Jakarta (ANTARA) - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan 90/2023) memantik kegaduhan berkepanjangan. Dalam beberapa grup whatshapp ada yang secara khusus menanyakan apakah terhadap putusan tersebut berlaku juga konsep batal demi hukum, batal, dan dapat dibatalkan yang dikenal dan berlaku dalam hukum administrasi. Selain itu, ada pula yang secara pribadi menanyakan kemungkinan putusan itu tak dilaksanakan.
Di luar itu, polemik di berbagai media tak kalah serunya. Bahkan sudah ada beberapa pihak yang melaporkan dugaan terjadinya pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terutama Anwar Usman sebagai Ketua MK. Harapannya, tak sekadar jatuhnya sanksi etik terhadap yang bersangkutan tapi sekaligus dianulirnya Putusan 90/2023 oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Saat opini ini ditulis, MKMK sedang memeriksa laporan dugaan terjadinya pelanggaran etik dan rencananya akan memutusnya pada hari Selasa, tanggal 7 November 2023.
Tulisan ini dimaksudkan untuk merespons isu hukum di atas. Telaah akan dibatasi oleh 2 pertanyaan, yaitu bagaimana keabsahan Putusan MK 90/2023 dan apa resep (preskripsi) konstitusional atas putusan tersebut.
Keabsahan Putusan 90/2023
Semua produk kekuasaan tak dapat dilepaskan dari konsep wewenang yang mendasarinya. Setiap produk kekuasaan dikatakan sah secara hukum apabila orang atau lembaga yang mengeluarkannya memang memiliki kewenangan untuk itu. Konsekuensinya, terhadap semua produk kekuasaan berlaku pula konsep van rechtswege nietig (batal demi hukum), nietig (batal), dan vernietigbaar (dapat dibatalkan).
Formula tersebut tentu saja berlaku juga terhadap putusan kekuasaan yudisial. Secara umum, selama putusan peradilan didasarkan pada wewenang yang sah, maka keabsahannya dijamin oleh asas res judicata pro veritate habetur (asas res judicata). Berdasarkan asas ini, semua putusan peradilan harus dianggap benar atau absah selama belum dilakukan pembatalan terhadapnya.
Asas res judicata hadir mengamankan setiap putusan peradilan yang telah didasarkan kepada wewenang yang dimiliki. Jadi selama lembaga peradilan yang bersangkutan memiliki wewenang, maka putusannya harus dianggap benar berdasarkan asas res judicata tersebut. Putusan yang diamankan oleh asa res judicata ini, sifatnya hanya “dapat dibatalkan” yaitu ia batal sejak adanya tindakan pembatalan terhadapnya.
Dalam konteks putusan peradilan di lingkungan Mahkamah Agung, secara umum asas res judicata berakhir manakala suatu putusan pengadilan telah dianulir oleh putusan peradilan yang lebih tinggi. Artinya pembatalan terhadap suatu putusan peradilan hanya dapat dilakukan oleh putusan peradilan yang lebih tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
Namun, asas res judicata tidak berlaku apabila putusan peradilan dilakukan tanpa adanya dasar kewenangan. Putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan tanpa dasar wewenang (onbevoegd) berakibat “batal demi hukum”. Implikasinya, putusan tersebut dianggap tidak pernah ada dan terhadapnya tak berlaku asas res judicata.
Konstruksi yuridis ini pernah saya gunakan saat menyikapi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt (Putusan PN Jakpus) yang memerintahkan penundaan Pemilu 2024.
Terhadap Putusan PN Jakpus tersebut, saya berpendapat bahwa ia batal demi hukum. Oleh sebab itu, berbeda dengan beberapa ahli yang menyarankan KPU mengajukan banding, saya kala itu menyarankan KPU untuk terus melanjutkan tahapan pemilu tanpa perlu risau dengan adanya Putusan tersebut (Antaranews, Jumat 3 Maret 2023).
