronan dalam kasus terorisme itu diterbangkan dengan sbeuah helikopter menuju Bandara Mutiara Palu.
Sekitar pukul 13.30 Wita, mobil ambulans yang membawa kedua jenazah itu masuk RSU Bhayangkara Palu, dimana sejumlah personel DVI (disaster victims identification) Mabes Polri telah menunggu untuk melakukan identifikasi mendalam, termasuk pemeriksaan DNA.
Komandan Satgas Operasi Tinombala Leo Bona Lubis yang didampingi Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI Agus Surya Bhakti Aparat akhirnya menjawab pertanyaan yang menggelantung di benak wartawan sejak Senin malam apakah benar korban tembak itu adalah Santoso, gembong teroris yang paling dicari aparat keamanan Indonesia selama ini.
"Dari hasil pemeriksaan identifikasi luar, saya selaku kepala operasi menyatakan bahwa hasil kontak tembak kemarin, salah satu korbannya adalah DPO Santoso," kata Leo yang disambut kata `alhamdulillah` oleh puluhan wartawan.
Selain itu pihaknya juga menyita barang bukti berupa satu pucuk senjata jenis M16, empat buah magazine, telepon genggam merek samsung, empat buah kartu telepon, dan sejumlah alat masak, pakaian dan tenda.
Sekilas mengenai Santoso
Mantan Kepala BNPT Ansya`ad Mbai pernah mengatakan bahwa Santoso yang lulusan SMP di Tentena, Poso, itu menjadi pria yang paling diburu sejak 2007 seteah terlibat dalam berbagai aksi teror pascakerusuhan horizontal di Poso.
Dia dituding sebagai otak pembunuhan dan mutilasi terhadap tiga siswi SMK di Poso, disusul kasus pembunuhan terhadap sejumlah polisi yang dikuburkan dalam satu lubang.
Pria ini juga pernah dihukum dalam kasus pemilikan senjata api oleh PN Palu sekitar tahun 2008.
Kini, sudah hampir satu dekade dia bergerilya menghadapi polisi dan TNI.
Santoso merupakan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dibaiat secara langsung oleh Abu Bakar Baasyir, laiknya Jemaah Anshorut Tauhid (JAT). Setelah itu, dia mulai memperkenalkan dirinya dengan membuat video dan menyebarkannya melalui jejaring sosial.
Pada 2015, Polda Sulteng kemudian mengetahui bahwa Santoso dengan sekitar 40 pengikutnya yang bersembunyi di hutan-hutan Poso pesisir telah berbaiat dengan ISIS, sehingga kelompok ini semakin membahayakan bagi masyarakat dan NKRI.
Perjalanan teror Santoso, menurut Mbai, bermula pada tahun 2009 ketika Noordin M Top tertangkap pascapeledakan bom Marriott dua. Kejadian itu membuat Jamaah Islamiah dan JAT lumpuh, hingga tersebar dalam kelompok-kelompok kecil seperti jamur.
Akhir 2009, tokoh-tokoh utama teroris itu yang dipenjara mulai dibebaskan, salah satunya Abu Bakar Baasyir dan Mustofa dan yang lain-lain. Sedangkan di Filipina ada Dul Matin serta Umar Patek.
"Akhirnya mereka sepakat bagaimana mereunifikasi gerakan ini, artinya mengumpulkan dana segala macam dan di situ lah Abu Bakar Baasyir kena mendanai itu. Ada bukti hukumnya. Dia ada keterkaitan dengan pelatihan di Jantho Aceh, pelatihnya adalah Mustofa dan pendanaannya adalah Abu Bakar Baasyir dari berbagai sumber," ungkap Mbai beberapa waktu lalu.
Sayangnya, upaya polisi untuk menghentikan teror tersebut tak sepenuhnya berhasil, sebab ada beberapa orang yang berhasil lolos. Dari mereka, ada yang terlibat dalam kasus perampokan CIMB Medan, serta pembantaian di Polsek Hamparan Perak. Hingga tumbuhnya sel terorisme di Klaten, Jawa Tengah. Rangkaian perampokan dan pembunuhan tersebut disimpan dan digunakan sebagai dana pelatihan calon anggota baru, tempat yang dipilih adalah Poso.
