Bandung (ANTARA) - "Orang bilang tanah kita tanah surga/ tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman," potongan lirik lagu yang dinyanyikan grup musik legendaris Koes Plus menggambarkan betapa diberkahinya Indonesia dengan tanah yang subur.
Bahkan, Indonesia juga dikenal sebagai negara zamrud khatulistiwa dan negara agraris karena tanahnya subur, sumber daya alam, dan hasil buminya yang melimpah hampir sepanjang tahun.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022, pertanian merupakan salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, yakni 29,96 persen dari 135,3 juta penduduk atau sekitar 40,64 juta orang.
Namun sayangnya, sektor pertanian nasional sedang menghadapi masalah pelik. Selain dipicu lahan pertanian yang makin berkurang akibat masifnya alih fungsi lahan, juga didera kurangnya sumber daya manusia yang terampil di bidang pertanian. Rendahnya regenerasi profesi petani menjadi penyebab pertanian Indonesia dalam krisis.
Meski kini 40,64 juta orang berkecimpung dalam pertanian, angka tersebut mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Dan yang lebih membuat khawatir, angka tersebut didominasi oleh petani senior dengan rentang usia 45-64 tahun.
Adapun pemuda usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian, berdasar data BPS 2021, hanya ada 3,95 juta atau 21,9 persen dari total petani di Indonesia.
Sementara di Provinsi Jawa Barat, petani yang paling banyak berada pada rentang usia 45-49 tahun, yaitu sebanyak 36,30 persen, dan petani berusia 30-44 hanya 24,06 persen, sementara petani yang masuk kategori generasi muda dengan usia antara 19-29 tahun hanya sekitar 9 persen atau 2,7 juta petani.
Ada beberapa faktor penyebab kurangnya minat generasi muda (milenial dan Gen Z) menjadi petani baru, termasuk akses permodalan, musim yang tidak pasti, sampai pendapatan minim. Namun, yang paling utama adalah citra kurang keren atas profesi petani--yang sebenarnya tercipta dari persepsi tidak presisi atas profesi yang sesungguhnya mulia itu.
Hal tersebut diamini oleh Ade Rukmana, Ketua Kelompok Tani sekaligus Koperasi Produsen Agronative Pratama Indonesia yang berlokasi di Desa Cipanjalu, Kabupaten Bandung. Ia menyebut stigma tersebut memang melekat, bahkan sampai kini.
"Saya saja dulu malu mengaku anak petani. Setelah saya pelajari, memang stigma itu masih melekat di pundak petani bahwa bodoh, jorok, kampungan, kotor, gaptek, dan miskin. Akhirnya, siapa yang mau jadi petani dengan stigma itu," kata Ade.
Dengan fenomena tersebut, dibutuhkan langkah-langkah yang bisa mengubah pola pikir yang membalikkan citra petani sebagai profesi mulia seperti halnya di Jepang, misalnya. Salah satu caranya yakni dengan mengubah kultur si penyandang stigma itu menjadi manusia maju dan modern.
Peralatan penyiraman dan pemupukan teknologi IoT dari Habibi Garden yang terintegrasi pada ponsel di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. ANTARA/Ricky Prayoga
Mengubah pola pikir
Dalam perkembangan informasi sangat masif saat ini, digitalisasi menjadi kunci sakti untuk menjawab banyak persoalan, termasuk di sektor pertanian untuk membantu petani dalam meningkatkan produktivitas, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya.
Program Desa Digital yang bertujuan memberdayakan masyarakat desa melalui penggunaan teknologi, akhirnya masuk ke desa-desa di Jawa Barat, tak terkecuali di bidang pertanian.
Bermula dari 2019, dengan menggandeng mitra Habibi Garden, desa digital tematik pertanian yang menggunakan teknologi Internet of Thing (IoT) dalam menjawab berbagai tantangan pertanian, diimplementasikan di 22 desa di seluruh Jawa Barat sampai dengan tahun 2022.
