Solor (ANTARA) - Zakarias Daton Sinu berjalan cepat menuju ke arah perkebunan kopi yang berjarak 1 kilometer dari rumahnya. Pria 72 tahun itu mengenakan jaket cokelat dengan ujung celana dimasukkan ke dalam sepatu boot berwarna kuning. Topi hitam di kepalanya bertuliskan "Kopi Lamaole Robusta Solor Coffee".

 

Dengan napas terengah-engah, pria lanjut usia itu menebas beberapa rumput liar di bawah pohon kopi miliknya. Tangannya terampil mematahkan tunas-tunas baru. Raut wajahnya serius. Sesekali ia membuang napas panjang di tengah cuaca yang dingin.

Zakarias merupakan salah seorang warga Kampung Lamaole, Desa Lewotanah Ole,  Kecamatan Solor Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menjaga tanaman kopi seperti menjaga anak sendiri. Ia menanam kopi sejak tahun 1968. Selama 56 tahun ia menjalani rutinitas sebagai petani kopi.

Tanaman kopi di Kampung Lamaole, Desa Lewotanah Ole tumbuh subur di ketinggian 450-500 meter di atas permukaan laut. Bibit kopi itu dibawa dari wilayah Hokeng, Kecamatan Wulanggitang, pada tahun 1966. Setelah 2 tahun ditanam dalam kebun milik pemerintah desa, Zakarias mengambil anakan baru yang tumbuh dari beberapa pohon yang sudah ada terdahulu. Ia pun menanam anakan itu di kebunnya sendiri.

Zakarias sangat memperhatikan pertumbuhan pohon-pohon kopi miliknya. Setiap pukul 06.00,  ia pergi ke kebun kopi untuk menebas rumput liar atau mematahkan tunas-tunas baru. Tunas yang baru mesti dipatahkan, agar dahan pohon tidak menjulang terlalu tinggi. Cara sederhana itu diyakini dapat membuat buah kopi itu sehat dan besar.

Selama berpuluh-puluh tahun, Zakarias dan beberapa warga menjadikan kebun kopi sebagai salah satu sumber penghasilan keluarga. Namun, hasil kopi itu hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga atau sebagai buah tangan ke keluarga. Jika ada stok lebih, kopi dijual ke desa tetangga. Kopi biji dibanderol dengan harga Rp25 ribu per kilogram. Produksi kopi pun tak banyak, sekitar 15 kg hingga 20 kg saja per sekali panen. Padahal, dulunya produksi kopi dari desa itu bisa mencapai 100 kg.

Zakarias Daton Sinu (72), petani kopi dari Kampung Lamaole, Desa Lewotana Ole, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT. ANTARA/Dokumentasi Pribadi


Promosi kopi

Upaya mempromosikan kopi robusta dari Kampung Lamaole dilakukan oleh Rumah Hanasta, sebuah kedai kopi dan taman baca milik seorang anak muda asli Solor bernama Edo Sogen (34).

Pertama kali jenama Kopi Lamaole diangkat dalam Festival Bale Nagi yang menjadi Kharisma Event Nusantara dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur, pada tanggal 2 April hingga 6 April 2024.

Dalam festival itu, Rumah Hanasta membawa 25 bungkus Kopi Lamaole berukuran 125 gram, 18 bungkus berukuran 60 gram, dan 1 kg green bean. Siapa sangka kopi robusta ini laris manis karena diburu pengunjung. Pada hari keempat pelaksanaan festival, semua jenis kopi beragam ukuran tersebut ludes terjual.

Pascafestival, kedai kopi dan taman bacaan tersebut menilai pesona kopi tersebut telah menarik hati para pecinta kopi dari seluruh Indonesia. Pesanan dari luar wilayah NTT pun membeludak. Kedai itu kembali menyadari bahwa kehadiran merek kopi itu tak sebatas promosi pada momen festival.

Dengan adanya permintaan yang tinggi, kini pekerjaan rumah utama dari kedai kopi itu adalah memperkuat sisi hulu atau kapasitas petani kopi. Kedai tersebut meyakini pola perawatan dan proses pascapanen yang baik yang akan menentukan mutu kopi.

