Jakarta (ANTARA) - Tur wisata berjalan kaki untuk mengenang Pasar Baru, baik dari sisi sejarah maupun kulinernya, telah selesai dijalani oleh Ical dan 12 peserta lainnya. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 saat dia menatap layar telepon pintarnya. Kini, perjalanan sepanjang hampir 4 kilometer itu telah berakhir.

Senyum semringah terpasang di tiap wajah peserta tur, termasuk Ical, meskipun panas terik Jakarta siap menyambut mereka dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Tak lupa, mereka menyempatkan diri untuk saling mengikuti akun media sosial dan mengunggah momen menarik dari perjalanan hari itu dengan saling menandai atau menyebutkan akunnya.


Dalam perjalanan pulang--di Stasiun Juanda--, Ical, remaja 18 tahun asal Bogor, itu kembali mengingat tur wisata yang baru saja diikutinya. Sebuah tur wisata jalan kaki yang diadakan komunitas Jakarta Good Guide dengan dua pemandu pada akhir pekan.


Tur Dimulai

Ical baru saja keluar dari Stasiun Juanda pada pukul 08.50 WIB lalu berjalan menuju minimarket di seberang stasiun. Namun, sekitar 20 orang telah berkumpul dan hingga pukul 09.00 WIB, mereka sudah membentuk lingkaran dengan dua pemandu berada di depan.

"Selamat datang di rute Juanda! Perkenalkan aku Maharani, dan ini temanku, Riky. Kami akan bagi tur ini menjadi dua kelompok," sapa perempuan berbaju warna lilac saat membuka tur wisata berjalan kaki.

Pembagian kelompok berlangsung singkat. Sepuluh orang pertama yang namanya disebutkan Maharani menjadi kelompok yang akan dipandu oleh Riky, sedangkan sisanya, termasuk Ical, menjadi bagian tur yang dia pimpin.

“Hai ... perkenalkan namaku Maharani. Kalian bisa memanggilku Maha, tanpa lini,” kata Maha merujuk penyanyi pop Indonesia, Mahalini Raharja, yang kemudian disambut tawa peserta tur.

Menggunakan mik yang tersambung dengan pengeras suara di pinggang, Maha kemudian meminta kelompoknya untuk saling memperkenalkan diri, yakni menyebutkan nama, asal daerah, hingga pasar favorit. Ternyata, tidak hanya Ical, ada juga peserta yang berasal dari luar Jakarta dan dengan sengaja mendaftarkan diri untuk mengikuti tur pada hari itu.

Kemudian tibalah saatnya Ical memperkenalkan diri. “Nama saya Ical, dari Bogor. Pasar favorit saya itu Pasar Gede di Solo,” katanya.

Ical memperhatikan ada tiga peserta yang baru bergabung dengan kelompoknya sehingga peserta yang akan dipandu oleh Maha berjumlah 13 orang. Tak apa, tur wisata belum dimulai, dan Maha masih mengarahkan peserta untuk menyelesaikan sesi perkenalan.

"Kalian tahu enggak sih stasiun tertua di Jakarta itu apa?” tanya Maha kepada peserta setelah sesi perkenalan berakhir. Menurut Ical, stasiun tertua adalah Jakarta Kota, namun dirinya kebingungan mencari kaitan antara Stasiun Juanda dengan stasiun tertua.

Maha menjelaskan jawabannya bukanlah Stasiun Juanda. Stasiun tertua di Jakarta adalah Stasiun Batavia Noord, tetapi bangunan stasiun tersebut sudah dihancurkan. Dahulu, stasiun tersebut berada di area yang sekarang menjadi Bank BNI di Jalan Lada.

"Nah, Stasiun Juanda termasuk bagian dari jaringan pertama jalur kereta api yang menghubungkan Batavia dengan Buitenzorg (Bogor), seperti Stasiun Batavia Noord,” papar Maha. Pada awalnya, Stasiun Juanda diberi nama Noordwijk, lalu berubah menjadi Stasiun Pintu Air pada masa penjajahan Jepang.

Ical kemudian memperhatikan tulisan Stasiun Juanda di belakang Maha. Tulisan tersebut menjadi penanda dari stasiun yang dicat berwarna biru tersebut.

Seolah menjawab pertanyaan di benak peserta tur, Maha mengatakan bahwa Stasiun Juanda menjadi salah satu stasiun yang berwarna karena untuk memudahkan penumpang mengetahui posisi terkini. Selain itu, warna biru dikabarkan menjadi warna favorit dari pahlawan Djuanda Kartawidjaja yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia maupun Kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).