Berdasarkan data Jabar Digital Service (JDS) Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Barat, dengan teknologi yang diimplementasikan di desa digital tematik pertanian, rata-rata meningkatkan produksi pertanian 55,3 persen, peningkatan profit sebanyak 31,1 persen, pengurangan penggunaan pupuk 25,9 persen, serta mengurangi biaya pemupukan sampai 24,3 persen.
"Jadi memang ini sangat bermanfaat bagi petani dari berbagai segi, kemudian dengan teknologi ini juga bisa jadi mengubah kultur dari pertanian tradisional menjadi berbasis teknologi, yang akhirnya diakui petani yaitu mengubah kultur dan mungkin bisa mencetak petani baru karena teknologi yang ada," kata Senior Project Officer UPTD PLDDIG/JDS Diskominfo Jabar Rizi Advista Permana.
Dalam penerapannya, teknologi Habibi Garden membutuhkan investasi berupa alat IoT termasuk sensor dan selang irigasi tetes yang dipasang di bedengan pertanian. Teknologi yang menggunakan digital farming atau pertanian presisi berbasis IoT itu membantu petani mengetahui kebutuhan air dan kadar mineral dari tanah garapannya melalui ponsel yang dimiliki.
Satu alat tersebut bisa digunakan untuk lahan seluas 2 hektare.
Kemudian, petani bisa menyesuaikan jadwal penyiraman dan pemupukan secara periodik atau melakukan penyiraman serta pemupukan dalam satu waktu tertentu jika dibutuhkan, dari jarak jauh dengan ponsel yang dimiliki.
CEO Habibi Garden Irsan Rajamin mengatakan alat yang saat ini sudah digunakan oleh hampir 250 petani di Medan, Lampung, Kalimantan, Sulawesi, sampai Maluku tersebut, bertujuan untuk mengefisienkan budi daya pertanian, mulai dari biaya yang dikeluarkan, waktu, dan sampai meningkatkan hasil panen hingga 200 persen.
Dengan demikian, petani-petani, termasuk yang muda, lebih nyaman dalam berbudi daya tanaman.
Sampai saat ini telah ada 25 persen yang menggunakan teknologi tersebut dan mereka adalah petani berusia di bawah 35 tahun.
Kisah sukses
Dari 22 desa di Jawa Barat yang telah menggunakan teknologi itu, kisah sukses datang dari Koperasi Agronative di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, dengan sosok Ade Rukmana di belakangnya.
Mulai berkecimpung di dunia pertanian sejak tahun 2013, yang diwarnai dengan kegagalan berkali-kali sampai lahannya berkurang dari 1,5 hektare sampai tersisa 1.250 meter persegi, petani berusia 38 tahun dari Desa Cibodas, Kabupaten Bandung Barat, tersebut mulai bersentuhan dengan teknologi sekitar tahun 2020.
Pada saat itu, kebetulan ia sedang banyak kegiatan di luar kota dan lahan tidak terurus. Penyiraman dan pemupukan juga tidak lagi dilakukan karena sudah tidak sanggup membayar orang untuk melakukannya.
Lalu datanglah teknologi IoT ini.
Mulai mencoba dengan mengimplementasikan teknologi IoT pada lahannya di Cibodas dengan model pertanian rumah hijau (green house) seluas 750 meter persegi dan sisanya pada model lahan terbuka, Ade mulai merasakan manfaatnya dengan peningkatan produksi 40-60 persen, pengurangan biaya tenaga kerja, serta mendapatkan efisiensi waktu.
Sekitar 1 tahun menggunakan teknologi IoT, pria yang akrab disapa Mang Ade ini akhirnya melakukan kampanye kepada rekan-rekan petani lain di desanya setelah melakukan berbagai analisis antara kerugian seperti investasi yang dikeluarkan, kesan teknologi mahal, susah dan ribet, sampai keuntungan yang didapat.
"Setelah yakin, saya kampanye kepada rekan petani lainnya terkait keuntungan yang saya dapat. Dan yang paling keren ada budaya baru yang asalnya pagi sampai sore menyiram atau memupuk lahan, kini waktu-waktu tersebut bisa digunakan untuk kegiatan lainnya yang sama-sama menghasilkan nominal yang baru," ucapnya.
