Jakarta (ANTARA) - Ahli Gizi yang juga Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati menyatakan bahwa meningkatkan intervensi spesifik pada ibu menyusui dapat mencegah stunting dan menghasilkan generasi berkualitas.
“Pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) itu kan mencakup periode hamil, bayi, menyusui di usia 0-6 bulan, dan usia 6-24 bulan saat bayi sudah diberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI), fokus pemerintah masih kurang pada masa pemberian ASI, selama ini pemberian makanan tambahan masih fokus pada ibu hamil saja,” kata Sandra saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan data yang disampaikan Sandra, hampir 50 persen ibu hamil di Indonesia menderita kekurangan darah merah (anemia), dan sekitar 17-20 persen menderita Kurang Energi Kronis (KEK) yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi, sehingga berpengaruh pada produksi ASI.
“Kalau ibunya kurang gizi, tetapi dia masih harus memberikan ASI eksklusifnya, ini akan berbahaya untuk kesehatan ibu, dan anak bisa stunting, sehingga sang ibu pun harus dibantu memberikan makanan, utamanya protein hewani, karena pada saat menyusui asupan nutrisi harus cukup, tidurnya pun harus cukup,” paparnya.
Sandra menegaskan, program-program percepatan penurunan stunting yang dilakukan multipihak bisa berdampak positif apabila perhatian pada ibu menyusui terus ditingkatkan.
“Kalau anak stunting di masa itu (menyusui), apakah dia bisa mencerna dengan baik sesudahnya pada saat dia diberikan MPASI? Susah, kan? Inilah yang masih menjadi gap atau kekurangan di pemerintah,” ujar dia.
Menurut dia perlu intervensi pemberian protein hewani lebih banyak kepada ibu menyusui, juga melakukan edukasi terkait pentingnya pemberian susu sapi setelah anak berusia enam bulan.
“Selama ini aktivis ASI belum banyak memberikan edukasi pada ibu tentang pentingnya pemberian protein dari susu sapi untuk anak di atas enam bulan, padahal, konsumsi susu sapi di Indonesia itu rata-rata hanya 12 liter/kapita per tahun, sedangkan di negara maju sudah 230 liter/kapita per tahun,” ucap dia.
“Negara yang banyak minum susu, anaknya bisa lebih pintar, fisiknya bagus, kualitas hidupnya juga lebih baik, karena protein hewani bukan hanya telur, protein hewani itu bisa optimal kalau semua jenis bisa didapatkan, jadi ada telur, ikan, daging, susu, itu kalau semua mudah didapatkan, maka kualitas hidup kita akan meningkat,” tuturnya.
Sementara, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase bayi usia kurang dari enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurut provinsi pada tahun 2022 rata-rata masih di bawah 80 persen.
Provinsi Jawa Tengah menempati posisi tertinggi pemberian ASI eksklusif pada bayi usia kurang dari enam bulan yakni sebesar 78,71 persen, disusul DI Yogyakarta 77,16 persen, Jawa Barat 77 persen, dan Lampung 76,76 persen. Selain keempat provinsi tersebut, pemberian ASI eksklusif pada bayi usia kurang dari enam bulan masih di bawah 75 persen.
“Pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) itu kan mencakup periode hamil, bayi, menyusui di usia 0-6 bulan, dan usia 6-24 bulan saat bayi sudah diberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI), fokus pemerintah masih kurang pada masa pemberian ASI, selama ini pemberian makanan tambahan masih fokus pada ibu hamil saja,” kata Sandra saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan data yang disampaikan Sandra, hampir 50 persen ibu hamil di Indonesia menderita kekurangan darah merah (anemia), dan sekitar 17-20 persen menderita Kurang Energi Kronis (KEK) yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi, sehingga berpengaruh pada produksi ASI.
“Kalau ibunya kurang gizi, tetapi dia masih harus memberikan ASI eksklusifnya, ini akan berbahaya untuk kesehatan ibu, dan anak bisa stunting, sehingga sang ibu pun harus dibantu memberikan makanan, utamanya protein hewani, karena pada saat menyusui asupan nutrisi harus cukup, tidurnya pun harus cukup,” paparnya.
Sandra menegaskan, program-program percepatan penurunan stunting yang dilakukan multipihak bisa berdampak positif apabila perhatian pada ibu menyusui terus ditingkatkan.
“Kalau anak stunting di masa itu (menyusui), apakah dia bisa mencerna dengan baik sesudahnya pada saat dia diberikan MPASI? Susah, kan? Inilah yang masih menjadi gap atau kekurangan di pemerintah,” ujar dia.
Menurut dia perlu intervensi pemberian protein hewani lebih banyak kepada ibu menyusui, juga melakukan edukasi terkait pentingnya pemberian susu sapi setelah anak berusia enam bulan.
“Selama ini aktivis ASI belum banyak memberikan edukasi pada ibu tentang pentingnya pemberian protein dari susu sapi untuk anak di atas enam bulan, padahal, konsumsi susu sapi di Indonesia itu rata-rata hanya 12 liter/kapita per tahun, sedangkan di negara maju sudah 230 liter/kapita per tahun,” ucap dia.
“Negara yang banyak minum susu, anaknya bisa lebih pintar, fisiknya bagus, kualitas hidupnya juga lebih baik, karena protein hewani bukan hanya telur, protein hewani itu bisa optimal kalau semua jenis bisa didapatkan, jadi ada telur, ikan, daging, susu, itu kalau semua mudah didapatkan, maka kualitas hidup kita akan meningkat,” tuturnya.
Sementara, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase bayi usia kurang dari enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurut provinsi pada tahun 2022 rata-rata masih di bawah 80 persen.
Provinsi Jawa Tengah menempati posisi tertinggi pemberian ASI eksklusif pada bayi usia kurang dari enam bulan yakni sebesar 78,71 persen, disusul DI Yogyakarta 77,16 persen, Jawa Barat 77 persen, dan Lampung 76,76 persen. Selain keempat provinsi tersebut, pemberian ASI eksklusif pada bayi usia kurang dari enam bulan masih di bawah 75 persen.