Seorang perempuan tersenyum bahagia saat namanya diundang naik ke panggung untuk menerima penghargaan prestasi seumur hidup (lifetime achivement award) dari penyelenggara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017 di Bali, pekan lalu.

Dibantu oleh putra yang menuntunnya, perempuan yang memakai kebaya putih dipadu bawahan kain batik hijau muda itu melangkah perlahan-lahan ke panggung, berdiri di belakang mikrofon yang telah disediakan untuknya.

"Sastra adalah dunia saya. Saya telah menekuni bidang ini selama 60 tahun, dan berharap bisa terus berkontribusi bagi sastra Indonesia," kata N.H. Dini sesaat sebelum menerima penghargaan.

Sastrawan senior yang memiliki nama asli Nurhayati Sri Hardini itu dianugerahi penghargaan atas kontribusinya sebagai penulis sekaligus aktivis, dalam dunia sastra di Indonesia.

Peran Dini, demikian ia biasa disapa, dianggap sentral sebagai pelopor suara perempuan pada tahun 1960-1980-an, di mana belum banyak perempuan Indonesia memutuskan menjadi penulis.

Penghargaan dari UWRF menambah deretan penghargaan yang pernah diterimanya seperti Hadiah Seni untuk Sastra dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989), Bhakti Upapradana Bidang sastra dari Pemerintah daerah Jawa Tengah (1991), SEA Write Award dari pemerintah Thailand (2003), Hadiah Francophonie (2008), dan Achmad Bakrie Award bidang Sastra (2011).

Lahir di Semarang pada 29 Februari 1939, Dini sudah rajin menulis sejak duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Karirnya dalam dunia penulisan Tanah Air dimulai saat dirinya mengirim sajak untuk program "Prosa Berirama" yang disiarkan Radio Republik Indonesia, sebelum kemudian menjajal peruntungan membuat cerita pendek untuk majalah wanita Femina.

Karena merasa format cerita pendek tidak cocok untuk dirinya, Dini mulai menulis cerita panjang. Ia mulai menulis karya pertamanya berjudul "Hati yang Damai", kemudian "Pertemuan Dua Hati" (1986) yang diterbitkan di halaman tengah Femina.

Judul tersebut menghasilkan uang dengan jumlah besar, Rp1.000.000 pada tahun 1970-an.

"Uang itu saya taruh di bawah bantal, lalu saya jadikan alas kepala untuk tidur. Saya ingin benar-benar merasakan bahwa saya punya uang sebanyak itu," tuturnya mengenang pencapaian di masa lalu.

Rupanya, Dini belum juga puas. Ia merasa perlu menulis lebih panjang untuk menggambarkan kehidupan orang-orang dan lingkungan sekitarnya.

Dini kemudian merambah ke penulisan biografi dan novel. "Amir Hamzah Pangeran dari Negeri Seberang" (1981) dan "Dharma Seorang Bhikku" (1997) adalah dua buku biografi yang sempat ditulisnya.

Namun, ia lebih dikenal lewat karya-karya novelnya seperti "Pada Sebuah Kapal" (1973), "La Barka" (1975), "Keberangkatan" (1977), serta "Namaku Hiroko" (1977).

Pengarang senior N.H. Dini di sela-sela penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival 2017 di Bali, akhir Oktober lalu. (ANTARA/Yashinta Difa)

Penulisan seri tersebut terinspirasi dari permintaan ibunda Dini agar dirinya menulis karya-karya yang menunjukkan perubahan zaman.

"Saya bersyukur dikaruniai Tuhan memori yang kuat, itu sangat membantu saya dalam proses penulisan," tutur dia.

Perempuan yang menganut kepercayaan Kejawen itu mengaku memiliki kebiasaan khusus saat membuat buku. Setelah proses penulisan sebuah karya selesai, Dini akan bermeditasi sambil melantunkan doa kepada Gusti Allah pada pukul 01.00-03.00 pagi.

Kebiasaan itu ia yakini dapat memberikan pencerahan dalam proses kreatif, termasuk dalam penulisan "Pada Sebuah Kapal" saat dirinya memutuskan memisahkan masing-masing sudut pandang perempuan dan laki-laki dalam dua bagian yang berbeda, setelah melakukan meditasi tersebut.

Dini saat ini sedang menulis judul lanjutan Seri Cerita Kenangan yang diperkirakan akan selesai tahun depan.

Bagi Dini, profesi pengarang atau penulis itu mulia karena berkaitan dengan proses mencipta.

"Saya menulis karena ingin orang tahu kalau mereka mendapat pengalaman begini, solusinya begini. Sama sekali tidak bermaksud menginspirasi apalagi menggurui, saya hanya ingin berbagi," tuturnya. (skd)

Pewarta : Yashinta Difa
Editor : Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2024