Setelah sukses di Cibodas, Ade kemudian mengajak rekan-rekan petani di Desa Suntenjaya, desa tetangga, untuk bersama-sama membangun Koperasi Agronative dan menggarap lahan negara seluas 10 hektare yang dikuasai PTPN di kaki Gunung Bukit Tunggul (Desa Cipanjalu) pada 2022 awal yang kemudian dikenal dengan Desa Tani Unggul.
Di desa tani tersebut, Ade mengaku bisa menghasilkan 1-1,5 ton 14 jenis komoditas sayuran, seperti selada keriting, kacang panjang, kubis, tomat, termasuk baby buncis kenya yang merupakan primadona untuk diekspor.
Dari tempat tersebut, penerima manfaat langsung ada 50 petani dan yang tidak langsung sekitar 40-50 orang dari jaringan bisnis koperasi di sini, yakni lahan pertanian terbuka dan green house, rumah pengemasan, rumah semai, rumah kompos, rumah eduwisata, kemudian rumah ternak.
Berbagai hal tersebut, termasuk teknologi pertanian, menjadi salah satu faktor pemikat minat generasi muda untuk berkecimpung dalam pertanian. Di desa itu, dari sekitar 50 petani, sekitar 40 persen yang berusia di bawah 39 tahun.
Ke depan, koperasi tersebut fokus pada pengembangan eduwisata dengan melengkapi fasilitas asrama, aula, pembangunan lapangan, studio musik, lokasi perkemahan, dan pengembangan lainnya. Tujuannya, bisa turut mengenalkan pertanian yang dilakukan di desa tani tersebut dengan penggunaan teknologi IoT kepada masyarakat termasuk generasi muda.
Tujuan utama dari penerapan teknologi IoT itu tentu makin banyak anak muda yang tertarik di sektor pertanian.
Dari hasil konkret teknologi IoT tersebut, perlahan bisa mengubah mindset masyarakat. Menjadi petani adalah profesi modern dan keren.
Karena, menyiram dan memupuk tanaman saja cukup melalui telepon pintar.
Bahkan, Indonesia juga dikenal sebagai negara zamrud khatulistiwa dan negara agraris karena tanahnya subur, sumber daya alam, dan hasil buminya yang melimpah hampir sepanjang tahun.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022, pertanian merupakan salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, yakni 29,96 persen dari 135,3 juta penduduk atau sekitar 40,64 juta orang.
Namun sayangnya, sektor pertanian nasional sedang menghadapi masalah pelik. Selain dipicu lahan pertanian yang makin berkurang akibat masifnya alih fungsi lahan, juga didera kurangnya sumber daya manusia yang terampil di bidang pertanian. Rendahnya regenerasi profesi petani menjadi penyebab pertanian Indonesia dalam krisis.
Meski kini 40,64 juta orang berkecimpung dalam pertanian, angka tersebut mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Dan yang lebih membuat khawatir, angka tersebut didominasi oleh petani senior dengan rentang usia 45-64 tahun.
Adapun pemuda usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian, berdasar data BPS 2021, hanya ada 3,95 juta atau 21,9 persen dari total petani di Indonesia.
Sementara di Provinsi Jawa Barat, petani yang paling banyak berada pada rentang usia 45-49 tahun, yaitu sebanyak 36,30 persen, dan petani berusia 30-44 hanya 24,06 persen, sementara petani yang masuk kategori generasi muda dengan usia antara 19-29 tahun hanya sekitar 9 persen atau 2,7 juta petani.
Ada beberapa faktor penyebab kurangnya minat generasi muda (milenial dan Gen Z) menjadi petani baru, termasuk akses permodalan, musim yang tidak pasti, sampai pendapatan minim. Namun, yang paling utama adalah citra kurang keren atas profesi petani--yang sebenarnya tercipta dari persepsi tidak presisi atas profesi yang sesungguhnya mulia itu.