Mendengar informasi itu, semua peserta tampak bergumam, baru tahu.

Jalan Pintu Air Raya Suasana toko kopi di bekas rumah keluarga Tio Tek Hong. ANTARA/Rio Feisal

Tur wisata mulai berganti tempat. Setelah memasuki sebuah lorong penghubung, tibalah Ical bersama rombongan tur di Jalan Pintu Air Raya.

“Aku kurang tahu tepatnya di bangunan ini atau yang di seberang sana, tapi di jalan ini ada Bioskop Capitol yang eksklusif karena hanya orang Eropa yang boleh nonton di sana. Filmnya juga film barat, enggak bisa film Indonesia tayang di sini,” kata Maha menjelaskan sambil memperlihatkan foto Bioskop Capitol pada masa jayanya melalui tablet membaca.

Ical kemudian memandang bangunan bercat warna putih di hadapannya, seperti sebuah rumah toko di jalan yang tampak lengang dari kendaraan. Sementara bangunan di belakangnya, tampak ramai dengan tempat makan yang beragam kulinernya, salah satunya menyajikan kuliner dari Pontianak, Kalimantan Barat.

“Suatu ketika ada Bapak Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia, yang membuat film berjudul Krisis. Usmar Ismail ingin filmnya diputar di Capitol, dan dia mendatangi Manajer Capitol. Manajer menilai film Indonesia enggak level diputar di Bioskop Capitol dan Bapak Usmar Ismail marah sehingga terjadi baku hantam,” kata Maha menarik kembali fokus Ical.

Peristiwa tersebut terdengar oleh Manajer Megaria atau saat ini bernama Metropole. Akhirnya, film Krisis diputar di Metropole, dan selama 3 minggu menjadi film yang banyak ditonton pada saat itu. Melihat pencapaian film Krisis, Bioskop Capitol kemudian memutuskan untuk menayangkan film Indonesia.

Upaya yang dilakukan Usmar Ismail membuat Ical merenung. Bagaimana tidak? Usmar Ismail mampu membuat bioskop yang eksklusif untuk film barat menjadi mau menayangkan film Indonesia.

Usai menceritakan Bioskop Capitol, Maha memutuskan untuk mengajak peserta tur berjalan sekitar 50 meter.

Tur berhenti di persimpangan Jalan Pintu Air Raya dengan Jalan Antara. “Siapa yang di sini suka mendengarkan musik?” tanya Maha membuka percakapan.

Saat ini, Ical dan peserta tur lainnya menatap bangunan lama berwarna putih yang berpadu dengan sedikit warna jingga di sisi kanannya. Dia menebak bahwa gedung tersebut memiliki riwayat dengan industri musik pada beberapa waktu lalu.

“Ada seorang saudagar peranakan, pengusaha besar, yang tinggal di sini. Namanya Tio Tek Hong. Pada 1902, dia mendirikan perusahaan rekaman musik. Nah, ada dua versi, pertama ada yang mengatakan bahwa perusahaannya adalah gedung di belakang kita, ada lagi katanya letaknya di Pasar Baru, nanti aku tunjukin,” ujar Maha.

Perusahaan milik Tio Tek Hong merupakan label rekaman pertama di Hindia Belanda yang pada awal produksinya merupakan hasil impor dari Eropa. Kemudian, dia memutuskan memproduksi musik sendiri berbentuk gramofon. Label rekaman dia diberi nama Tio Tek Hong Record, dan memiliki ciri khas saat awal dimainkan yang berbunyi “dibuat oleh Tio Tek Hong.”

Sementara lagu yang diproduksi adalah keroncong, gambus, lagu Melayu, hingga kasidahan, sedangkan penyanyinya memiliki ciri khas dengan tambahan nama ‘Miss’ di depan namanya, layaknya seorang diva. Misalnya saja seperti Miss Riboet dan Miss Tjitjih. Selain itu, label rekaman Tio Tek Hong juga merekam sandiwara.

Ical membayangkan betapa riuhnya label rekaman tersebut. Ada yang ingin bermusik, dan ada juga yang datang untuk merekam sebuah sandiwara. Belum lagi hilir mudiknya seorang ‘Miss’ untuk mempersiapkan karya terbaiknya.

