Jakarta (antarasulteng.com) - "Aku bukan kamu" cenderung diucapkan seseorang ketika berebut pengakuan, pujian, penghargaan atau hadiah atas suatu jasa berkat dianggap telah melakukan sesuatu yang berguna untuk orang lain.

Sebaliknya, "Kamu, bukan Aku" cenderung diucapkan seseorang ketika ingin menghindari tuduhan telah berbuat kesalahan yang dapat berakibat hukuman, kerugian, kerusakan nama baik dan hilangnya masa depan.

"Aku, bukan Kamu" dan sebaliknya "Kamu, bukan Aku" terkait erat dengan ke"aku"an atau ego. Dalam pergaulan sehari-hari, "kau" atau "engkau" (kata ganti orang kedua tunggal) sering tertukar dengan "kamu atau kalian" (kamu sekalian atau kamu semuanya), yakni sebutan untuk kata ganti orang kedua jamak.

Ungkapan pertama untuk menonjolkan diri, ke"aku"an, di antara orang (-orang) lain. Yang kedua untuk menyelamatkan diri sendiri, menghindari risiko. Sering dipakai "kami" atau "kita" waktu menghadapi risiko. Alasannya, tanggung renteng. Namun, kata itu jarang keluar saat mau menerima hadiah. 

Ki Ageng Suryo Mentaram, tokoh spiritual dan filsuf Jawa, mengatakan, manusia itu sifat dasarnya memang mau menang sendiri. Ia menyebut ke"aku"an atau ego sebagai "Kromodongso", nama panggilan untuk laki-laki dari kelas bawah. Tentu, ego dimiliki setiap insan, termasuk perempuan.

"Aku, bukan kamu (engkau) bagi para pencari hakikat adalah berkait dengan "tauhid", keesaan Tuhan, dalam menjalankan tugas untuk kebaikan demi kepentingan orang banyak, bukan untuk diri sendiri. 

Orang Jawa bilang "sepi ing pamrih". Artinya, bebas dari kepentingan diri sendiri (keluarga dan kelompok), baik untuk pengakuan, pujian, penghargaan atau penghindaran dari sanksi hukuman. 


Tugas pemimpin

Alkisah dalam Perang Bharatayudha seperti diceritakan Ki Dhalang wayang kulit, Arjuna, kstaria utama dan sakti dari Pandhawa tiba-tiba jatuh lunglai, terkulai tanpa daya di atas kereta di medan perang Kurusetra ketika maju menghadapi pasukan Kurawa.

Kresna (Prabu Kresna), raja Dwarawati, kakak sepupu Arjuna yang bertindak sebagai kusir terkejut melihat kejadian yang memimpa Arjuna, sang senopati agung, lalu bertanya: "Ada apa, Dinda?"

Terbata-bata, jawab Arjuna: "Kakanda, saya tidak bernafsu lagi untuk berperang demi kekuasaan dan kejayaan, karena harus membunuh saudara-saudara sendiri, kakak sepupu, paman, pak dhe, kakek, eyang dan guru yang sangat saya hormati".

Kresna, yang terkenal bijaksana tiba-tiba menjadi bengong, "ndomblong" (nampak dungu) mendengar jawaban itu. Terpantik jawaban Arjuna, Kresna lalu menyampaikan ajaran dalam bentuk dialog, yang kemudian terkenal sebagai buku "Bhagawad Gita" atau "Nyanyian Begawan" (orang berilmu tunggi).

Karya Begawan (Resi) Viyasa, di Jawa disebut Wiyoso atau Abiyoso, itu berisi ajaran Vedanta (Hindu) tentang "kemanunggalan" Kawula Gusti (makhluk dan Khalik). Ajaran itu dianggap bersifat abadi, sudah ada sebelum manusia ada.

Kresna dikisahkan sebagai tajali (pengewajantahan) Tuhan bertindak sebagai guru dan Arjuna sebagai murid. Kedua orang itu dalam kehidupan se-hari-hari tidak pernah pisah karena punya minat yang sama untuk mencari kesempurnaan hidup dan mati.

Dalam bahasa pedhalangan, mereka berdua dilukiskan sebagai "pindha suruh, lumah lan kurepe, yen ginigit padha rasane"(seperti permukaan dan belakang sirih, jika digigit sama rasanya).

Kresna memulai ajarannya dengan mengomentari perubahan sikap Arjuna: "Sekalipun maksudnya sekilas baik, sikap itu mengingkari dharma (tugas) hidup seorang ksatria yang harus memerangi kejahatan demi menegakkan kebenaran dan keadilan". Dalam ajaran Islam, tugas itu dikenal sebagai "amar makruf, nahi munkar".