Operasi Khusus Memburu Santoso
Melihat ancaman yang cukup membahayakan masyarakat dan NKRI, pemerintah Indonesia melalui Polri kemudian menggelar operasi khusus perburuan Santoso dan para pengikutnya dengan sandi `Operasi Camar Maleo` pada 2015 yang melibatkan personel Polri dan kesatuan-kesatuan elite seperti Densus 88 Anti Teror dan Brimob.
Operasi ini berlangsung empat tahap yakni Camar Maleo I sampai IV, yang setiap tahapnya berjalan tiga bulan.
Di penghujung Operasi Camar Maleo I pada Maret 2015, TNI menggelar latihan khusus Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) yang melibatkan sekitar 3.500 personel TNI dari tiga angkatan, berlangsung selama 10 hari.
Operasi ini tidak menyasar penangkapan Santoso sebagai target akhir, tetapi sangat membantu dalam memporak-porandakan markas-markas Santoso di dalam hutan dan menemukan jejak-jejak persembunyian dan tempat-tempat latihan militer mereka.
Hingga akhir 2015, Operasi Camar Maleo I sampai IV gagal menangkap Santoso, namun berhasil meringkus satu persatu anggota Santoso dalam keadaan hidup dan mati serta mempersempit ruang gerak mereka.
Operasi perburuan Santoso tak berhenti. Pada 2016, operasi dilanjutkan dengan sandi Tinombala. Personelnya juga melibatkan secara langsung anggota TNI, khususnya satuan-satuan elite di lingkungan TNI Angkatan Darat.
Sebanyak 2.500 personel Polri dan TNI dikerahkan dalam operasi yang berlangsung sejak 9 Januari 2016 itu. Operasi ini berjalan semakin taktis dan efektif sehingga kelompok Santoso berhasil dipecah-belah dan menjadi tidak kompak. Suplai logistik mereka ditutup sehingga mereka mengalami kelaparan dan menutup akses masuknya penyusup baru untuk bergabung dengan kelompok ini.
Akhirnya, satu persatu anggota kelompok Santoso ini diringkus, ada yang tewas dalam kontak senjata ada pula yang ditangkap hidup-hidup bahkan ada yang menyerahkan diri.
"Setelah Santoso dan Mochtar tewas kemarin, saat ini kelompok pimpinan Santoso ini tinggal 19 orang," kata Leo Bona Lubis.
Namun meski Santoso sudah tewas, masih ada pentolan kelompok ini yakni Ali Kalora yang diperkirakan masih bisa memimpin anggota-anggotanya untuk bertahan di hutan.
Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola dan Kapolda Sulteng Brigjen Pol Rudy Sufahriasi telah mengimbau kelompok Santoso untuk menyerahkan diri dan kedua pejabat ini menjamin tidak akan ada penyiksaan serta akan melindungi keluarga mereka.
Gubernur Sulteng memberikan apresiasi yang tinggi kepada Polri dan TNI yang akhirnya berhasil mengakhiri riwayat hidup Santoso namun berharap Operasi Tinombala tidak langsung dibubarkan karena Santoso sudah diringkus, sebab operasi ini diharapkan akan menarik sisa-sisa anggota kelompok Santoso untuk turun gunung dan kembali ke masyarakat.
Gubernur juga menyampaikan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah merespon aspirasi masyarakat Sulawesi Tengah dengan memerintahkan Polri dan TNI untuk menuntaskan masalah terorisme yang didalangi Santoso di Poso.
"Terima kasih kepada Presiden, Panglima TNI dan Kapolri serta semua pihak yang terlibat dalam operasi penumpasan Santoso dan juga terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah terlibat membantu operasi ini," ujarnya.