JAKARTA (ANTARA) - Pancasila, yang digali dari akar budaya bangsa semestinya mampu mengantarkan masyarakat Indonesia pada peradaban tinggi. Suatu tatanan indah kehidupan yang bisa terealisasi bila Pancasila menjadi gaya hidup dalam perilaku keseharian. Ketika fakta belum mencerminkan peradaban itu, ke mana sesungguhnya nilai Pancasila ditempatkan?
Pemerintah dalam kurun waktu yang panjang, dari periode ke periode, secara konsisten mengupayakan program membumikan Pancasila dari level pejabat hingga masyarakat, baik melalui penataran hingga memasukkannya dalam kurikulum pendidikan.
Yang terkini, Pemerintah memiliki Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Kepada BPIP yang saat ini berusia balita (baru lima tahun) itu, Presiden Joko Widodo mengamatkan tugas untuk membumikan Pancasila dengan utamanya menyasar anak-anak muda di bawah 39 tahun yang memerlukan sebuah injeksi mengenai Pancasila dalam kehidupan keseharian.
Mengapa anak muda menjadi sasaran utama? Selain karena kelahiran mereka berjarak jauh dari masa perjuangan dan kemerdekaan ketika Pancasila sebagai falsafah bangsa dirumuskan, juga terjadinya disrupsi teknologi dan informasi yang dikhawatirkan menggerus nilai dan akar budaya bangsa.
BPIP RI terus menyegarkan ingatan dan semangat ber-Pancasila, salah satunya dalam momen Peringatan Harlah ke-78 Pancasila yang diperingati hari ini, 1 Juni 2023. Melalui surat edarannya, BPIP menetapkan tema, logo, serta pedoman upacara peringatan. Tema peringatan harlah Pancasila tahun ini adalah “Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global”.
Akhlak Pancasila
“Aku tidak mengatakan, bahwa aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam Bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.” Pernyataan itu diutarakan Bapak Proklamator Ir. Soekarno, demi mengonfirmasi bahwa Pancasila diracik dari nilai-nilai yang tumbuh di Nusantara.
Karena merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya sendiri, seharusnya Pancasila menjadi bagian tatanan hidup dan teraplikasikan dalam keseharian secara otomatis tanpa diperintah, diimbau atau didorong. Apalagi pendidikan Pancasila telah ditanamkan sejak SD sampai SMA, bahkan hingga perguruan tinggi.
Dengan memiliki falsafah hidup yang sedemikian indahnya, berupa lima butir mutiara penuh makna, menjadi mengherankan bila pola laku para anak bangsa tidak tercermin darinya. Kasus korupsi yang meningkatkan kesibukan KPK dalam menangkapi para pejabat koruptor, adalah satu dari contoh nyata bahwa nilai Pancasila tidak ada dalam kepala mereka. Bagaimana bisa mencuri uang rakyat terjadi dalam kegiatan pemerintah? Bahkan tanpa sedikit pun rasa malu, para pencuri itu selalu melambaikan tangan dengan senyum mengembang ketika kamera media menyorotnya.
Sementara itu dari kalangan anak-anak muda membentuk organisasi masyarakat (ormas) dengan menggunakan label Pancasila, namun perilaku para anggotanya di tengah masyarakat jauh dari ajaran Pancasila. Bukan menjadi tauladan, melainkan malah meresahkan dan mengganggu ketertiban masyarakat.
Pada bagian lain, rasa nasionalisme kaum milenial juga kerap ditanggalkan manakala banyak produk dan idola dari luar negeri masuk ke Tanah Air. Pemujaan berlebihan terhadap hal-hal berbau “impor” sungguh menyayat nilai nasionalisme dan menurunkan harga diri bangsa, suatu kondisi yang tentunya tidak diingini para pendiri NKRI.
Pancasila dan agama
Agama dan Pancasila adalah dua hal yang tidak perlu dipertentangkan, karena memang keduanya sama sekali tidak bertentangan, melainkan justru selaras. Cermatilah butir-butir pada sila Pancasila, adakah sedikit saja yang bertentangan dengan ajaran agama?