Namun, tak perlu diambil pusing, sebab tur kembali dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 160 meter dan berhenti di seberang gedung bercat putih dan kuning. Pada beberapa bagian gedung tertulis ‘Haka Restaurant’ dan logo lama dari sebuah badan usaha milik negara (BUMN), yakni PT Asabri.

“Sekarang jadi restoran, dulunya apa, sih? Ini ada tulisannya di sini, Bataviaasch Nieuwsblad. Kira-kira apa?” tanya Maha sambil memperlihatkan sebuah foto lama yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan kondisi gedung saat ini.

Rupanya, gedung tersebut dahulu merupakan kantor surat kabar terbesar di Hindia Belanda yang didirikan oleh seorang jurnalis Belanda bernama Paulus Adrianus Daum. Sementara salah seorang jurnalis yang pernah bekerja di sana adalah Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi yang merupakan salah satu dari “Tiga Serangkai.”

Maha menjelaskan bahwa Bataviaasch Nieuwsblad merupakan media yang memihak pribumi. Kemudian isinya tidak hanya menyajikan berita saja, namun juga memuat novel-novel karya Daum.

Lalu, tur kembali berlanjut. Kali ini, sekitar 90 meter harus ditempuh oleh peserta tur.

Sebuah bangunan yang tampaknya belum dicat bernomor 33c, dan spanduk informasi bimbingan belajar (bimbel) seolah mengajak kami untuk menelusuri jalan yang tersaji di bawahnya. Sesudahnya, sebuah bangunan berlantai dua yang terkesan tua menyambut kedatangan kami.

“Anggap aja rumah sendiri. Sini-sini kalau mau melihat. Kalau dulu bayar pajak pakai ini,” kata Maha menunjuk sebuah tempelan dinding dengan sebagian tulisan yang hampir pudar bertuliskan V. No 8639.

Tempelan dinding tersebut merupakan bagian dari bekas rumah keluarga Tio Tek Hong yang saat ini menjadi Toko Kopi Maru. Tak sengaja bertemu, Riky menjelaskan kepada Maha dan peserta turnya bahwa dia tidak sengaja pernah berbincang dengan pemiliknya.

“Gua ketemu bulan ini, pas di depan, terus dia bilang kalau dihitung ini udah generasi keempat,” kata Riky.

Sementara itu, Ical maupun peserta lainnya tidak mau melewatkan momen untuk memesan kopi atau mungkin minuman nonkopi di toko tersebut. Hitung-hitung sebagai bekal untuk menemani perjalanan mengenang Pasar Baru.


Jalan Kelinci Raya

Jakarta, kotaku indah dan megah
Di situlah aku dilahirkan
Rumahku di salah satu gang
Namanya Gang Kelinci


Demikian syair lagu Gang Kelinci yang dinyanyikan Lilis Suryani era 1960-an.

Bukan Gang Kelinci, melainkan Jalan Kelinci Raya yang menyambut Ical dan 12 orang lainnya setelah mengenang Pasar Baru di Jalan Pintu Air.

“Ada sebuah toko di seberang kita, toko populer, nah ini yang digadang-gadang sebagai salah satu versi toko Tio Tek Hong. Kira-kira mirip mana sama yang tadi?” tanya Maha kepada peserta tur.

“Yang tadi,” serempak para peserta menjawab bahwa gedung yang berada di simpang Jalan Pintu Air Raya dan Jalan Antara merupakan bangunan yang diperkirakan sebagai toko Tio Tek Hong. Ical juga memikirkan hal serupa.

“Omong-omong, nanti kita mau masuk dan nyobain cakwe Koh Atek yang udah ada sejak 1971. Dari menjual cakwe itu dia bisa keliling ke beberapa negara,” kata Maha menjelaskan tujuan tur selanjutnya.

Maha memaparkan bahwa cakwe juga memiliki sejarah. Kata cakwe berasal dari bahasa Hokkien yang berarti "hantu yang digoreng".

Pada masa Dinasti Song, ada seorang jenderal yang dicintai rakyat bernama Yue Fei. Dia difitnah oleh Menteri Qin Hui sehingga dipenjara dan dihukum mati. Rakyat marah atas kematian Yue Fei.

Sementara itu, ada pedagang yang membuat adonan kue yang dibuat berpasangan sebagai simbol Qin Hui dan istrinya. “Jadi ketika makan, seperti kita dendam menggigit orang itu. Jadi cakwe itu simbol kemarahan warga Tiongkok,” katanya.


