Jakarta (ANTARA) - Banyak negara Timur Tengah yang mendamba peran mediator perdamaian, tapi sejauh ini hanya Qatar yang menampilkan diri sebagai mediator yang bisa memecahkan masalah dan diterima oleh semua kalangan.

Tak heran, dalam beberapa tahun terakhir, Qatar efektif menengahi konflik di dunia, mulai Ukraina, Lebanon, Sudan, Iran, Afghanistan, sampai perjanjian jeda kemanusiaan di Jalur Gaza antara Hamas dan Israel yang disepakati pekan lalu.

Sebelum sukses menengahi Hamas dan Israel, adalah juga Qatar yang menengahi Amerika Serikat dan Taliban pada 2020.

Kemunculan negara yang dipimpin Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani itu sebagai mediator internasional terkemuka menarik untuk dipelajari.

Selama ini pakar-pakar hubungan internasional meyakini negara yang memiliki hard power kuat, adalah pihak yang bisa mempengaruhi setiap keputusan menyangkut masalah-masalah global.

Faktanya, hampir tak ada platform kerja sama multilateral yang tak diprakarsai dan dikuatkan oleh negara besar. Demikian juga dalam resolusi dan mediasi konflik.

Sebelum ini, mediasi konflik menjadi domain negara besar.

Pandangan itu didasarkan kepada logika bahwa negara besar memiliki modal dan kapasitas untuk memaksa aktor-aktor yang terlibat konflik untuk mengimplementasikan solusi konflik.

Namun, dalam puluhan tahun terakhir, pandangan itu tak terlalu relevan, karena negara-negara kecil, seperti Qatar memiliki kapasitas yang sama efektifnya dengan negara besar dalam memediasi konflik.

Qatar sendiri sukses membangun kehadirannya dalam peta politik global setelah memediasi berbagai konflik.

Sampai era 1990-an, Qatar masih di bawah bayang-bayang Arab Saudi, tapi sejak awal ke-21, Qatar meningkatkan keterlibatan internasional negara itu pada tingkat yang membuatnya tak boleh lagi disebut tergantung Saudi.

Putaran Doha 2001 yang menjadi rangkaian perundingan dagang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menjadi terobosan untuk keterlibatan internasional Qatar.

Tahun-tahun berikutnya, keterlibatan internasional negara kaya minyak dan gas itu, semakin besar.

Krisis Lebanon 2008 akibat konflik sektarian yang akut, adalah salah satu konflik besar yang sukses didamaikan berkat mediasi Qatar.

Qatar juga yang membuat Hamas dan Fatah sepakat membentuk pemerintah persatuan di Palestina, lewat Perjanjian Doha 2012, walau kemudian tak bisa diimplementasikan.

Negara itu memediasi Amerika Serikat dan Taliban sampai keduanya menyepakati gencatan senjata pada 2020, yang menjadi prolog untuk penarikan pasukan AS dari Afganistan pada 2021, dan berkuasanya lagi Taliban.

Qatar juga aktif memfasilitasi solusi konflik di Ukraina. Pertengahan Oktober 2023 Qatar menyatakan berhasil mendapatkan komitmen Rusia mengenai pemulangan anak-anak Ukraina yang dibawa paksa ke Rusia.


Diterima semua pihak

Dari konflik-konflik itu, terlihat Qatar diterima semua pihak yang nyaman difasilitasi negara kaya raya itu, termasuk Israel yang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Qatar.

Kenyamanan pihak-pihak asing itu sendiri buah dari netralitas Qatar.

Bayangkan, negara ini di satu sisi bisa menampung tokoh-tokoh Islam politik yang membuat alergi kebanyakan negara Arab, tapi di sisi lain menjadi pangkalan militer AS.

Tak ada negara Arab yang sikap politiknya demikian independen seperti Qatar. Tak heran, baik Rusia maupun Ukraina, baik Hamas maupun Israel, baik Amerika Serikat maupun Taliban, baik junta dan anti-junta di Afrika, bersedia difasilitasi Qatar.

Ada cerita menarik di balik perjanjian jeda kemanusiaan di Jalur Gaza yang memperlihatkan nilai plus Qatar.

Mengutip laporan harian Inggris, The Guardian, Qatar sebenarnya bersaing dengan Oman dan Turki guna menjadi penengah bagi Hamas dan Israel.

