Jakarta (ANTARA) - Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang sudah dikenal memiliki kekayaan sumber daya alam, khususnya rempah-rempah. Kekayaan rempah-rempah yang dimiliki Indonesia tersebut di antaranya cengkeh, pala, kemiri, dan lada.

Pada masa lampau, jalur perdagangan rempah di Nusantara tersebut kemudian dikenal dengan Jalur Rempah. Jalur ini bukan sekadar jalur perdagangan dengan rempah-rempah sebagai komoditas utamanya, tetapi juga mencakup budaya antarbangsa yang dibawanya.  

Indonesia  memiliki sejarah panjang dalam perdagangan internasional  yang melibatkan berbagai wilayah dan bangsa. Jalur Rempah di Nusantara, telah berabad-abad dilalui para pedagang dari berbagai belahan dunia.

Dari aktivitas ini kemudian perdagangan global terbentuk. Tak hanya kantong-kantong dagang, namun politik, sosial dan budaya juga ikut mewarnai perkembangan sebuah tatanan baru.

Jalur perdagangan hingga kini masih menjadi bagian krusial bagi pertumbuhan ekonomi, baik yang melalui jalan darat, laut maupun udara. Konektivitas memiliki peran strategis karena menghubungkan satu negara ke negara lainnya.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak jalur perdagangan. Salah satunya adalah jalan darat yang menghubungkan langsung dengan Malaysia, Brunei Darussalam dan Timor Leste untuk kawasan ASEAN serta Papua Nugini. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur yang menghubungkan antarnegara tersebut perlu dilakukan secara maksimal agar lebih memudahkan keterhubungan guna menunjang kegiatan perekonomian.

Jalur perbatasan di perbatasan itu di antaranya yang terdapat di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong yang berada di Jalan Lintas Malindo, Kabupaten Sangau, Kalimantan Barat. PLBN ini merupakan pos lintas batas pertama di Indonesia yang menghubungkan Indonesia dengan Sarawak, Malaysia. Pos ini  sudah beroperasi sejak Oktober 1989.

PLBN Entikong memiliki wajah baru sejak akhir  2016, karena tak sekadar sebagai pintu pelintasan antarnegara saja, tapi kawasan ini difungsikan pula sebagai lokasi kegiatan ekonomi yang diharapkan dapat memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Tak jauh dari pintu perbatasan, didirikan pasar modern dan tradisional yang menampung produk-produk asli Indonesia dan sebagai wadah untuk saling bertukar barang dagangan bersama warga Malaysia.

Kawasan PLBN yang dulunya hanya sebagai gerbang pelintasan, kini sudah berubah menjadi episentrum perekonomian masyarakat perbatasan.


Episentrum perekonomian

Kepala PLBN Entikong Viktorus Dunan mengatakan, sebagai jalur pelintasan, peredaran barang ekspor menuju Malaysia angkanya cukup besar meski belum terlalu signifikan. Dalam satu bulan potensi ekspor yang melalui PLBN Entikong setidaknya mencapai Rp10 miliar.

Beberapa komoditas yang tinggi peminat dari Malaysia antara lain produk-produk pertanian dan perkebunan seperti durian, rambutan, jeruk, kopi, lada serta hasil kelautan dan perikanan.

Namun demikian, semua komoditas tersebut masih berupa produk bahan mentah yang nilainya belum besar. Oleh karena itu, perlu didorong lagi dari segi pengemasan atau barang setengah jadi sehingga bernilai tinggi. Kedua negara saat ini masih dalam tahap penjajakan lagi untuk normalisasi ekspor pascapandemi.

Pergerakan ekonomi tidak hanya terjadi pada sisi ekspor yang kapasitasnya besar. Sebagai episentrum perbatasan, keterlibatan para pedagang kecil juga cukup tinggi.

Area PLBN Entikong yang dilengkapi dengan pasar modern dan tradisional memamerkan produk-produk unggulan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) berupa makanan, pakaian, tekstil, kerajinan tangan hingga perlengkapan rumah tangga.

Di tempat ini terjadi berbagai transaksi yang melibatkan warga negara Indonesia (WNI) dan juga warga negara Malaysia. Di pasar ini, warga Malaysia disebut paling banyak mencari kain sarung, batik hingga kuali buatan Indonesia. Sementara WNI, banyak mencari produk-produk jadi seperti makanan dan minuman instan dari Malaysia.

Transaksi di pasar ini bisa dilakukan menggunakan dua jenis mata uang. Misal, warga negara Malaysia yang tidak memiliki rupiah dapat membayarnya dengan ringgit dengan jumlah sesuai nilai tukar. Demikian pula  penjual dari Indonesia boleh memberikan uang kembaliannya menggunakan rupiah.