Jalan Pasar Baru Dalam

Berjalan kaki selama 60 meter dengan rute menelusuri sedikit Jalan Kelinci Raya dan berbelok ke kiri menuju Jalan Pasar Baru Dalam. Akhirnya, tibalah Ical dan rombongan di Cakwe Koh Atek. Sebanyak delapan orang tampak mengantre untuk membeli dan mencicipi cakwe ataupun kue bantal buatannya.

Koh Atek terlihat fokus membuat adonan cakwe. Sementara di belakangnya, tampak beberapa spanduk yang menginformasikan usahanya. Dimulai dari harga satuannya yang dijual seharga Rp6 ribu, “10 Most Wanted Food in Jakarta” atau 10 makanan yang paling dicari di Jakarta, hingga penjelasan bahwa Koh Atek merupakan generasi kedua.

Selain Koh Atek, ada juru masak yang sedia menggoreng adonan cakwe. Di sisi lain, istri Koh Atek sigap melayani pembeli.

Ical dan rombongan tidak mau melewatkan kesempatan untuk menjajal kuliner dari Pasar Baru tersebut. Mereka mengantre dan membeli sesuai selera.

Menurut Ical, cakwe buatan Koh Atek memiliki rasa gurih, sedangkan kue bantal mempunyai rasa manis yang khas. Bagusnya, kedua kudapan tersebut tidak berminyak.

Sembari makan, perjalanan dilanjutkan kembali sekitar 130 meter hingga bertemu dengan Kelenteng Sin Tek Bio. Sebuah klenteng dengan warna merah identik yang seakan bersembunyi di dalam gang.

“Kelenteng ini salah satu yang tertua di Jakarta, tapi kalau yang tertua banget ada di Glodok, Kelenteng Dharma Bhakti dari 1650. Kalau ini dari 1698,” kata Maha menjelaskan.

Meskipun bukan kelenteng tertua di Jakarta, Sin Tek Bio hadir terlebih dahulu di Pasar Baru sebelum dibangun pada 1820. Sebelumnya, daerah Pasar Baru merupakan rawa-rawa.

“Dulu, pintunya enggak di sini, tapi dekat Bakmi Aboen tadi. Seperti yang kubilang tadi, kelenteng ini lebih tua dibandingkan Pasar Baru. Dulu masih kosong di sini dan kita bisa lihat kelenteng dari kejauhan, tapi lama-kelamaan semakin banyak bangunan di samping-sampingnya hingga akhirnya pintunya dipindahkan ke sini,” papar Maha.

Sementara itu, berbeda dengan Dharma Bhakti yang memiliki Dewi Kwan Im sebagai dewa tuan rumah, Sin Tek Bio mempunyai Hok Tek Ceng Sin atau Dewa Bumi. Hok Tek Ceng Sin juga dikenal dengan Dewa Kekayaan atau Dewa Rezeki.

“Nah ini ada nama Sin Tek Bio, tapi ada nama Vihara Dharmajaya. Zaman Orde Baru, semua hal berbau Tionghoa itu dimusnahkan atau diganti. Hingga akhirnya diangkatlah nama Indonesianya Dharmajaya, tapi setelah zaman Gus Dur, semua diperbolehkan lagi,” kata Maha menambahkan.

Kemudian, tur menyambangi kelenteng bagian dalam. Sesudah itu, perjalanan kembali dilanjutkan sekitar 50 meter hingga menemukan simpang tiga ke arah Jalan Pasar Baru.

“Suka minum jamu, enggak?” tanya Maha tiba-tiba kepada peserta. Sontak saja Ical mencari toko jamu di sekitarnya, tetapi hanya menemukan pedagang pakaian, jam, ataupun lapak kosong.

Ternyata, sebuah bangunan berlantai dua dan berwarna putih yang dipenuhi oleh lapak pedagang di depannya, dahulu merupakan sebuah toko jamu Nyonya Meneer milik Lauw Ping Nio.

“Suatu ketika, suaminya itu sakit perut yang sangat parah yang sulit disembuhkan oleh dokter mana pun. Akhirnya dia ingat pernah diajari racikan jamu, dan dia cobalah, dan dia kasih minum ke suaminya, ternyata sembuh. Dari situlah dia mulai rajin membuat jamu untuk kerabat, tetangga, maupun yang membutuhkannya,” kata Maha.

Jamu Nyonya Meneer identik dengan potret dirinya. Hal itu untuk menandakan keaslian jamu buatan Nyonya Meneer. Sementara nama Meneer, diambil dari menir atau bubuk bekas penumbukan padi. Dikabarkan saat masih di dalam kandungan, sang ibu mengidam menir.