Dukungan Pemerintah

Tanaman kopi mulai dibudidayakan di Desa Lewotanah Ole pada tahun 1966 di kebun milik pemerintah desa seluas satu hektare dekat areal mata air. Sejak saat itu, Pemerintah Desa Lewotana Ole mengklaim sudah melakukan upaya pengembangan kopi.

Namun, aparat desa menilai hasil kopi, baik dari sisi kualitas dan kuantitas, belum mampu memenuhi standar pasar. Hasil dari kopi itu memang tidak dijual ke luar dalam jumlah besar. Bahkan, produksi kopi dinilai tidak menghasilkan sehingga para petani tidak terlalu fokus mengurus kebun kopi.

Pemerintah desa memberikan apresiasi kepada Rumah Hanasta atas dukungan untuk mempromosikan kopi dari Kampung Lamaole sehingga kini bisa dikenal oleh masyarakat luas. Dalam rencana jangka panjang, Pemerintah Desa Lewotanah Ole berkomitmen untuk bekerja sama dengan kedai kopi itu untuk melakukan penguatan kapasitas petani agar dapat menghasilkan kopi yang berkualitas dalam jumlah yang banyak.

Penguatan kapasitas petani yang dimaksud yakni pelatihan bagi para petani kopi dan memenuhi fasilitas yang dibutuhkan oleh petani. Pemerintah Desa Lewotanah Ole menjanjikan adanya anggaran tersebut pada tahun 2025 mendatang. Penguatan sumber daya manusia di sisi hulu dinilai sebagai hal paling penting dari keseluruhan upaya pengembangan kopi ke depan.


Mengubah kesan

Kehadiran Kopi Lamaole secara tiba-tiba mengubah kesan warga luar terhadap Pulau Solor. Wilayah yang sering dianggap gersang dan kering itu ternyata memiliki potensi kopi robusta dengan cita rasa nikmat yang telah menarik minat para pecinta kopi Indonesia.

Pekerjaan rumah besar kini menanti. Di tengah permintaan kopi yang tinggi, ada beberapa hal yang menjadi perhatian bersama yakni penguatan sumber daya manusia di sisi hulu, serta akses jalan dan telekomunikasi pada desa yang berjarak 20 km dari Pelabuhan Podor, Desa Lewohedo, Solor Timur.

Secara umum masyarakat masih kesulitan memasarkan hasil pertanian dengan cepat karena akses jalan yang tak mudah. Jalan rusak dan berlubang masih dijumpai pada beberapa ruas jalan. Tak hanya itu, wilayah tersebut tidak memiliki jaringan Internet sehingga pemasaran digital yang digadang-gadang Pemerintah tentu belum bisa berjalan optimal dan maksimal.


Cita rasa asli

Zakarias menghela napas dan menatap pohon kopi yang telah ia jaga selama puluhan tahun. Ia menyadari potensi kopi sangat besar sehingga butuh kerja sama semua pihak dalam mengelola kebun, terutama masyarakat. Ia ingin warga tekun merawat kebun kopi agar dapat dipromosikan lebih luas lagi.

Tak hanya itu, masyarakat juga membutuhkan fasilitas yang dapat menunjang dan mempermudah kerja pengelolaan kopi, seperti mesin penggiling. Pemerintah desa pun harus lebih tanggap dalam melihat prioritas potensi desa sehingga pemanfaatan dana desa bisa lebih optimal.

Kini, sebuah kopi lokal hadir dengan bangga dari Pulau Solor, pulau yang sering disebut tertinggal. Kopi Lamaole dengan cita rasa asli Solor itu menebarkan aroma khas yang tak kalah berkelas dari wilayah penghasil kopi lainnya di Flores.

Momen Festival Bale Nagi 2024 menjadi titik awal memperkenalkan Kopi Lamaole itu kepada publik. Kini "mutiara hitam" Kopi Lamaole dari Pulau Solor itu siap mendunia.





 


 


Pewarta : Fransiska Mariana Nuka
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2024