Mengapa demikian? Sebab, objek gugatan (sengketa proses pemilu) yang diajukan oleh Partai Prima merupakan wewenang absolut Bawaslu dan PTUN. A contrario, PN Jakpus tak berwenang mengadili gugatan yang dilayangkan oleh Partai Prima tersebut. Akibatnya, Putusan PN Jakpus tersebut “batal demi hukum” dan harus dianggap tidak pernah ada. Sebab dianggap tidak pernah ada, maka putusan tersebut seyogianya batal dengan sendirinya tanpa perlu dilakukan tindakan pembatalan melalui proses banding ke pengadilan tinggi.
Lalu bagaimana dengan Putusan 90/2023? Terhadap Putusan ini, asas res judicata seyogianya tak berlaku juga. Sebab, ada indikasi kuat adanya konflik kepentingan Ketua MK, Anwar Usman, yang melibatkan diri dalam rapat permusyawarahan hakim dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 tersebut. Padahal, hakim yang memiliki konflik kepentingan dalam suatu perkara seharusnya ia mundur dan tidak ikut memeriksa perkara tersebut. Hal ini sesuai dengan asas hukum nemo judex idoneus in propria causa (asas nemo judex) yang bermakna bahwa seorang hakim tidak boleh memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang terkait dengan kepentingan dirinya.
Asas tersebut menjadi dasar filosofis (ratio legis) ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam konteks Putusan 90/2023, Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa seorang hakim wajib mundur apabila memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diperiksanya.
Kata wajib bermakna bahwa seorang hakim tak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang terkait dengan kepentingan dirinya. Akibatnya, apabila seorang hakim yang tak berwenang tetap memeriksa dan mengadili, maka putusannya “batal demi hukum”. Batal demi hukum berarti bahwa Putusan 90/2023 secara hukum harus dianggap tidak pernah ada. Putusan yang batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada, batal dengan sendirinya tanpa perlu dilakukan tindakan pembatalan. Oleh sebab itu, Pasal 17 ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa putusan tidak sah dan terhadap perkara itu berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (7) UU Kekuasaan Kehakiman harus dilakukan pemeriksaan ulang.
Ketentuan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman yang berakar pada prinsip nemo judex tersebut, seharusnya mengesampingkan keberlakuan asas res judicata yang dijadikan dasar penguat dan pembenar bahwa Putusan 90/2023 final and binding sehingga tak dapat diganggu gugat dan dipertanyakan ulang. Artinya bahwa demi hukum (keadilan), Putusan 90/2023 wajib tidak dilaksanakan dan perkara tersebut wajib pula diperiksa dan diputus ulang tanpa adanya Anwar Usman di dalamnya.
Resep Konstitusional
Mendudukkan Putusan 90/2023 secara tepat pada posisinya sebagaimana telah terurai di atas, yaitu batal demi hukum, bukan hanya dapat dibatalkan sejauh ini masih gagal dibangun oleh berbagai pendapat para pengamat hukum yang muncul di berbagai media. Akibatnya, silang pendapat tak kunjung menemukan dan menawarkan resep (preskripsi) yang seyogianya dapat diberikan oleh ilmu hukum sebagai sebuah ilmu terapan.
Bayangkan, Putusan 90/2023 yang telah melukai rasa keadilan publik dan merupakan produk majelis hakim dimana salah satu hakimnya tak memiliki kewenangan (onbevoegd) dikatakan sah secara hukum selama belum ada tindakan pembatalan. Pendapat yang demikian menjadi akar perdebatan panas yang tak dapat memberikan solusi penyelesaian yang tepat secara hukum. Pendapat seperti itu akan berujung pada jalan buntu, yaitu Putusan MK bersifat final and binding.
Padahal, final and binding (res judicata) itu apabila putusan tersebut merupakan produk dari hakim yang memang punya wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Sedangkan Putusan 90/2023, ada hakim konstitusi Anwar Usman yang memiliki hubungan kekeluargaan dan/atau memiliki konflik kepentingan dengan Gibran Rakabuming Raka yang kemudian mencalonkan diri sebagai cawapres berpasangan dengan Capres Prabowo Subianto dengan berpijak pada Putusan tersebut.
