Siang itu udara cukup gerah, pantas saja kalau beberapa orang, terutama yang berusia lanjut memilih berdiri di bawah rerimbunan pohon di tepian sungai untuk mencari angin.

Mereka bercakap-cakap dalam dialek Kanton, salah satu dialek Mandarin yang lazim dituturkan orang-orang yang berasal dari wilayah selatan China atau lazim dikenal dengan sebutan "Nanfang".

Nanfang tidak hanya berbeda topografi dengan wilayah utara, seperti Beijing, yang udaranya jauh lebih dingin, melainkan juga dalam hal bahasa dan budaya.

Pada dasarnya tidak ada perbedaan karakter Hanzi (huruf kanji) antara Kanton, Hokkian, dan Mandarin, hanya pengucapannya saja yang berbeda. Bahkan, penutur ketiga bahasa tersebut tidak saling mengerti, walaupun sama penulisannya.

Kanton dalam bahasa Mandarin dilafalkan Guangdong, merujuk nama provinsi di wilayah selatan China. Sama halnya dengan dialek Hokkian yang dalam bahasa Mandarin dilafalkan Fujian, merujuk nama provinsi tetangga Guangdong di timur laut. 

Dialek Kanton dan Hokkian dituturkan oleh warga Nanfang yang selama ini dikenal sebagai kampung halaman para warga China perantau di muka bumi ini.

Jauh sebelum "manusia perahu" dari wilayah Timur Tengah dan Afrika nekat mengarungi lautan berbahaya untuk mengubah nasib karena negara mereka terus dirundung konflik, orang-orang Nanfang telah melakukannya.

Surat-surat warga China perantau yang ditempelkan ke pilar beton di dermaga Haikoubu. (ANTARA/M. Irfan Ilmie)

Dermaga yang berjarak 69 kilometer sebelah barat daya Kota Jiangmen itu menjadi saksi bisu gelombang eksodus warga Nanfang yang dimulai medio 1860-an pada masa Dinasti Qing hingga 1949 atau menjelang berakhirnya masa pemerintahan republik di daratan Tiongkok tersebut.

Dari Haikoubu mereka menyusuri alur Sungai Mutiara hingga Hong Kong. Dari Hong Kong mereka menyebar ke berbagai penjuru dunia. 

Ada yang menyeberangi lautan Pasifik untuk mencapai Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara di Amerika Latin.

Sebagian yang lainnya lebih memilih menyeberangi Laut China Selatan dan Selat Malaka sebelum memutuskan tinggal di Malaysia dan Indonesia.

"Jangan heran, kalau orang-orang di sini lebih mengenal Indonesia," kata Chun Qiu dari Pemerintah Kota Jiangmen, Jumat (3/11).

Kendati tidak menyebut angka, dia berani memastikan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah AS dan Kanada sebagai negara tujuan para perantau Jiangmen.

Bangunan Dialou, yang dibangun sebagai perlambang kesuksesan warga China perantau di kampung halamannya di Jiangmen, Guangdong, China. (ANTARA/M. Irfan Ilmie)

Bangunan yang mereka sebut sebagai Dialou itu rata-rata berarsitektur Barat dan sedikit sentuhan Melayu. Sebagian dari Dialou itu ditempati anak cucu mereka, namun sebagian lainnya telah diserahkan kepada pemerintah.

Kompleks vila Liyuan Garden yang berlokasi di Kaiping merupakan salah satu kompleks bangunan Dialou yang diserahkan pengelolaannya kepada Pemkot Jiangmen.

Vila yang dibangun pada 1926 oleh konglomerat asal China di AS, Xie Weili, di atas lahan seluas 11.900 meter persegi itu kini menjadi musuem yang ramai dikunjungi wisatawan domestik.

Dialou dan vila tersebut menjadi salah satu perlambang kesuksesan orang-orang Nanfang di perantauan.

Tidak heran, jika sejak 1920-an hingga pecah perang sipil di daratan Tiongkok, gelombang eksodus orang-orang Nanfang makin tak terkendali.