Adapun saat ini, Nyonya Meneer telah dinyatakan bangkrut pada 2017 karena tidak mampu membayarkan utang kepada kreditor.

Meskipun demikian, tanda-tanda bekas toko jamu tersebut masih dapat ditemui pada atap bagian sebelah kiri atas yang terdapat tulisan “Njonja Meneer” yang mulai pudar.

Kisah di Jalan Pasar Baru Dalam amat menarik. Mulai dari kuliner, klenteng, hingga toko jamu. Namun, momen mengenang Pasar Baru ini belum berakhir.

Ayam dan elang

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Pniel atau Gereja Ayam menjadi destinasi selanjutnya untuk mengenang Pasar Baru. Pada atapnya, terdapat petunjuk arah angin yang berbentuk ayam.

Maha menjelaskan bahwa pada awalnya GPIB Pniel merupakan kapel atau bangunan sederhana yang terbuat dari kayu. Hingga akhirnya, pada 1913, pembangunan gereja direncanakan karena mempertimbangkan jumlah jemaat yang semakin banyak. Adapun arsiteknya adalah Eduard Cuypers dan Marius Hulswit.

“Lalu kenapa ada ayam jago? Karena itu berhubungan dengan Alkitab pada cerita kejadian peristiwa Petrus menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Tapi ada juga kaitannya dengan aliran Lutheran yang diinisiasi oleh Martin Luther King,” katanya.

Ayam tersebut ternyata juga memiliki kisah dengan hadirnya patung elang pada atap sebagian bangunan di Pasar Baru.

“Pada tahun 1920 sampai 1930-an, pamor Pasar Baru turun. Nah kebanyakan pedagang di Pasar Baru itu orang Tionghoa, yang percaya dengan fengsui. Hingga akhirnya ahli fengsui dari Tiongkok didatangkan ke sini,” kata Maha.

Jika dilihat dari udara, Pasar Baru yang memiliki jalan besar dan terhubung dengan gang-gang kecil layaknya kelabang. Kemudian, ahli fengsui menilai bahwa pamor Pasar Baru menurun karena adanya kehadiran ayam yang selalu mematok kelabang atau rezeki pedagang di sana. Akhirnya, ahli fengsui menyarankan untuk dibuatkan patung elang.

“Percaya enggak percaya, setelah dibangun akhirnya pamornya naik lagi. Tapi dari sejarahnya, pada 1920 sampai 1930 memang lagi ada resesi pada saat itu,” papar Maha.

Seperti yang disampaikan oleh Maha, Ical, atau mungkin peserta lainnya, turut percaya atau tidak percaya dengan kisah ayam, elang, dan kelabang itu.

Jalan Pasar Baru

Perjalanan sudah hampir mencapai titik akhir. Kini, 550 meter jarak harus ditempuh menuju Jalan Pasar Baru dengan berjalan kaki. Perjalanan tersebut berhenti di depan toko sepatu Sin Lie Seng yang berdiri sejak 1943.

“Katanya untuk merusak sepatunya itu harus digergaji karena saking kuatnya. Nah dulu buatnya juga di sini, tapi sekarang hanya tokonya doang,” kata Maha.

Beberapa tokoh yang menyukai sepatu dari Sin Lie Seng adalah Presiden pertama Soekarno dan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono.

Kemudian, Ical dan rombongan kembali berhenti. Titik saat ini adalah toko es krim Tropic, salah satu toko es krim tertua di Jakarta. Namun Ical tidak sempat mencicipi es krimnya karena perjalanan dilanjutkan menuju Toko Kompak.

“Tempat ini biasa dipakai mayor untuk menyambut tamunya. Nah, rumah mayor yang sampai saat ini eksis bisa kita lihat adalah ini sama Candra Naya di Jalan Gajah Mada,” ujar Maha di depan gerbang Toko Kompak.

Menurut Maha, dahulu orang Tionghoa mempunyai pemimpin dengan jabatannya adalah mayor. Kalau sekarang, mayor setara dengan jabatan wali kota. Adapun tugas seorang mayor adalah melaporkan apa saja yang terjadi kepada Gubernur Hindia Belanda.

Salah seorang mayor dan yang menempati toko Kompak adalah Tio Tek Ho.

“Setelah menjadi rumah mayor, ini menjadi toko-toko kelontong, gitu loh, makanya di situ ada kayak piagam gitu yang menunjukkan bahwa toko-toko ini pernah berpartisipasi dalam Pasar Gambir, yang sekarang menjadi Jakarta Fair,” kata Maha.