Tampak, bagaimana dampak nyata apabila kita salah memahami dan menerapkan konsep hukum. Kekeliruan menerapkan konsep hukum, yang seharusnya “batal demi hukum”, bukan “dapat dibatalkan” menimbulkan kekacauan yang tak berujung. Ilmu hukum sebagai ilmu terapan dan seharusnya dapat memberikan resep praktis terhadap setiap persoalan yang muncul seolah-olah menjadi sebuah ilmu yang tak berguna karena berbagai pendapat hukum yang gagal membedakan konsep hukum sehingga keliru pula dalam menerapkannya.
Padahal, apabila mendudukkan Putusan 90/2023 pada posisi yang tepat, yaitu bahwa ia sebagai sebuah produk yang dikeluarkan oleh majelis hakim dimana di dalamnya ada seorang hakim yang tak memiliki kewenangan (onbevoegd), maka penyelesaian (resepnya) sangatlah mudah. Karena diputus dengan melibatkan seorang hakim yang tak berwenang (onbevoegd), maka Putusan 90/2023 adalah “batal demi hukum” sehingga ia harus dianggap tidak pernah ada dan tak memiliki akibat hukum apa-apa. Artinya, Putusan tersebut wajib hukumnya diabaikan keberadaannya dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib menolak calon presiden dan/atau calon wakil presiden yang mendasarkan pendaftarannya pada Putusan 90/2023 yang sejak semula harus dianggap tak pernah ada tersebut.
Pendapat hukum dengan berdasar pada paradigma ilmu hukum sebagai sebuah ilmu yang ada dalam kerangka keadilan itulah yang harus dipegang dan diimpelementasikan oleh KPU. Jika tidak, penetapan pasangan calon yang mendasarkan pada Putusan 90/2023 tersebut juga tidak sah. Meskipun misalnya ia tetap lolos dalam proses pengaduan ke Bawaslu dan gugatan di PTUN, pasangan calon akan terus dibayang-bayangi status tidak sah. Pun demikian, meskipun pasangan calon tersebut misalnya terus melaju dan menjadi pemenang dalam kontestasi Pilpres 2024 ia tidak akan pernah legitimate.
Selain itu, apabila dalam konteks kasus ini KPU tetap menerima dan menetapkan pencalonan pasangan calon yang mendasarkan diri pada Putusan 90/2023, hal itu akan menjadi sebuah preseden buruk bagi kekuasaan peradilan ke depan. Sangat mungkin ke depan akan ada hakim-hakim yang akan mengulangi hal tersebut karena hari ini telah ada contoh bahwa "memutus tanpa wewenang putusannya tetap dianggap sah dan hanya dapat dibatalkan” bukan batal demi hukum.
Ke depan, bisa jadi akan muncul putusan-putusan dengan bertopeng dan menyalahgunakan penerapan asas res judicata yang akan menggasak habis keadilan. Dampak yang tentu saja sangat mengkhawatirkan dan sangat berbahaya bagi penegakan hukum (penegakan keadilan) ke depan.
Lebih dari itu, kekacauan nyata terjadi dan tercipta di depan mata kita hari ini. Kesalahan memahami dan menerapkan konsep hukum menimbulkan kesalahan-kesalahan pendapat berikutnya. Hal itu tersebut terbukti misalnya pada hari ini polemik terus terjadi mengenai sah tidak sahnya angket DPR kepada MK dan boleh tidaknya pembatalan Putusan 90/2023 oleh MKMK. Sebuah perdebatan dalam tataran legalitas formal yang tentu saja sia-sia dan oleh karenanya sebenarnya tak perlu terjadi dan tak perlu dilakukan jika seandainya setiap orang yang bergelar sarjana hukum tidak memberikan pendapat hukum yang keliru atas penilaian konstitusionalitas (kebasahan) Putusan 90/2023.
