Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pengoperasian PLTS terapung Cirata, Jawa Barat menjadi tonggak akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya untuk dekarbonisasi kelistrikan di Indonesia.

"Seiring dengan semakin menurunnya biaya investasi PLTS, maka menjadikannya sebagai pembangkit energi terbarukan termurah saat ini. Indonesia harus mengoptimalkan potensi teknis PLTS yang mencapai 3,7 TWp sampai dengan 20 TWp untuk mendukung tercapainya target puncak emisi sektor kelistrikan di 2030, dengan biaya termurah," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Pemerintah pada Kamis ini meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata yang berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat berkapasitas 145 MW(ac) atau 192 MW(p).

Dengan peresmian PLTS terapung di Cirata, kini Indonesia menjadi lokasi PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, yang sebelumnya dipegang oleh PLTS terapung Tengeh di Singapura.

IESR juga mendorong pemerintah dan PLN untuk memanfaatkan potensi teknis PLTS terapung yang mencapai 28,4 GW dari 783 lokasi badan air di Indonesia untuk akselerasi pemanfaatan PLTS.

Data Kementerian ESDM menunjukkan adanya potensi PLTS terapung skala besar yang dapat dikembangkan setidaknya di 27 lokasi badan air yang memiliki pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dengan total potensi mencapai 4,8 GW dan setara dengan investasi sebesar 3,84 miliar dolar AS (Rp55,15 triliun).



"Pemanfaatan potensi PLTS terapung ini akan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dan meraih target net zero emission (NZE) lebih cepat dari tahun 2060," kata Fabby.

Pemerintah dan PLN, lanjut dia, harus mengoptimalkan potensi PLTS terapung dengan menciptakan kerangka regulasi yang menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi di pembangkit tersebut.

Salah satunya, dengan memberikan tingkat pengembalian investasi sesuai profil risiko tetapi menarik dan mengurangi beban tambahan dalam mengelola investasi.

Selain itu, ia mengatakan pemerintah perlu memperhatikan skema penugasan PLN kepada anak perusahaannya, yang selama ini menjadi opsi prioritas pengembangan PLTS terapung.

Melalui skema tersebut, anak perusahaan mencari pihak yang bersedia untuk berinvestasi atau equity investor untuk kepemilikan minoritas tetapi harus mau menanggung porsi equity yang lebih besar melalui pinjaman pemegang saham (shareholder loan).

"Skema ini menguntungkan PLN tetapi memangkas pengembalian investasi bagi investor dan beresiko pada bankability proyek dan minat pemberi pinjaman. Skema ini juga dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat di antara para pelaku usaha, karena hanya mereka yang punya ekuitas besar saja yang bisa bermitra dengan PLN, dan mayoritas investor asing. Hal ini dapat berdampak pada minat investasi secara keseluruhan," ucap Fabby.

Solusinya, menurut Fabby, membutuhkan dukungan pemerintah dengan cara pemerintah memperkuat permodalan PLN dan anak perusahaannya melalui penyertaan modal negara (PMN) khusus untuk pengembangan energi terbarukan dan/atau memberikan pinjaman konsesi kepada PLN melalui PT SMI yang kemudian dapat dikonversi sebagai kepemilikan saham pada proyek PLTS terapung.

Dengan demikian, Indonesia dapat meraup potensi investasi dan listrik yang rendah emisi dari PLTS terapung dengan dukungan regulasi yang pasti dan mengikat dari pemerintah.

Pada Juli 2023, pemerintah telah menerbitkan Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan yang tidak lagi membatasi luasan badan air di waduk yang dapat dimanfaatkan untuk PLTS terapung di angka 5 persen.

"Peraturan tersebut membuka peluang pengembangan PLTS terapung dengan skala yang lebih besar, dengan catatan bila menggunakan luasan badan air lebih dari 20 persen perlu mendapatkan rekomendasi dari Komisi Keamanan Bendungan," ujar Fabby.

 

Pewarta : Benardy Ferdiansyah
Editor : Andriy Karantiti
Copyright © ANTARA 2024