Dan saat ini, bangunan dengan gerbang berwarna merah tersebut telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Sementara itu, ujung dari Jalan Pasar Baru semakin terlihat. Satu per satu anggota tur, termasuk Ical telah melewati sebuah gerbang besar dengan tulisan Passer Baroe, Batavia, dan 1820.

“Pernah dengar enggak kalau pusat pemerintahan Kota Batavia dipindahkan ke sini? Ke daerah pusat atau disebut Weltervreden pada tahun 1790 atau 1800 awal,” tanya Maha kepada peserta tur.

Menggelengkan kepala tanda belum tahu dari para peserta, membuat Maha melanjutkan pemaparannya. Pada saat pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, Pasar Baru kemudian dibangun untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Eropa yang pindah ke Weltervreden.

Ical menilai perjalanannya di Jalan Pasar Baru terasa singkat, tetapi juga seperti ada yang kurang. Sebab, masih banyak toko yang mengundang rasa ingin tahu, namun belum sempat dijelaskan pada kesempatan tersebut.

Jalan Antara

Seperti yang disampaikan Maha, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA menjadi titik akhir dari perjalanan tur berjalan kaki. Sebuah bangunan bersejarah yang saat ini sedang direnovasi.

“ANTARA tuh apa, sih? Ya benar, kantor berita. Empat orang pendirinya adalah Albert Manumpak Sipahutar, Soemanang, Adam Malik, dan Pandu Kartawiguna,” ujar Maha.

Seperti dijelaskan Maha, empat orang pendiri ANTARA beranggapan bahwa Kantor Berita Hindia Belanda Aneta selalu memberitakan hal yang simpang siur, hoaks, atau tidak jujur sehingga pendirian kantor berita baru yang memuat berita pergerakan kemerdekaan diperlukan pada saat itu.

Dulu, ANTARA berkantor di Jalan Pinangsia, dan namanya berasal dari mingguan “Perantaraan” yang pernah didirikan Soemanang di Bogor. Kini, ANTARA berada di Jalan ANTARA.

“Ketika zaman Jepang, terjadilah peristiwa penting, yaitu pemberitaan tentang Proklamasi yang disebarkan ke berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, sampai keluar negeri,” papar Maha.

Informasi tersebut menutup perjalanan tur berjalan kaki yang dimulai sejak pukul 09.00. Meskipun Matahari secara perlahan menerikkan sinarnya, perjalanan selama 3 jam tersebut melenakan dan membuat waktu terasa cepat berlalu.


Dukungan Pemerintah

Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta Andhika Permata mengatakan bahwa pihaknya mendukung tur wisata berjalan kaki, yang merupakan salah satu upaya penerapan wisata berkelanjutan.

Terlebih, peserta tur berjalan kaki tidak hanya mendapatkan informasi seputar tempat-tempat wisata tersembunyi di Jakarta, namun juga dapat meningkatkan ketertarikan peserta sehingga dapat memaknai lebih dalam terhadap keindahan alam, arsitektur, seni, dan budaya lokal melalui pengalaman langsung yang dikemas secara interaktif dan komunikatif.

Selain itu, tur wisata berjalan kaki dapat menjadikan peserta merasa lebih terhubung dengan tempat yang dikunjungi, dan merasa lebih peduli terhadap pelestarian lingkungan dan budaya yang ada.

Sementara itu, Juwita, peserta asal Jakarta Pusat, mengaku pengalaman wisata berjalan kaki yang dijalaninya merupakan hal yang seru. Sebab, dapat mengenal sisi lain dari Jakarta.

Adapun Ardi Budiyanto, asal Kediri, Jawa Timur, mengatakan tur wisata berjalan kaki sangat menarik dan bagus untuk warga pendatang, sehingga dapat mengetahui sejarah maupun kuliner Jakarta. Sedangkan bagi Aisyah Al Hafizoh, asal Payakumbuh, Sumatera Barat, adanya tur berjalan kaki membuat dirinya semakin mengenal dan tidak bosan untuk mengunjungi Jakarta.

Tur wisata berjalan kaki dapat menjadi pilihan bagi wisatawan domestik atau internasional untuk lebih mengenal Jakarta. Terlebih, tur tersebut tidak menggunakan kendaraan pribadi sehingga dapat membantu memperlambat krisis iklim.










 

 
 

Pewarta : Rio Feisal
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2024