Turki sudah menawarkan diri menjadi mediator, tapi negara-negara Arab tak nyaman dengan Turki, baik karena latar belakang historis maupun faktor politik. Negara-negara Arab lebih nyaman dengan sesama Arab.

Untuk itu Oman yang menawarkan diri menjadi mediator Hamas-Israel pun langsung menjadi pilihan mereka.

Masalahnya, Hamas tak mungkin memilih Oman, meskipun negara ini netral sampai menjadi salah satu tempat yang memfasilitasi perundingan normalisasi hubungan diplomatik antara Saudi dan Iran. Oman sulit menjadi mediator karena tak punya pengaruh terhadap Hamas.

Sebaliknya, Qamas lebih diterima oleh Hamas yang memang tergantung secara politik dan finansial kepada negara yang menjadi salah satu dari empat negara terkaya di dunia.

Qatar-lah yang menampung pemimpin-pemimpin Hamas ketika terusir dari Suriah pada 2012, setelah Hamas menentang pemerintah Bashar al-Assad dalam perang saudara Suriah.

Uang dari Qatar juga yang membantu pemerintahan di Jalur Gaza terus berjalan.

Israel sendiri tak terlalu mempercayai Qatar, tapi negara itu sebenarnya memelihara kontak dengan Qatar, lewat kantor dagang. Alhasil, Qatar dipilih menjadi mediator.

Lagi pula, AS yang memiliki pangkalan di Qatar, sulit menolak Qatar. Sudah begitu, resume Qatar dalam memfasilitasi perundingan damai terlalu menarik untuk diabaikan.


Komitmen finansial

Namun, kadang-kadang sikap Qatar yang menerima siapa pun, dari Hamas, Ikhwanul Muslimin, sampai Taliban dan tokoh-tokoh Islam politik di Timur Tengah, membuat marah tetangga-tetangganya di Teluk.

Kemarahan itu pernah memuncak menjadi konflik diplomatik dengan Arab Saudi yang disusul dengan Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir, terutama karena simpati Qatar kepada revolusi Arab Spring yang menumbangkan sejumlah diktator di Timur Tengah.

Qatar juga dikritik karena dekat dengan Iran dan Turki yang tak terlalu dipercayai banyak negara Arab.

Baru pada 2021, konflik diplomatik antara Qatar dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya berakhir.

Semua itu ternyata makin menguatkan citra netral Qatar, sehingga makin dilihat sebagai mediator paling pas untuk menegosiasikan apa pun, termasuk jeda kemanusiaan di Jalur Gaza antara Hamas dan Israel, baru-baru ini.

Kelebihan lain Qatar adalah kemampuannya dalam memberikan komitmen finansial kepada pihak-pihak berkonflik untuk memulihkan atau rekonstruksi pascakonflik.

Dalam proses mediasi sendiri, rekonstruksi pascakonflik memang sangat penting dan harus diutamakan.

Sejumlah penelitian menunjukkan mediasi yang disertai komitmen membantu secara finansial pihak-pihak terlibat konflik, menjadi mediasi yang selalu lebih baik hasilnya.

Qatar sendiri tidak hanya menjembatani pihak-pihak bertikai, namun juga menjanjikan bantuan untuk yang berkonflik.

Di Afghanistan, misalnya, Qatar memberikan bantuan senilai 50 juta dolar AS (Rp771 miliar) untuk pemerintah Taliban, selain 188 ton pangan dan obat-obatan, serta mengirimkan teknisi untuk memperbaiki Bandara Internasional Kabul.

Qatar juga menjadi salah satu donatur besar untuk Palestina. Untuk Jalur Gaza saja, dari 2012-2018, Qatar memberikan bantuan sebesar 1 miliar dolar AS (Rp15,4 triliun).

Demikian pula dengan Lebanon yang setelah perjanjian 2008 mendapatkan bantuan Qatar dalam mendanai proyek-proyek rekonstruksi Lebanon.

Dengan cara itu, daya tarik Qatar di mata negara-negara atau pihak-pihak yang diperantarai negara Teluk itu menjadi kian tinggi.

Qatar mengajarkan bahwa untuk menjadi mediator yang efektif, modalnya adalah netralitas dan kesanggupan membantu secara finansial pihak-pihak bertikai.

Tanpa dua hal itu sulit menjadi penengah yang baik, sehingga mendamaikan pihak-pihak bertikai pun menjadi lebih sulit.

 

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Andriy Karantiti
Copyright © ANTARA 2024