Seorang sarjana hukum tak mungkin akan berpendapat secara keliru seperti di atas, dimana daya rusak bagi keadilan sangat besar. Kekeliruan memahami dan menerapkan konsep dan prinsip hukum akan melanggengkan putusan, keputusan, dan/atau peraturan yang nyata-nyata bertentangan dengan keadilan. Padahal, produk kekuasaan yang berkarakter demikian tentu saja berseberangan dengan nurani publik dan sulit pula bagi publik untuk ikhlas menerima keberlakuannya. Dalam konteks tulisan ini, misalnya Putusan 90/2023 telah merampas rasa keadilan dengan baju legalitas formal bahwa Putusan MK bersifat final and binding.
Demikianlah seharusnya seorang sarjana hukum dalam berpendapat dan mengambil suatu kebijakan. Sebab, sarjana hukum hadir untuk keadilan bukan sebaliknya. Negeri ini, butuh sarjana hukum (sarjana keadilan) bukan sekedar sarjana undang-undang dan/atau sarjana putusan.
Sarjana keadilan akan menyuarakan pendapat yang berbasis pada paradigma hukum yang berkeadilan, bukan suara yang justru semakin mengacaukan persoalan hukum yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Sarjana hukum tidak akan memperdengarkan kicau yang tak sesuai eksistensinya, yakni keadilan. Berkenaan dengan hal ini, saya teringat dawuh salah satu guru saya, perusak tatanan dalam masyarakat itu adalah kicau burung yang tak sesuai jenisnya. Semoga tulisan kecil saya ini tak terkategorikan sebagai kicau burung yang tak sesuai jenisnya.
Sebagai penutup, selain KPU harus menolak pendaftaran pasangan calon yang mendasarkan pencalonannya pada Putusan 90/2023, sudah seharusnya MK demi menjaga marwahnya segera memeriksa, mengadili, dan memutus ulang perkara tersebut. Sebab, menunggu pembatalan” terhadap Putusan 90/2023 dengan mekanisme pengajuan permohonan ulang uji materi terhadap ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu dengan syarat alasan permohonan yang berbeda tentu saja memerlukan jalan yang panjang dan waktu lama. Sebuah mekanisme yang tak akan menjadi resep bagi kebutuhan hukum saat ini, yaitu pilpres 2024.
*) Adam Muhshi adalah Dosen Hukum Tata Negara Universitas Jember dan Anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum.
Di luar itu, polemik di berbagai media tak kalah serunya. Bahkan sudah ada beberapa pihak yang melaporkan dugaan terjadinya pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terutama Anwar Usman sebagai Ketua MK. Harapannya, tak sekadar jatuhnya sanksi etik terhadap yang bersangkutan tapi sekaligus dianulirnya Putusan 90/2023 oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Saat opini ini ditulis, MKMK sedang memeriksa laporan dugaan terjadinya pelanggaran etik dan rencananya akan memutusnya pada hari Selasa, tanggal 7 November 2023.
Tulisan ini dimaksudkan untuk merespons isu hukum di atas. Telaah akan dibatasi oleh 2 pertanyaan, yaitu bagaimana keabsahan Putusan MK 90/2023 dan apa resep (preskripsi) konstitusional atas putusan tersebut.
Keabsahan Putusan 90/2023
Semua produk kekuasaan tak dapat dilepaskan dari konsep wewenang yang mendasarinya. Setiap produk kekuasaan dikatakan sah secara hukum apabila orang atau lembaga yang mengeluarkannya memang memiliki kewenangan untuk itu. Konsekuensinya, terhadap semua produk kekuasaan berlaku pula konsep van rechtswege nietig (batal demi hukum), nietig (batal), dan vernietigbaar (dapat dibatalkan).
Formula tersebut tentu saja berlaku juga terhadap putusan kekuasaan yudisial. Secara umum, selama putusan peradilan didasarkan pada wewenang yang sah, maka keabsahannya dijamin oleh asas res judicata pro veritate habetur (asas res judicata). Berdasarkan asas ini, semua putusan peradilan harus dianggap benar atau absah selama belum dilakukan pembatalan terhadapnya.