Kresna sebagai titisan Bathara Wisnu, dewa penjaga kebaikan, lalu "tiwikromo", berubah bentuk menjadi sebesar gunung dengan anggota tubuh seribu (atau lebih, tergantung dhalangnya). Arjuna takjub, bersimpuh menyaksikan pemandangan luar biasa yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Dalam bahasa Jawa itu disebut "tinarbuka", hilangnya hijab (tabir) untuk melihat pandangan gaib, menembus makrifatullah (rahasia Tuhan).

Lalu, Kresna bersabda: "Lihatlah seluruh isi jagad raya tergelar dalam wujudKu". Arjuna pun dalam pemandangan gaib itu melihat dirinya, istri, anak-anak, saudara-saudara, kerabat, teman-teman dan musuh-musuhnya terlibat dalam perang, saling membunuh. Ia tahu siapa membunuh atau terbunuh oleh siapa. Semua sudah ditakdirkan.

Untuk menghilangkan kebingungan muridnya, Kresna segera menjelaskan: "Aku, bukan kau yang membunuh, kau hanya sebagai pelaksana, lakukan tugasmu!" Arjuna pun bangkit, lenyap segala keraguan, maju berperang sebagai pelaksana tugas belaka.

Pandhawa adalah lambang kebaikan, sedang Kurawa simbol kejahatan atau angkara murka. 

"Sifat dur angkara ora bakal sirna yen orang bareng kang sinandangan" (Sifat angkara murka tidak akan sirna, jika tidak bersamaan dengan manusia yang menyandangnya)," kata Ki Narto Sabdo, seraya menambahkan penghancuran itu setelah berulang kali diingatkan secara baik-baik, tapi tanpa hasil.

Inti apa yang tertulis dalam Bhagawad Gita itu sama dengan bunyi ayat 17, Surat Al Anfaal, Al Quran (QS 8:17): "Maka sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah dan bukan engkau yang melempar, tetapi Allah".

Ksatria adalah pemimpin. Dalam mengambil keputusan dan mengeksekusinya, pemimpin harus bebas dari rasa bimbang, selama niatnya bersih untuk menegakkan kebenaran demi keadilan dan kesejahteraan orang banyak. Bukan untuk kepentingan pribadi. Semua diniatkan atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Risiko pasti ada. Keputusan yang diambil dapat menyenangkan dan menyusahkan orang lain, bahkan perlawanan. Hadapi! Pemimpin harus berjiwa pejuang (mujahid) atau "fighter" dan pembaru ("mujadid") atau "reformer", sekaligus pengambil resiko atau "risk taker".

Agar tidak mudah mengatasnamakan Allah, pemimpin perlu sering berolah pikir, berolah rasa dan berolah hati. Pemimpin perlu sering introspeksi (muhasabah), bertanya diri sendiri, di saat dan tempat yang hening, sepi dan nyaman. Tentu, olah raga teratur juga perlu agar badan sehat dan segar bugar.

Gerak-gerik ego atau "kromodongso" harus terus ditelisik, diawasi dan dikendalikan. Setan pandai menjelma dalam bentuk nafsu, menyelinap ke dalam pikiran, perasaan dan hati manusia. Semakin manusia berniat menyucikan hati, semakin besar godaan. Setan pun semakin canggih pula dalam penyamarannya.

Kalau setan sudah merasuki pikiran, orang cenderung mengatakan: "Ra popo (gak apa-apa), ini wajar, masuk akal". Jika sudah menguasai perasaan: "Gak papa, sudah biasa, banyak orang juga melakukannya." 

Jika sudah masuk ke hati, maka suara hati nurani pun dibujuk oleh nafsu yang berbalut doa: "Tolong Tuhan, Niat saya baik kok". He, he, he...Harap hati-hati. Ibarat kain putih bersih, jika ada noda hitam setitik pun akan gampang kelihatan. Karena itu, jangan gampang bersumpah "Demi Allah dan Rasul".

Penampilan orang yang di dalam dadanya sedang berkecamuk perang antara baik (suara hati) dan buruk (nafsu), selalu resah, gelisah, susah tidur, makan dan minum tidak enak. Kanjeng Nabi Muhammad Saw pernah bersabda: "Perang terbesar adalah mengalahkan hawa nafsu sendiri".


*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

(A015/A011)

Pewarta : Parni Hadi*
Editor : Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2024