Hal tersebut diamini oleh Ade Rukmana, Ketua Kelompok Tani sekaligus Koperasi Produsen Agronative Pratama Indonesia yang berlokasi di Desa Cipanjalu, Kabupaten Bandung. Ia menyebut stigma tersebut memang melekat, bahkan sampai kini.
"Saya saja dulu malu mengaku anak petani. Setelah saya pelajari, memang stigma itu masih melekat di pundak petani bahwa bodoh, jorok, kampungan, kotor, gaptek, dan miskin. Akhirnya, siapa yang mau jadi petani dengan stigma itu," kata Ade.
Dengan fenomena tersebut, dibutuhkan langkah-langkah yang bisa mengubah pola pikir yang membalikkan citra petani sebagai profesi mulia seperti halnya di Jepang, misalnya. Salah satu caranya yakni dengan mengubah kultur si penyandang stigma itu menjadi manusia maju dan modern.
Mengubah pola pikir
Dalam perkembangan informasi sangat masif saat ini, digitalisasi menjadi kunci sakti untuk menjawab banyak persoalan, termasuk di sektor pertanian untuk membantu petani dalam meningkatkan produktivitas, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya.
Program Desa Digital yang bertujuan memberdayakan masyarakat desa melalui penggunaan teknologi, akhirnya masuk ke desa-desa di Jawa Barat, tak terkecuali di bidang pertanian.
Bermula dari 2019, dengan menggandeng mitra Habibi Garden, desa digital tematik pertanian yang menggunakan teknologi Internet of Thing (IoT) dalam menjawab berbagai tantangan pertanian, diimplementasikan di 22 desa di seluruh Jawa Barat sampai dengan tahun 2022.
Berdasarkan data Jabar Digital Service (JDS) Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Barat, dengan teknologi yang diimplementasikan di desa digital tematik pertanian, rata-rata meningkatkan produksi pertanian 55,3 persen, peningkatan profit sebanyak 31,1 persen, pengurangan penggunaan pupuk 25,9 persen, serta mengurangi biaya pemupukan sampai 24,3 persen.
"Jadi memang ini sangat bermanfaat bagi petani dari berbagai segi, kemudian dengan teknologi ini juga bisa jadi mengubah kultur dari pertanian tradisional menjadi berbasis teknologi, yang akhirnya diakui petani yaitu mengubah kultur dan mungkin bisa mencetak petani baru karena teknologi yang ada," kata Senior Project Officer UPTD PLDDIG/JDS Diskominfo Jabar Rizi Advista Permana.
Dalam penerapannya, teknologi Habibi Garden membutuhkan investasi berupa alat IoT termasuk sensor dan selang irigasi tetes yang dipasang di bedengan pertanian. Teknologi yang menggunakan digital farming atau pertanian presisi berbasis IoT itu membantu petani mengetahui kebutuhan air dan kadar mineral dari tanah garapannya melalui ponsel yang dimiliki.
Satu alat tersebut bisa digunakan untuk lahan seluas 2 hektare.
Kemudian, petani bisa menyesuaikan jadwal penyiraman dan pemupukan secara periodik atau melakukan penyiraman serta pemupukan dalam satu waktu tertentu jika dibutuhkan, dari jarak jauh dengan ponsel yang dimiliki.
CEO Habibi Garden Irsan Rajamin mengatakan alat yang saat ini sudah digunakan oleh hampir 250 petani di Medan, Lampung, Kalimantan, Sulawesi, sampai Maluku tersebut, bertujuan untuk mengefisienkan budi daya pertanian, mulai dari biaya yang dikeluarkan, waktu, dan sampai meningkatkan hasil panen hingga 200 persen.
Dengan demikian, petani-petani, termasuk yang muda, lebih nyaman dalam berbudi daya tanaman.
Sampai saat ini telah ada 25 persen yang menggunakan teknologi tersebut dan mereka adalah petani berusia di bawah 35 tahun.
