Jakarta (ANTARA) - Kerajaan Arab Saudi yang semula menjadi pelanggan tetap persenjataan, khususnya pesawat tempur buatan Amerika Serikat dan negara Barat lainnya, mulai melirik China.

Meskipun tidak terlibat secara masif dalam tiga kali perang besar bersama kubu negara-negara Arab melawan Israel pada Perang Kemerdekaan negara Yahudi itu (1948 – 1949), Perang Enam Hari (Juni 1967), dan Perang Yom Kippur (Oktober 1973), Saudi terus memupuk kekuatan militernya.

Institut Riset Perdamaian Int’l Stockholm (SIPRI) mencatat, dengan belanja militer 75 miliar dolar AS (sekitar Rp1.125 triliun) pada 2023, Saudi berada di ranking ke-5 di bawah AS (877 miliar dolar), China (292,2 miliar dolar), Rusia (86,4 miliar dolar), dan India (81,4 miliar dolar).

Sebagai perbandingan, anggaran militer Indonesia pada 2023 terutama untuk pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) berada di urutan ke-30 secara global sebesar 8,9 miliar dolar AS atau setara Rp134,3 triliun.

Menurut Global Firepower (GFP), meskipun besaran militer Saudi pada 2023 bertengger di ranking ke-22, jauh di bawah Indonesia yang berada di urutan ke-13, kecanggihan alutsistanya bukanlah kaleng-kaleng.

Matra udara Saudi mengoperasikan sekitar 800 pesawat, antara lain 281 unit pesawat tempur F-15 Eagle dari beberapa varian (buatan AS), 80 unit Tornado (buatan patungan Jerman, Inggris, dan Italia) dan 72 unit Eurofighter Thypoon (buatan konsorsium Eropa).

Selain itu, Angkatan Udara Saudi juga memiliki 47 helikopter serang AH-64D Apache dan 187 unit UH-60 Black Hawk, 40 unit helikopter ringan OH-58 Kiowa dan 48 unit heli angkut berat CH-47 Chinook.

Angkatan Darat Saudi antara lain didukung 442 unit tank tempur MIA2 Abrams, 660 unit M60A Patton dan 400 unit M2 Bradley (semua buatan AS), 250 unit AMX30-SA dan 293 unit AMP 10 (Prancis), sedangkan angkatan lautnya mengoperasikan tujuh fregat, empat korvet, 39 kapal patroli, dan tiga penyapu ranjau.

 

Pesawat tempur China

Mengutip lembaga riset pasar Tactical Report IDRW baru-baru ini, Saudi sedang menjajagi pembelian jet tempur generasi kelima J-31 Shenyang dan J-10C Chengdu buatan China.

J-31 bermesin ganda dan J-10 C bermesin tunggal adalah jenis jet tempur generasi ke-5 (G-5) dengan fitur siluman, berkecepatan 1.8 Mach, diincar Saudi untuk menggantikan skadron Tornado yang memasuki usia pensiun.

Jet tempur G-5 menggabungkan sejumlah teknologi mutakhir, mengaplikasikan sistem komunikasi, kontrol, dan komando (3K) terintegrasi dengan elemen lain (pesawat, pasukan di darat atau kapal perang), fitur avionik lebih canggih dan mampu meminimalisir endusan radar lawan (Low-Probability of Intercept Radar – LPIR).

Namun pengamat militer China, Song Zhongping menilai, Saudi dan China juga harus mempertimbangkan sanksi dari AS yang keberatan atas rencana tersebut, termasuk kemungkinan transaksi menggunakan mata uang Yuan.

Selain potensi sanksi oleh AS, pembelian pesawat China menuntut pelatihan bagi pilot dan teknisi di darat terkait maintenance, penguasaan hardware dan software yang berbeda dengan pesawat-pesawat buatan AS atau Barat yang dioperasikan sebelumnya.

Pesawat-pesawat China juga belum teruji dalam pertempuran sesungguhnya (combat proven) dibandingkan pesawat tempur F-15 Eagle atau Tornado yang sudah dioperasikan puluhan negara dan diterjunkan misalnya dalam Perang Teluk atau misi-misi penegakan zona larangan terbang (no-fly zone) seperti di Bosnia dan Libya.
Sementara itu, China berdasarkan laporan SIPRI, masuk deretan lima besar (AS, Rusia, Prancis, China, dan Jerman) negara pengekspor senjata global sepanjang 2018 -2022.

Kelima negara tersebut menyumbang 76 persen ekspor senjata global yang nilai totalnya mencapai 2,24 triliun dolar AS pada 2022 atau naik 3,7 persen dari 2021.

SIPRI juga mencatat, ekspor persenjataan China pada periode 2010 – 2020 mencapai 16,6 miliar dolar AS, antara lain untuk memasok ke Nigeria, Angola, Pakistan, Bangladesh, dan Myamar.

Di pasar Timur Tengah, Tactical Report melaporkan, China terus meningkatkan ekspornya tidak hanya ke Arab Saudi, tetapi juga ke Mesir dan Uni Emirat Arab mulai dari rudal antikapal dan rudal pertahanan udara, artileri, tank. dan kapal cepat peluncur rudal.

Saudi juga bukan pelanggan baru persenjataan China, yang tercermin dari laporan SIPRI sebelumnya yang mengungkap pembelian 50 rudal balistik darat ke permukaan “pembunuh kapal induk” Dong-Feng DF 21 dan sejumlah drone atau pesawat nirawak CH-4B dan Wing Loong.

Alasan Saudi membeli persenjataan dari China, antara lain sebagai program diversifikasi alutsista untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan Barat, selain teknologinya dianggap cukup canggih walau muncul kecurigaan AS, sebagian copy paste atau jiplakan.

Ketegangan relasi antara Saudi dan AS terkait kematian jurnalis Jamal Khashoggi yang ditengarai melibatkan kalangan Kerajaan Saudi pada 2018 dan protes AS terkait manuver Saudi terkait pagu produksi minyak OPEC juga mendorong Saudi berpaling ke China.

Selain itu, harga senjata China juga relatif lebih murah dari Barat, misalnya drone CH-4 dan Wing Loong dibandrol masing-masing satu dan dua juta dolar AS, jauh lebih murah dari Reaper atau Predator buatan AS (16 juta dan empat juta dolar AS).

Last but not least, tidak seperti AS dan Barat yang mempersyaratkan penjualan senjata atas persetujuan Kongres atau parlemen terutama terkait isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM), China tidak ikut cawe-cawe atau campur tangan urusan domestik negara calon pembeli senjata.

Nilai laba industri dan pialang persenjataan yang dijuluki merchant of death atau “pedagang maut” sangat menggiurkan, sehingga negara-negara berkemampuan hitech termasuk China berlomba-lomba meraup devisa sebanyak-banyaknya.

*) Penulis adalah mantan Wapemred LKBN ANTARA.


Pewarta : Nanang Sunarto*
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2024