Karpet Merah

Sampai saat ini jumlah warga Jiangmen yang menjadi penduduk tetap di berbagai negara diperkirakan lebih dari empat juta jiwa.

Menurut catatan Pemkot Jiangmen, empat juta warganya tersebut tinggal di 107 negara, termasuk Indonesia.

"Peran mereka sangat penting di sini. Kami perlu kerja sama lebih lanjut dengan Indonesia," kata pejabat Pemkot Jiangmen, Yi Zhongqiang.

Selain itu, sepertiga jumlah penduduk Makau dan 1,3 juta dari tujuh juta penduduk Hong Kong berasal dari Wuyi, salah satu kawasan di Kota Jiangmen, yang mayoritas penduduknya eksodus ke berbagai negara.

"Orang-orang itu menyebut Jiangmen sebagai rumah leluhur," kata Wakil Wali Kota Jiangmen Jiang Xiao Xiong, Rabu (1/11) malam.

Baginya, mereka yang tinggal di perantauan berpotensi memajukan Kota Jiangmen sebagaimana instruksi Presiden Xi Jinping agar turut berperan mendukung pembangunan di kawasan Jalur Sutera dan Jalur Maritim Abad ke-21 yang digagasnya dalam konsep "Belt and Road".

Karpet merah pun digelar untuk menyambut partisipasi mereka dalam pembangunan karena hanya 12 persen dari luas area 9.500 kilometer persegi yang sampai saat ini telah dikembangkan.

"Padahal Jiangmen kawasan premium karena lokasinya sangat stretegis yang bisa menghubungkan tepi barat dan tepi timur Sungai Mutiara," ujar Jiang.

Tokoh masyarakat Taishan sekaligus pemandu di muka dermaga Haikoubu. (ANTARA/M. Irfan Ilmie)

Selain itu, posisi Jiangmen sangat menguntungkan karena berada di dalam lingkar kawasan ekonomi terpadu Shenzhen-Hong Kong-Makau.

Kawasan-kawasan ekonomi baru pun tak henti-hentinya dibangun di Jiangmen untuk menjembatani China dengan Hong Kong, Makau, dan beberapa negara di Asia Tenggara.

Distribusi barang dan jasa tidak hanya melalui jalur sungai, melainkan pelabuhan laut dan rel kereta api karena Jiangmen juga menjadi lokasi perakitan kereta api di bawah bendera CRRC, industri kereta api milik pemerintah China.

CRRC tidak hanya mencukupi kebutuhan kereta api di wilayah selatan China, melainkan juga memproduksi kereta cepat untuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Kawasan industri teknologi informasi dan ekonomi kreatif juga dibangun agar tidak ketinggalan dengan daerah-daerah sekitarnya yang lebih dulu maju,

Gayung pun bersambut. Pada tahun lalu saja, Jiangmen menerima donasi dari warganya yang merantau di berbagai negara senilai 7,41 miliar dolar HK selain dalam bentuk investasi yang nilainya mencapai 23,61 miliar dolar AS.

Produk domestik bruto (GDP) pun pada 2016 naik 7,4 persen menjadi 241,8 miliar RMB. Dan pada semester pertama 2017, GDP telah mencapai angka 126 miliar RMB. 

Sektor industri menyumbangkan 104,1 miliar RMB (naik 7 persen). Investasi dalam bentuk aset tetap dan perdagangan kebutuhan pokok mencapai 151,7 miliar RMB dan 115,9 miliar RMB. Bahkan lebih dari 18 unit industri berskala nasional berbasis di kota berpenduduk 4,54 juta jiwa tersebut.

Untuk mengingatkan budaya kampung halaman, Pemkot Jiangmen menggelar karnaval setiap dua tahun sekali.

Dalam upaya menjembatani kepentingan warganya, Pemkot Jiangmen telah menjalin kerja sama dengan kota-kota yang berada di tepian sungai di AS dan Australia.

Langkah-langkah yang dilakukan Jiangmen dinilai strategis di tengah kegamangan AS dan negara-negara sekutunya dalam menatap globalisasi ekonomi perdagangan. (skd)

Pewarta : M. Irfan Ilmie
Editor : Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2024