Bila ditelisik sejarah perumusan Pancasila, selain Soekarno dan Soepomo, serta Mohaman Yamin, ada juga keterlibatan ulama, yakni KH Abdul Wahid Hasyim, dalam menggodok butir-butir mutiara yang menjadi ideologi bangsa itu. Maka atas alasan apa, masih ada saja kseelompok orang yang ingin mengganti Pancasila, apalagi bila gerakan itu menggunakan alasan agama.
Dalam Islam, hukum bukan saja bersumber dari yang tertulis dalam kitab suci. Sebuah konsensus atau kesepakatan bersama juga menjadi hukum yang wajib ditaati oleh seluruh pihak terkait. Pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berikut ideologi Pancasila, berangkat dari sebuah konsensus yang di dalamnya terdapat sejumlah tokoh nasionalis, para ulama juga pemuka agama lain. Itulah mengapa kemudian NKRI dan Pancasila menjadi harga mati yang tidak boleh diotak-atik, karena merupakan buah dari konsensus para pendiri bangsa.
Dalam agama pun ada dalil yang memerintahkan untuk mencintai Tanah Air, juga taat pada ulama dan umara (pemerintah). Maka janganlah lagi memperalat agama untuk menghasut umat demi ambisi mendirikan negara berlabel agama.
Karena negara Islam, _seperti yang diangan-angankan sebagian orang_, sejatinya bukan tentang (sebatas) nama dan label, akan tetapi mengenai tatanan kehidupan yang Islami. Sejauh pemerintah masih melindungi dan memfasilitasi warga negaranya untuk beribadah dan menyelenggarakan kegiatan agama, maka agama tidak mengajarkan untuk melawan pemerintah, apalagi sampai melakukan aksi separatisme. Perjuangkanlah nilai dan kehakikian, bukan hanya soal label dan kemasan.
Gaya hidup
Pancasila telah 78 tahun kita miliki, pelajaran tentangnya kita peroleh sejak sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi. Nilai-nilai luhur yang mengatur tatanan hidup berbangsa dan bernegara semestinya telah melekat kuat di kepala, kemudian terotomatisasi dalam mewarnai pola laku sehari-hari di kehidupan sosial. Bila belum, mungkin ada yang perlu dikembangkan dalam metode pengajaran Pancasila.
Kepada para milenial, pendidikan Pancasila tentu perlu diajarkan dengan cara-cara kekinian, jauh dari kesan doktrin dan sebagai sebuah pelajaran hafalan semata. Berbagai inovasi dalam sosialisasi nilai-nilai Pancasila pun penting untuk dikembangkan agar terus relevan dengan zaman.
Terlepas dari itu, kabar baiknya adalah kian meningkatnya kesadaran generasi sekarang terhadap upaya perlindungan lingkungan alam, pelestarian warisan budaya, dan tingginya solidaritas sosial. Kesemua itu tanpa disadari merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila. Berikut beberapa contoh menggembirakan dari gaya hidup yang selaras dengan nilai mutiara Pancasila.
1. Peduli lingkungan. Lihatlah, betapa kesadaran akan perlindungan alam tengah marak di tengah masyarakat. Seperti pilihan transportasi sepeda yang ramah lingkungan demi mengurangi emisi, kampanye diet plastik, daur ulang sampah, penggunaan barang bekas untuk berbagai produk, kegiatan tanam pohon, bersih-bersih pantai, dan masih banyak lagi yang lainnya.
2. Pelestarian warisan budaya. Para perancang busana ternama Tanah Air tengah berlomba-lomba mengangkat wastra Nusantara menjadi bahan kreasi desain mereka. Tak sekadar berkarya, namun semangat untuk mengangkat khazanah budaya bangsa turut menyertainya. Selebihnya, berbagai festival berbasis budaya tradisional juga meriah di berbagai daerah.
3. Solidaritas sosial. Saat musibah atau bencana terjadi, sontak sikap gotong-royong masyarakat Indonesia langsung terlihat. Kesigapan para relawan, membeludaknya bantuan kemanusiaan, dan berlimpahnya donasi dari berbagai arah, mampu menghibur para korban yang sedang dirundung kemalangan. Kemuliaan hati warga masyarakat Indonesia memang diakui hingga ke luar negeri.
Pancasila, bukanlah pajangan, bukan pula bahan hafalan, butir-butir mutiara yang terkandung di dalamnya adalah referensi gaya hidup untuk mengantarkan Indonesia pada peradaban yang indah. Selamat Harlah Pancasila.