Palu (antarasulteng.com) - Sidang perdana atas permohonan peninjauan kembali (PK) perkara tindak pidana korupsi yang dimohonkan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Parigi Moutong, Ekka Pontoh digelar di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Palu, Senin (13/3).
Ekka Pontoh adalah terpidana dalam kasus dugaan korupsi perencanaan empat dermaga wisata di Kabupaten Parigi Moutong saat ia menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika di daerah tersebut.
PK diajukan setelah dirinya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dan dihukum dengan pidana penjara selama 6 tahun kemudian denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Vonis itu terbalik dibanding putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Palu yang menyatakan ia tidak terbukti bersalah dan divonis bebas.
Pantauan di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Palu Ekka Pontoh hadir dengan didampingi dua penasihat hukumnya, Burhanudin Ranreng dan Ismail. Dalam sidang itu, dua penasihat hukumnya membacakan memori PK secara bergantian.
Selain membacakan memori, dalam sidang yang berlangsung sekitar 1 jam dan dipimpin majelis hakim, Djamaludin Ismail itu pihak pemohon PK juga mengajukan sejumlah alat bukti baru atau novum. Bukti baru itu diantaranya terkait adanya temuan tanda tangan yang dituduhkan kepada Ekka Pontoh dalam kasus itu ternyata palsu.
Selain dihadiri oleh pemohon PK, sidang itu juga dihadiri jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Parigi Moutong. Dalam sidang itu, jaksa Farhan juga mengajukan Tanggapan atas memori PK oleh Ekka Pontoh.
Sementara usai mendengarkan pembacaan memori PK dan tanggapan jaksa, sidang PK tersebut ditunda dan akan kembali digelar pada, Selasa (14/3).
Dijadwalkan sidang lanjutan itu akan digelar dengan agenda pemeriksaan saksi yang diajukan oleh Ekka Pontoh.
Diketahui sebelumnya, dalam sidang yang berlangsung pada Februari 2015 di Pengadilan Tipikor Palu terdakwa divonis bebas oleh hakim. Atas vonis bebas itu, jaksa penuntut umum (JPU) melakukan Kasasi ke MA. Atas kasasi itu, MA mengabulkan permohonan JPU dengan membatalkan putusan Hakim Tipikor Palu dan
menyatakan Ekka Pontoh bersalah serta dihukum dengan pidana penjara yang juga lebih tinggi dibanding tuntutan JPU. (Mohamad Hamzah)
Ekka Pontoh adalah terpidana dalam kasus dugaan korupsi perencanaan empat dermaga wisata di Kabupaten Parigi Moutong saat ia menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika di daerah tersebut.
PK diajukan setelah dirinya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dan dihukum dengan pidana penjara selama 6 tahun kemudian denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Vonis itu terbalik dibanding putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Palu yang menyatakan ia tidak terbukti bersalah dan divonis bebas.
Pantauan di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Palu Ekka Pontoh hadir dengan didampingi dua penasihat hukumnya, Burhanudin Ranreng dan Ismail. Dalam sidang itu, dua penasihat hukumnya membacakan memori PK secara bergantian.
Selain membacakan memori, dalam sidang yang berlangsung sekitar 1 jam dan dipimpin majelis hakim, Djamaludin Ismail itu pihak pemohon PK juga mengajukan sejumlah alat bukti baru atau novum. Bukti baru itu diantaranya terkait adanya temuan tanda tangan yang dituduhkan kepada Ekka Pontoh dalam kasus itu ternyata palsu.
Selain dihadiri oleh pemohon PK, sidang itu juga dihadiri jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Parigi Moutong. Dalam sidang itu, jaksa Farhan juga mengajukan Tanggapan atas memori PK oleh Ekka Pontoh.
Sementara usai mendengarkan pembacaan memori PK dan tanggapan jaksa, sidang PK tersebut ditunda dan akan kembali digelar pada, Selasa (14/3).
Dijadwalkan sidang lanjutan itu akan digelar dengan agenda pemeriksaan saksi yang diajukan oleh Ekka Pontoh.
Diketahui sebelumnya, dalam sidang yang berlangsung pada Februari 2015 di Pengadilan Tipikor Palu terdakwa divonis bebas oleh hakim. Atas vonis bebas itu, jaksa penuntut umum (JPU) melakukan Kasasi ke MA. Atas kasasi itu, MA mengabulkan permohonan JPU dengan membatalkan putusan Hakim Tipikor Palu dan
menyatakan Ekka Pontoh bersalah serta dihukum dengan pidana penjara yang juga lebih tinggi dibanding tuntutan JPU. (Mohamad Hamzah)