Bagi para pedagang, hal tersebut bukanlah masalah. Fleksibilitas menjadi kunci agar transaksi dapat berjalan lancar dan menguntungkan kedua belah pihak. Pembayaran menggunakan metode Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) juga sudah dapat ditemukan di beberapa kios di tempat ini.

Tingginya potensi perdagangan antara Indonesia-Malaysia,  terlebih setelah terkoneksi secara infrastruktur dan transportasi antara Indonesia-Sarawak Malaysia serta Brunei Darussalam, membuat pemerintah sangat serius memaksimalkan pembangunan ekonomi.

Kementerian Perdagangan pun mendirikan marketing point di PLBN Entikong yang diharapkan akan mendorong peningkatan lintasan produk dari Kalimantan Barat ke Sarawak dan sebaliknya. Selain itu, ekspor ini juga dibantu dengan adanya peran dari Everise, pasar swalayan di Sarawak yang juga menampung atau mengakomodir sejumlah produk dari Indonesia untuk dibantu promosi penjualannya di Sarawak.


Percepatan laju perdagangan

Meski tidak berbatasan langsung dengan Indonesia, konektivitas dengan Brunei Darussalam tidak boleh dilupakan. Nyatanya, WNI dapat dengan mudah melakukan perjalanan darat menuju Brunei Darusslam menggunakan bus DAMRI.

Tak sedikit juga WNI yang membuka usaha di sana mulai dari kuliner, konstruksi hingga bahan bangunan. Berdasarkan data Indonesian Business Chamber (IBC) atau sejenis Kamar Dagang Indonesia yang berada di Brunei Darussalam, terdapat 22 pengusaha Indonesia yang terdaftar secara resmi sebagai pemilik perusahaan Sendirian Berhad (Sdn Bhd) atau setara dengan Perseroan Terbatas.

Nilai perdagangan Indonesia ke Brunei Darussalam mencapai 897 juta dolar AS pada 2022, dengan komoditas tertinggi berupa tekstil, alat musik, clinker semen, alat olahraga, aksesoris, CPO hingga perhiasan imitasi.

Jika dibandingkan dengan Malaysia, angka tersebut memang masih terpaut cukup signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa pada 2022 jumlah perdagangan Indonesia ke Malaysia mencapai 27,9 miliar dolar AS.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya peningkatan antarkawasan ASEAN, khususnya Malaysia serta Brunei Darussalam yang memiliki kedekatan geografis dengan Indonesia. Artinya, apa yang sudah dicapai sebelumnya bisa dibuat menjadi lebih semarak dan ramai lagi. Sebab. dalam sebuah perdagangan, harus ada pembeli dan penjual agar aktivitas ini berkelanjutan.

Konsul Ekonomi Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching, Sarawak, Malaysia Theodorus Satrio Nugroho mengatakan, implementasi Inland Port atau terminal barang internasional di Entikong, Kalimantan Barat harus segera dioperasikan kembali. Sebab selama ini masih terdapat kendala teknis, khususnya selama masa pandemi COVID-19.

Dengan belum beroperasinya Inland Port di Entikong, maka Sarawak Malaysia belum bisa mengekspor ke Indonesia.

Sementara itu, dengan Brunei Darussalam, diharapkan kehadiran Ibu Kota Nusantara (IKN) bisa mendatangkan investasi dan peningkatan perdagangan. Sebab, selama ini investasi Brunei Darussalam dengan Indonesia masih terbilang kecil.

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia juga bisa menjadikan Brunei Darussalam sebagai hub dari ekonomi dan keuangan halal.

Perjanjian Regional Comprehensive Economic (RCEP) atau perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota ASEAN pun dapat dimanfaatkan untuk membuka akses yang lebih luas.

Ketetuaan Indonesia pada KTT Ke-43 ASEAN diharapkan bisa memberikan kesempatan bagi Asia Tenggara untuk berperan aktif, menawarkan ide dan solusi untuk kepentingan perdamaian dan kemakmuran di kawasan. Indonesia sebagai Ketua ingin menjadikan Asia Tenggara sebagai mesin pertumbuhan dunia yang berkelanjutan.

Pada akhirnya konektivitas infrastruktur dan transportasi berperan penting dalam pengelolaan kerja sama ASEAN sebagai ekonomi terbesar ke-5 di dunia serta untuk mewujudkan Asia Tenggara sebagai episentrum perekonomian dunia.

 

Pewarta : Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor : Andriy Karantiti
Copyright © ANTARA 2024