Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Prof. Zuly Qodir mengatakan bahwa khilafah islamiah atau gagasan mendirikan negara Islam berbeda dengan akidah Islam.
“Kita harus bisa memisahkan antara gagasan khilafah islamiah atau gagasan negara Islam dengan bagaimana kita meyakini akidah Islam, yang menjadi pondasi utama untuk kaum Muslim,” kata Zuly dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan kelompok radikal seringkali mencampuradukkan antara prinsip akidah yang mutlak dan akidah yang ditafsirkan dengan fiqih siyasah atau politik. Padahal, keduanya merupakan hal yang berbeda.
“Ajaran khilafah islamiah atau seruan untuk mendirikan negara Islam adalah agenda politik dan merupakan bagian dari fiqih siyasah, fiqih yang membahas soal perpolitikan,” ujar dia.
Menurut Zuly, kekeliruan memahami perbedaan ini membuat kelompok Islam radikal dapat dengan mudah menggaungkan tegaknya negara Islam sebagai kesempurnaan beragama.
Ia menjelaskan modus operandi kelompok radikal sesungguhnya sudah jelas, yakni menyasar anak muda yang tidak belajar Islam dengan baik. Hal ini diperparah dengan penyampaian tafsir fiqih yang mengatakan bahwa khilafah islamiah merupakan bagian dari akidah atau syariat Islam.
"Pemikiran keliru itu berimbas pada adanya propaganda bahwa syariat Islam, termasuk mendirikan negara Islam, merupakan kewajiban dan akan dianggap berdosa jika tidak dijalankan," ujarnya.
Menurut dia, perdebatan tentang urgensi mendirikan negara Islam sudah selesai ketika pendiri bangsa sepakat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, minat masyarakat Islam di Indonesia terhadap gagasan pendirian negara Islam tidak besar.
“Tidak usah terlalu jauh tentang negara Islam atau khilafah islamiah, kita bisa lihat gagalnya partai-partai Islam di Indonesia untuk mendapatkan suara yang mayoritas dari konstituennya. Ini hanya salah satu bukti bahwa masyarakat Islam di Indonesia yang jumlahnya mencapai 87 persen dari total penduduk, tidak menjamin sebuah partai berideologi Islam bisa lolos electoral threshold (ambang batas elektoral),” ujar Zuly.
Dia menekankan pentingnya selektif dalam mencari guru ketika mempelajari Islam. Dalam hal ini, dia mencontohkan bahwa pengikut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) seringkali tidak jelas dasar keilmuannya dan justru menjadikan internet sebagai satu-satunya sumber ilmu.
“Hal ini tentu berbeda dengan organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua lembaga ini mengirimkan para kadernya untuk belajar di pondok pesantren hingga Islamic studies (kajian Islam) di perguruan tinggi ataupun di dalam kajian-kajian keislaman yang sifatnya intensif,” imbuh Zuly.
Ia juga menyoroti pentingnya belajar ilmu agama dan sejarah Islam secara menyeluruh. “Kita bisa merujuk kepada zaman kenabian di masa lalu. Tidak ada satu nabi pun yang mengatakan perlunya negara Islam, yang ada hanyalah negara atau masyarakat madani, negara yang beradab pada zaman Nabi Muhammad,” ucapnya.
“Kita harus bisa memisahkan antara gagasan khilafah islamiah atau gagasan negara Islam dengan bagaimana kita meyakini akidah Islam, yang menjadi pondasi utama untuk kaum Muslim,” kata Zuly dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan kelompok radikal seringkali mencampuradukkan antara prinsip akidah yang mutlak dan akidah yang ditafsirkan dengan fiqih siyasah atau politik. Padahal, keduanya merupakan hal yang berbeda.
“Ajaran khilafah islamiah atau seruan untuk mendirikan negara Islam adalah agenda politik dan merupakan bagian dari fiqih siyasah, fiqih yang membahas soal perpolitikan,” ujar dia.
Menurut Zuly, kekeliruan memahami perbedaan ini membuat kelompok Islam radikal dapat dengan mudah menggaungkan tegaknya negara Islam sebagai kesempurnaan beragama.
Ia menjelaskan modus operandi kelompok radikal sesungguhnya sudah jelas, yakni menyasar anak muda yang tidak belajar Islam dengan baik. Hal ini diperparah dengan penyampaian tafsir fiqih yang mengatakan bahwa khilafah islamiah merupakan bagian dari akidah atau syariat Islam.
"Pemikiran keliru itu berimbas pada adanya propaganda bahwa syariat Islam, termasuk mendirikan negara Islam, merupakan kewajiban dan akan dianggap berdosa jika tidak dijalankan," ujarnya.
Menurut dia, perdebatan tentang urgensi mendirikan negara Islam sudah selesai ketika pendiri bangsa sepakat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, minat masyarakat Islam di Indonesia terhadap gagasan pendirian negara Islam tidak besar.
“Tidak usah terlalu jauh tentang negara Islam atau khilafah islamiah, kita bisa lihat gagalnya partai-partai Islam di Indonesia untuk mendapatkan suara yang mayoritas dari konstituennya. Ini hanya salah satu bukti bahwa masyarakat Islam di Indonesia yang jumlahnya mencapai 87 persen dari total penduduk, tidak menjamin sebuah partai berideologi Islam bisa lolos electoral threshold (ambang batas elektoral),” ujar Zuly.
Dia menekankan pentingnya selektif dalam mencari guru ketika mempelajari Islam. Dalam hal ini, dia mencontohkan bahwa pengikut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) seringkali tidak jelas dasar keilmuannya dan justru menjadikan internet sebagai satu-satunya sumber ilmu.
“Hal ini tentu berbeda dengan organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua lembaga ini mengirimkan para kadernya untuk belajar di pondok pesantren hingga Islamic studies (kajian Islam) di perguruan tinggi ataupun di dalam kajian-kajian keislaman yang sifatnya intensif,” imbuh Zuly.
Ia juga menyoroti pentingnya belajar ilmu agama dan sejarah Islam secara menyeluruh. “Kita bisa merujuk kepada zaman kenabian di masa lalu. Tidak ada satu nabi pun yang mengatakan perlunya negara Islam, yang ada hanyalah negara atau masyarakat madani, negara yang beradab pada zaman Nabi Muhammad,” ucapnya.