Kisah sukses
Dari 22 desa di Jawa Barat yang telah menggunakan teknologi itu, kisah sukses datang dari Koperasi Agronative di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, dengan sosok Ade Rukmana di belakangnya.
Mulai berkecimpung di dunia pertanian sejak tahun 2013, yang diwarnai dengan kegagalan berkali-kali sampai lahannya berkurang dari 1,5 hektare sampai tersisa 1.250 meter persegi, petani berusia 38 tahun dari Desa Cibodas, Kabupaten Bandung Barat, tersebut mulai bersentuhan dengan teknologi sekitar tahun 2020.
Pada saat itu, kebetulan ia sedang banyak kegiatan di luar kota dan lahan tidak terurus. Penyiraman dan pemupukan juga tidak lagi dilakukan karena sudah tidak sanggup membayar orang untuk melakukannya.
Lalu datanglah teknologi IoT ini.
Mulai mencoba dengan mengimplementasikan teknologi IoT pada lahannya di Cibodas dengan model pertanian rumah hijau (green house) seluas 750 meter persegi dan sisanya pada model lahan terbuka, Ade mulai merasakan manfaatnya dengan peningkatan produksi 40-60 persen, pengurangan biaya tenaga kerja, serta mendapatkan efisiensi waktu.
Sekitar 1 tahun menggunakan teknologi IoT, pria yang akrab disapa Mang Ade ini akhirnya melakukan kampanye kepada rekan-rekan petani lain di desanya setelah melakukan berbagai analisis antara kerugian seperti investasi yang dikeluarkan, kesan teknologi mahal, susah dan ribet, sampai keuntungan yang didapat.
"Setelah yakin, saya kampanye kepada rekan petani lainnya terkait keuntungan yang saya dapat. Dan yang paling keren ada budaya baru yang asalnya pagi sampai sore menyiram atau memupuk lahan, kini waktu-waktu tersebut bisa digunakan untuk kegiatan lainnya yang sama-sama menghasilkan nominal yang baru," ucapnya.
Setelah sukses di Cibodas, Ade kemudian mengajak rekan-rekan petani di Desa Suntenjaya, desa tetangga, untuk bersama-sama membangun Koperasi Agronative dan menggarap lahan negara seluas 10 hektare yang dikuasai PTPN di kaki Gunung Bukit Tunggul (Desa Cipanjalu) pada 2022 awal yang kemudian dikenal dengan Desa Tani Unggul.
Di desa tani tersebut, Ade mengaku bisa menghasilkan 1-1,5 ton 14 jenis komoditas sayuran, seperti selada keriting, kacang panjang, kubis, tomat, termasuk baby buncis kenya yang merupakan primadona untuk diekspor.
Dari tempat tersebut, penerima manfaat langsung ada 50 petani dan yang tidak langsung sekitar 40-50 orang dari jaringan bisnis koperasi di sini, yakni lahan pertanian terbuka dan green house, rumah pengemasan, rumah semai, rumah kompos, rumah eduwisata, kemudian rumah ternak.
Berbagai hal tersebut, termasuk teknologi pertanian, menjadi salah satu faktor pemikat minat generasi muda untuk berkecimpung dalam pertanian. Di desa itu, dari sekitar 50 petani, sekitar 40 persen yang berusia di bawah 39 tahun.
Ke depan, koperasi tersebut fokus pada pengembangan eduwisata dengan melengkapi fasilitas asrama, aula, pembangunan lapangan, studio musik, lokasi perkemahan, dan pengembangan lainnya. Tujuannya, bisa turut mengenalkan pertanian yang dilakukan di desa tani tersebut dengan penggunaan teknologi IoT kepada masyarakat termasuk generasi muda.
Tujuan utama dari penerapan teknologi IoT itu tentu makin banyak anak muda yang tertarik di sektor pertanian.
Dari hasil konkret teknologi IoT tersebut, perlahan bisa mengubah mindset masyarakat. Menjadi petani adalah profesi modern dan keren.
Karena, menyiram dan memupuk tanaman saja cukup melalui telepon pintar.