Asas res judicata hadir mengamankan setiap putusan peradilan yang telah didasarkan kepada wewenang yang dimiliki. Jadi selama lembaga peradilan yang bersangkutan memiliki wewenang, maka putusannya harus dianggap benar berdasarkan asas res judicata tersebut. Putusan yang diamankan oleh asa res judicata ini, sifatnya hanya “dapat dibatalkan” yaitu ia batal sejak adanya tindakan pembatalan terhadapnya.
Dalam konteks putusan peradilan di lingkungan Mahkamah Agung, secara umum asas res judicata berakhir manakala suatu putusan pengadilan telah dianulir oleh putusan peradilan yang lebih tinggi. Artinya pembatalan terhadap suatu putusan peradilan hanya dapat dilakukan oleh putusan peradilan yang lebih tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
Namun, asas res judicata tidak berlaku apabila putusan peradilan dilakukan tanpa adanya dasar kewenangan. Putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan tanpa dasar wewenang (onbevoegd) berakibat “batal demi hukum”. Implikasinya, putusan tersebut dianggap tidak pernah ada dan terhadapnya tak berlaku asas res judicata.
Konstruksi yuridis ini pernah saya gunakan saat menyikapi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt (Putusan PN Jakpus) yang memerintahkan penundaan Pemilu 2024.
Terhadap Putusan PN Jakpus tersebut, saya berpendapat bahwa ia batal demi hukum. Oleh sebab itu, berbeda dengan beberapa ahli yang menyarankan KPU mengajukan banding, saya kala itu menyarankan KPU untuk terus melanjutkan tahapan pemilu tanpa perlu risau dengan adanya Putusan tersebut (Antaranews, Jumat 3 Maret 2023).
Mengapa demikian? Sebab, objek gugatan (sengketa proses pemilu) yang diajukan oleh Partai Prima merupakan wewenang absolut Bawaslu dan PTUN. A contrario, PN Jakpus tak berwenang mengadili gugatan yang dilayangkan oleh Partai Prima tersebut. Akibatnya, Putusan PN Jakpus tersebut “batal demi hukum” dan harus dianggap tidak pernah ada. Sebab dianggap tidak pernah ada, maka putusan tersebut seyogianya batal dengan sendirinya tanpa perlu dilakukan tindakan pembatalan melalui proses banding ke pengadilan tinggi.
Lalu bagaimana dengan Putusan 90/2023? Terhadap Putusan ini, asas res judicata seyogianya tak berlaku juga. Sebab, ada indikasi kuat adanya konflik kepentingan Ketua MK, Anwar Usman, yang melibatkan diri dalam rapat permusyawarahan hakim dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 tersebut. Padahal, hakim yang memiliki konflik kepentingan dalam suatu perkara seharusnya ia mundur dan tidak ikut memeriksa perkara tersebut. Hal ini sesuai dengan asas hukum nemo judex idoneus in propria causa (asas nemo judex) yang bermakna bahwa seorang hakim tidak boleh memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang terkait dengan kepentingan dirinya.
Asas tersebut menjadi dasar filosofis (ratio legis) ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam konteks Putusan 90/2023, Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa seorang hakim wajib mundur apabila memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diperiksanya.
Kata wajib bermakna bahwa seorang hakim tak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang terkait dengan kepentingan dirinya. Akibatnya, apabila seorang hakim yang tak berwenang tetap memeriksa dan mengadili, maka putusannya “batal demi hukum”. Batal demi hukum berarti bahwa Putusan 90/2023 secara hukum harus dianggap tidak pernah ada. Putusan yang batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada, batal dengan sendirinya tanpa perlu dilakukan tindakan pembatalan. Oleh sebab itu, Pasal 17 ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa putusan tidak sah dan terhadap perkara itu berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (7) UU Kekuasaan Kehakiman harus dilakukan pemeriksaan ulang.
Ketentuan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman yang berakar pada prinsip nemo judex tersebut, seharusnya mengesampingkan keberlakuan asas res judicata yang dijadikan dasar penguat dan pembenar bahwa Putusan 90/2023 final and binding sehingga tak dapat diganggu gugat dan dipertanyakan ulang. Artinya bahwa demi hukum (keadilan), Putusan 90/2023 wajib tidak dilaksanakan dan perkara tersebut wajib pula diperiksa dan diputus ulang tanpa adanya Anwar Usman di dalamnya.
Resep Konstitusional
Mendudukkan Putusan 90/2023 secara tepat pada posisinya sebagaimana telah terurai di atas, yaitu batal demi hukum, bukan hanya dapat dibatalkan sejauh ini masih gagal dibangun oleh berbagai pendapat para pengamat hukum yang muncul di berbagai media. Akibatnya, silang pendapat tak kunjung menemukan dan menawarkan resep (preskripsi) yang seyogianya dapat diberikan oleh ilmu hukum sebagai sebuah ilmu terapan.
Bayangkan, Putusan 90/2023 yang telah melukai rasa keadilan publik dan merupakan produk majelis hakim dimana salah satu hakimnya tak memiliki kewenangan (onbevoegd) dikatakan sah secara hukum selama belum ada tindakan pembatalan. Pendapat yang demikian menjadi akar perdebatan panas yang tak dapat memberikan solusi penyelesaian yang tepat secara hukum. Pendapat seperti itu akan berujung pada jalan buntu, yaitu Putusan MK bersifat final and binding.
Padahal, final and binding (res judicata) itu apabila putusan tersebut merupakan produk dari hakim yang memang punya wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Sedangkan Putusan 90/2023, ada hakim konstitusi Anwar Usman yang memiliki hubungan kekeluargaan dan/atau memiliki konflik kepentingan dengan Gibran Rakabuming Raka yang kemudian mencalonkan diri sebagai cawapres berpasangan dengan Capres Prabowo Subianto dengan berpijak pada Putusan tersebut.
Tampak, bagaimana dampak nyata apabila kita salah memahami dan menerapkan konsep hukum. Kekeliruan menerapkan konsep hukum, yang seharusnya “batal demi hukum”, bukan “dapat dibatalkan” menimbulkan kekacauan yang tak berujung. Ilmu hukum sebagai ilmu terapan dan seharusnya dapat memberikan resep praktis terhadap setiap persoalan yang muncul seolah-olah menjadi sebuah ilmu yang tak berguna karena berbagai pendapat hukum yang gagal membedakan konsep hukum sehingga keliru pula dalam menerapkannya.
Padahal, apabila mendudukkan Putusan 90/2023 pada posisi yang tepat, yaitu bahwa ia sebagai sebuah produk yang dikeluarkan oleh majelis hakim dimana di dalamnya ada seorang hakim yang tak memiliki kewenangan (onbevoegd), maka penyelesaian (resepnya) sangatlah mudah. Karena diputus dengan melibatkan seorang hakim yang tak berwenang (onbevoegd), maka Putusan 90/2023 adalah “batal demi hukum” sehingga ia harus dianggap tidak pernah ada dan tak memiliki akibat hukum apa-apa. Artinya, Putusan tersebut wajib hukumnya diabaikan keberadaannya dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib menolak calon presiden dan/atau calon wakil presiden yang mendasarkan pendaftarannya pada Putusan 90/2023 yang sejak semula harus dianggap tak pernah ada tersebut.
Pendapat hukum dengan berdasar pada paradigma ilmu hukum sebagai sebuah ilmu yang ada dalam kerangka keadilan itulah yang harus dipegang dan diimpelementasikan oleh KPU. Jika tidak, penetapan pasangan calon yang mendasarkan pada Putusan 90/2023 tersebut juga tidak sah. Meskipun misalnya ia tetap lolos dalam proses pengaduan ke Bawaslu dan gugatan di PTUN, pasangan calon akan terus dibayang-bayangi status tidak sah. Pun demikian, meskipun pasangan calon tersebut misalnya terus melaju dan menjadi pemenang dalam kontestasi Pilpres 2024 ia tidak akan pernah legitimate.
Selain itu, apabila dalam konteks kasus ini KPU tetap menerima dan menetapkan pencalonan pasangan calon yang mendasarkan diri pada Putusan 90/2023, hal itu akan menjadi sebuah preseden buruk bagi kekuasaan peradilan ke depan. Sangat mungkin ke depan akan ada hakim-hakim yang akan mengulangi hal tersebut karena hari ini telah ada contoh bahwa "memutus tanpa wewenang putusannya tetap dianggap sah dan hanya dapat dibatalkan” bukan batal demi hukum.
Ke depan, bisa jadi akan muncul putusan-putusan dengan bertopeng dan menyalahgunakan penerapan asas res judicata yang akan menggasak habis keadilan. Dampak yang tentu saja sangat mengkhawatirkan dan sangat berbahaya bagi penegakan hukum (penegakan keadilan) ke depan.
Lebih dari itu, kekacauan nyata terjadi dan tercipta di depan mata kita hari ini. Kesalahan memahami dan menerapkan konsep hukum menimbulkan kesalahan-kesalahan pendapat berikutnya. Hal itu tersebut terbukti misalnya pada hari ini polemik terus terjadi mengenai sah tidak sahnya angket DPR kepada MK dan boleh tidaknya pembatalan Putusan 90/2023 oleh MKMK. Sebuah perdebatan dalam tataran legalitas formal yang tentu saja sia-sia dan oleh karenanya sebenarnya tak perlu terjadi dan tak perlu dilakukan jika seandainya setiap orang yang bergelar sarjana hukum tidak memberikan pendapat hukum yang keliru atas penilaian konstitusionalitas (kebasahan) Putusan 90/2023.
Seorang sarjana hukum tak mungkin akan berpendapat secara keliru seperti di atas, dimana daya rusak bagi keadilan sangat besar. Kekeliruan memahami dan menerapkan konsep dan prinsip hukum akan melanggengkan putusan, keputusan, dan/atau peraturan yang nyata-nyata bertentangan dengan keadilan. Padahal, produk kekuasaan yang berkarakter demikian tentu saja berseberangan dengan nurani publik dan sulit pula bagi publik untuk ikhlas menerima keberlakuannya. Dalam konteks tulisan ini, misalnya Putusan 90/2023 telah merampas rasa keadilan dengan baju legalitas formal bahwa Putusan MK bersifat final and binding.
Demikianlah seharusnya seorang sarjana hukum dalam berpendapat dan mengambil suatu kebijakan. Sebab, sarjana hukum hadir untuk keadilan bukan sebaliknya. Negeri ini, butuh sarjana hukum (sarjana keadilan) bukan sekedar sarjana undang-undang dan/atau sarjana putusan.
Sarjana keadilan akan menyuarakan pendapat yang berbasis pada paradigma hukum yang berkeadilan, bukan suara yang justru semakin mengacaukan persoalan hukum yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Sarjana hukum tidak akan memperdengarkan kicau yang tak sesuai eksistensinya, yakni keadilan. Berkenaan dengan hal ini, saya teringat dawuh salah satu guru saya, perusak tatanan dalam masyarakat itu adalah kicau burung yang tak sesuai jenisnya. Semoga tulisan kecil saya ini tak terkategorikan sebagai kicau burung yang tak sesuai jenisnya.
Sebagai penutup, selain KPU harus menolak pendaftaran pasangan calon yang mendasarkan pencalonannya pada Putusan 90/2023, sudah seharusnya MK demi menjaga marwahnya segera memeriksa, mengadili, dan memutus ulang perkara tersebut. Sebab, menunggu pembatalan” terhadap Putusan 90/2023 dengan mekanisme pengajuan permohonan ulang uji materi terhadap ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu dengan syarat alasan permohonan yang berbeda tentu saja memerlukan jalan yang panjang dan waktu lama. Sebuah mekanisme yang tak akan menjadi resep bagi kebutuhan hukum saat ini, yaitu pilpres 2024.
*) Adam Muhshi adalah Dosen Hukum Tata Negara Universitas Jember dan Anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum.